Rakyat mengkhayalkan kemerdekaan hari ini ketika kebebasan yang terus kebablasan, nafsu kekuasaan yang tak tertahankan, dan korupsi yang terus menggerogoti negeri. Kisah kemerdekaan memang merah putih karena kemerdekaan tentang keberanian jiwa dan kesucian hati. Kemerdekaan memang tentang heroisme: berkorban jiwa raga demi bangsa dan negara. Kemerdekaan tentang pembebasan dari penindasan kolonialisme. Jika kemerdekaan adalah ”pintu gerbang” menuju negara berdaulat, adil dan makmur, bagaimana kemerdekaan di masa sekarang?
Ketika kemerdekaan diproklamasikan pada 1945, tentu cerita soal pembebasan negeri ini dari kolonialisme menjadi kisah-kisah heroik. Penindasan merupakan kejahatan kemanusiaan. Indonesia adalah kisah kelam ratusan tahun di bawah penjajah. Bung Karno sering melukiskan sebagai exploitation de l’homme par l’homme, pengisapan manusia oleh manusia. Karena itu, perjuangan menjadi spirit utama bangsa ini. ”Hak-hak rakyat tidak ada yang diperoleh semata-mata sebagai karunia dari pemerintah, tetapi setiap hak itu merupakan hasil usaha rakyat atau kemajuan rakyat,” kata Haji Agus Salim (1884-1954).
Kala itu, kebebasan memang lebih manifes dalam bentuk fisik. Namun, sebetulnya kebebasan itu terpancar dalam kebebasan pikiran ketika tumbuhnya kesadaran berbangsa. Kesadaran paling penting adalah kebersamaan untuk menjadi sebuah bangsa. Bangsa, kata sejarawan Hans Kohn (1891-1971), adalah tenaga yang hidup, selalu dinamis, sehingga tidak pernah membeku. Kesadaran bersama itulah yang menjadi titik puncak munculnya bangsa Indonesia. Semua perbedaan justru menjadi warna dinamis yang membentuk puzzle-puzzle mozaik Indonesia. Berbeda etnik, agama, suku, ideologi, tetapi berjalan bersama menggapai cita-cita membangun negeri dari Sabang sampai Merauke.
Semangat seperti itu seakan-akan melapuk pada hari ini. Perbedaan terus menjadi jurang pemisah. Paling kentara di arena politik. Perbedaan pilihan dan dukungan politik telah memburamkan proses demokrasi di negeri ini. Perbedaan justru jadi musuh. Di era media sosial sekarang ini, orang lebih senang memperlebar jurang perbedaan ketimbang membangun titian kebersamaan. Saling serang, maki, hujat, dan fitnah menjadi senjata yang merusak kohesi sosial dan integrasi nasional. Apalagi kalau sampai politik identitas menjadi mesin penghancur yang dapat melumpuhkan pilar-pilar bangsa.
Pemandangan itu lumrah ketika nafsu kekuasaan diumbar tanpa malu-malu. Persaingan politik merebut kekuasaan begitu keras, tidak peduli lagi cara-cara bermartabat. Di panggung politik, sosok-sosok Machiavellis terus berlomba-lomba. Pragmatisme, transaksional, politik uang terlalu sering terdengar di telinga. Demokrasi yang diterapkan pun kini menjadi stagnan. Padahal, pascareformasi, demokrasi negeri ini patut dibanggakan dan bahkan menjadi ”model” yang dapat ditiru negara lain. Ketika itu nyaris semua mata dunia melirik ke negeri ini.
Akan tetapi, nyatanya makin hari pertumbuhan demokrasi makin kurang sehat. Banyak ekspresi politik yang mempertontonkan watak-watak tercela. Demokrasi menjadi kakistokrasi (pemerintahan buruk): eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Politikus lebih suka pamer cara berpolitik yang sarkas dan menjatuhkan ketimbang membangun jalan dialog dan menemukan konsensus bersama. Justru sepertinya tidak sedikit yang merasa bangga dengan cara-cara yang dinilai banyak pihak sebagai cara-cara tak bermartabat. Paling dekat adalah persaingan Pemilihan Presiden 2019. Semula dikira akan lebih cair setelah deklarasi pasangan calon presiden-wakil presiden yang sama-sama mengagetkan, tetapi justru memunculkan strategi baru yang bisa membuat arena pilpres tetap mendidih.
Tak mengherankan demokrasi relatif stagnan dalam satu dekade ini. Ibarat bunga, demokrasi bermekaran yang menghadirkan keindahan pada awal-awal pascareformasi telah berubah dalam sekitar 10 tahun terakhir ini. Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang diterbitkan BPS mempunyai kategori buruk (skor kurang dari 60), sedang (60-80), dan baik (di atas angka 80). Namun, selama sembilan tahun terakhir, demokrasi Indonesia cuma berada pada kategori ”sedang”. Tahun 2018 ini, IDI 2017 berada pada angka 72,11.
Beban negeri ini makin berat ketika virus korupsi terus merajalela. Kepala daerah, pejabat birokrasi, politikus, dan publik pun semakin terpapar virus tersebut. Ini tergambar dari indeks persepsi korupsi (IPK). IPK 2016 yang dirilis Transparency International (TI), Indonesia berada di posisi ke-90 dari 176 negara. Skornya 37 dari skala terburuk (0) hingga terbersih (100). Titik tengah skor rata-rata global adalah 43. Bahkan, Indonesia pun tak sampai pada titik median tersebut. Indonesia selevel Liberia, Maroko, Macedonia, dan Kolombia. Meskipun KPK sudah memegang pentungan besar, korupsi tetap saja subur. Kalau kebebasan terus kebablasan, kekuasaan terus menjadi incaran, dan korupsi menguras negeri, rasanya kemerdekaan bukan menjadi pintu gerbang sebuah negeri berdaulat, adil, dan makmur.