Bukan Hanya Siti Aisyah
Tim pengacara dan Kementerian Luar Negeri Indonesia mempunyai waktu hingga tiga bulan ke depan untuk menyusun pembelaan terhadap Siti. Pembelaan itu akan diuji dalam sidang yang direncanakan dimulai pertengahan November 2018. Tempatnya masih sama, Mahkamah Tinggi Shah Alam di Selangor, Malaysia.
Siti (25) masih harus ditahan sampai persidangan yang belum jelas kapan akan rampung itu. Ia ditahan sejak Februari 2017 dan disidang sejak Maret 2017.
Ia juga bukan satu-satunya WNI yang sedang terbelit masalah hukum. Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Kementerian Luar Negeri mencatat 174 WNI terancam hukuman mati di sejumlah negara pada periode 2011 hingga Juli 2018. Paling banyak mereka di Malaysia, 144 orang.
Sebagian besar terdakwa dan terpidana mati itu terlibat kasus narkotika. Sebagian lagi karena kasus pembunuhan. ”Kadang kami dalam posisi dilematis. Tidak didampingi, ini saudara sebangsa, dan negara wajib berusaha sekuatnya membebaskan warganya dari ancaman hukuman mati di negara lain. Didampingi, mereka ini terlibat dalam salah satu penyebab kerusakan paling buruk, narkotika,” kata Direktur Perlindungan WNI dan BHI Lalu M Iqbal.
Lebih dilematis lagi jika kasus pembunuhan melibatkan sesama WNI. Fenomena itu banyak terjadi di Arab Saudi dan Malaysia, di mana pelaku dan korban sama-sama WNI. ”Kami berkali-kali mengurus diat (uang pengganti yang harus dibayarkan pelaku kepada korban) di dalam negeri. Sistem hukum Arab Saudi memang seperti itu, salah satu pembatal hukuman mati adalah pemaafan dari keluarga korban terhadap pelaku, dan pemaafan antara lain bisa didapat setelah membayar diat,” tuturnya.
Sepanjang 2018, upaya pemerintah berbuah pembebasan 44 WNI dari hukuman mati. Sebagian karena mendapat pengampunan dari pemerintah. Pengampunan dari pemerintah negara setempat adalah gabungan upaya hukum dan pendekatan Pemerintah Indonesia.
Ilegal
Masalah yang membelit WNI di luar negeri bukan hanya karena mereka terjerat persoalan hukum. Salah satu masalah pelik yang dihadapi WNI adalah status sebagai pendatang ilegal. ”Tidak bisa disalahkan begitu saja. Harus dicari solusi untuk mereka,” kata Duta Besar RI untuk Malaysia Rusdi Kirana.
Ia mengakui, penting mencegah WNI datang ke negara lain secara ilegal. Sebab, akan amat banyak masalah yang mengikuti jika WNI bisa masuk atau tinggal secara ilegal di suatu negara.
Akan tetapi, tidak kalah penting untuk mengurus WNI yang telanjur tinggal secara ilegal di luar negeri. Di Malaysia, banyak kasus WNI masuk secara sah dengan visa kunjungan yang hanya berlaku 30 hari. Sayang, WNI itu kemudian bekerja dan tinggal lebih dari 30 hari di Malaysia. Akibatnya, WNI tersebut menjadi pendatang ilegal. Meski tak ada data resmi, jumlah WNI seperti ini diperkirakan ratusan ribu orang.
Kerap kali para WNI itu sudah tidak mempunyai dokumen yang membuktikan status kewarganegaraan mereka. Saat akan mengurus dokumen, mereka datang hanya berbekal pengakuan sebagai WNI. Secara prosedural, mereka tidak bisa mendapat paspor atau dokumen kewarganegaraan lain jika tidak bisa membuktikan atau menunjukkan dokumen pendukung.
Rusdi dan diplomat di KBRI Kuala Lumpur mengambil risiko dengan tetap memberikan paspor atau surat perjalanan laksana paspor (SPLP) bagi mereka. Salah satu cara verifikasi adalah dengan mewawancarai mereka dengan bahasa daerah asalnya.
Khusus layanan paspor dan SPLP, KBRI Kuala Lumpur juga memberikan layanan 24 jam. Layanan itu diberikan dengan pertimbangan WNI datang dari jauh dan kerap harus mengantre berhari-hari demi paspor. ”Kami pernah menganjurkan mereka mendaftar secara daring. Sayang sekali, banyak saudara kita yang tidak bisa mengakses hal itu karena tingkat pendidikan belum memadai,” kata Kepala Satuan Tugas Perlindungan WNI KBRI Kuala Lumpur Yusron Ambari.
Pemberdayaan
Dampak status sebagai pendatang ilegal bukan hanya soal kerepotan mengurus paspor. Anak-anak WNI itu juga tidak bisa bersekolah. ”Mereka akan selamanya terjebak dalam lingkaran pekerja ilegal kalau tidak mendapat pendidikan. Masalahnya, mereka tidak bisa sekolah di Malaysia maupun di Indonesia,” kata Rusdi.
Anak-anak itu tak mempunyai keluarga yang bisa mengurus mereka di Indonesia. Karena itu, mereka tidak bisa ditinggal untuk mendapat pendidikan di Indonesia. Di Malaysia, status ilegal pada orangtua membuat mereka tidak bisa masuk sekolah.
Di Sabah dan Serawak, masalah itu mulai teratasi setelah lembaga pembelajaran komunitas (CLC) beroperasi. Lembaga-lembaga itu menyediakan pendidikan setingkat SD hingga SMK, dengan kurikulum dan guru Indonesia, bagi anak-anak WNI yang orangtuanya berstatus pendatang ilegal di Malaysia.
”Pak Duta Besar sampai bersikap keras kepada pemilik perkebunan, tempat mayoritas pekerja migran Indonesia. Kalau mereka tidak mau mengizinkan pengoperasian CLC, Pak Duta Besar akan melaporkan mereka karena menggunakan pekerja ilegal,” kata seorang diplomat di KBRI Kuala Lumpur.
Sementara untuk wilayah Malaysia di sisi Semenanjung Malaya, masalah pendidikan bagi anak WNI dari orangtua berstatus pendatang ilegal itu belum selesai. Pemerintah negara-negara bagian di wilayah Semenanjung Malaya belum mengizinkan pembukaan CLC.
”Saya masih terus mendekati Pemerintah Malaysia agar mengizinkan pengoperasian CLC. Malaysia dan Indonesia akan sama-sama diuntungkan. Anak-anak itu bisa jadi sumber tenaga terampil bagi perekonomian Malaysia,” kata Rusdi.
Pemberdayaan lain yang diurus KBRI Kuala Lumpur adalah kepada WNI yang tidak mau lagi menjadi pekerja migran di Malaysia dan ingin pulang kampung. Di KBRI Kuala Lumpur ada program pelatihan yang disebut Aku Mau Sukses. Selain menyediakan pelatihan aneka keterampilan, KBRI Kuala Lumpur juga menghubungkan para peserta program itu dengan pihak-pihak yang bisa memanfaatkan keterampilan mereka di Indonesia.