BANDAR LAMPUNG, KOMPAS - Kehadiran para ilmuwan diaspora Indonesia di sejumlah perguruan tinggi di berbagai daerah menghasilkan kolaborasi yang strategis untuk peningkatan mutu pendidikan tinggi. Kebutuhan untuk meningkatkan profesionalisme dosen dan riset bermutu dari perguruan tinggi mendapatkan dukungan dari para ilmuwan diaspora agar Indonesia mampu bersumbangsih pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia.
Ratna Saptari Soetikno Slamet, Asisten Profesor Antropologi di Universitas Leiden, Belanda, yang mengunjungi perguruan tinggi di Lampung, Jumat (17/8/2018), mengatakan, dari pertemuan dengan pimpinan dan dosen di Universitas Lampung, ada keinginan agar ilmu sosial juga mampu memberikan kontribusi penting dalam pengembangan ilmu dan pembangunan, baik di tingkat lokal, nasional, dan global. Apalagi Universitas Lampung punya keinginan agar kajian soal budaya, khususnya budaya Lampung, bisa terangkat dalam riset dan publikasi ilmiah.
"Kami sepakat untuk memetakan tema-tema riset yang potensial untuk bisa diangkat menjadi seminar atau konferensi internasional. Namun, untuk menuju ke sana, ada hal mendasar yang harus dilakukan dalam upaya memperkuat kemampuan dosen untuk melakukan riset dan publikasi yang berkualitas," kata Ratna yang sekitar 30 tahun menjadi ilmuwan diaspora di Belanda.
Menurut Ratna, di Januari nanti akan ada lokakarya penulisan bagi para dosen. Hal ini dimulai dengan membantu para dosen untuk mampu membaca secara kritis literatur yang jadi rujukan penting dalam melakukan riset dan publikasi.
"Dari pengamatan terhadap publikasi ilmiah di jurnal-jurnal Indonesia, penggunaan teori-teori lebih sebagai inventarisasi. Tidak terlihat ada pemikiran kritis untuk bisa merefleksikan teori tersebut. Kondisi ini perlu dibenahi dengan memperkuat hal dasar yakni membaca kritis untuk dapat melakukan penelitian secara kritis. Pengajaran dosen ke mahasiswa juga harus bisa mendorong pemikiran kritis dengan membekali kemampuan membaca kritis," ujar Ratna.
Rektor Universitas Lampung Hasriadi Mat Akin mengatakan kejadian ilmuwan diaspora ke kampus dirasakan bermanfaat. Melalui program Simposium Cendekiawan Kelas Dunia (SCKD) sejak tahun lalu, perguruan tinggi dalam negeri mendapatkan dukungan mulai dari kolaborasi hingga dukungan jaringan internasional.
"Kami tahun ini memang meminta ada ilmuwan diaspora di bidang sosial, khususnya Antropologi, yang bisa membantu para dosen. Publikasi ilmiah internasional dari sumbangsih ilmu sosial masih minim. Selain itu, di Lampung sendiri kami ingin Unila mampu mencermati masalah budaya, utamanya soal etnis Lampung yang semakin terpinggirkan," kata Hasriadi.
Interdisipin
Sementara itu, Abidin Kusno, Profesor di Universitas York di Toroto, Kanada, mengatakan, perguruan tinggi di negara maju bisa berkembang karena tidak rigid soal linieritas. Para dosen dapat mengambil studi yang beragam untuk memperkaya wawasan dan mampu berpikir lintas ilmu. Abidin yang lulusan S1 Arsitektur di Indonesia mengambil S2 dan S3 sejarah seni di Amerika serikat. Lalu, saat ini mengajar di Fakultas Studi Lingkungan di Kanada.
Abidin menawarkan konsep pembelajaran dan riset serta publikasi interdisiplin untuk membuat para dosen Indonesia terbiasa membangun kolaborasi. Dengan demikian, pemikiran kritis dapat dilahirkan ilmuwan perguruan tinggi Indonesia dalam mengkritisi kebijakan pembangunan.
"Ada tema besar yang menaungi pembelajaran maupun riset untuk mewujudkan interdisiplin. Lalu, pengembangan dosen pun perlu dipikirkan untuk dapat menjawab kebutuhan interdisiplin yang kini sudah menjadi trend dunia," kata Abidin.
Ketua Umum Ikatan Ilmuwan Internasional Indonesia (I-4) Deden Rukamana yang juga profesor di Savannah State University, Amerika Serikat, mengatakan, para ilmuwan diaspora yang hadir ke Indonesia diharapkan bisa jadi contoh yang riil tentang peranan para diaspora untuk membantu Indonesia. Apalagi kesenjangan perguruan tinggi di Indonesia sangat lebar, sehingga butuh dukungan untuk dapat memberikan wawasan tentang perkembangan pendidikan tinggi dunia saat ini.
"Tadinya para ilmuwan diaspora di berbagai negara tidak saling kenal, kini bisa juga membangun jaringan. Lalu, komitmen mereka untuk membantu perguruan tinggi bisa jadi inspirasi bahwa para diaspora Indonesia harus dioptimalkan secara strategis," kata Deden.