Loncatan Angga
Dari sebuah garasi sewaan, sutradara Angga Dwimas Sasongko membesarkan ”bayi” rumah produksi bernama Visinema Pictures. Diberi makan ide, kreativitas, dan visi yang memandang dunia film jauh ke depan, kini si bayi tumbuh menjadi ruang belajar bersama tentang sinema.
Kesibukan para pekerja bangunan terlihat di berbagai sudut kantor Visinema Pictures di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, Selasa (7/8/2018) siang. Renovasi tengah berlangsung untuk memperluas kantor. Pria berperawakan kurus dengan rambut gondrong sebahu itu muncul dengan wajah semringah walaupun, menurut dia, sedang dalam kondisi bad hair day.
”Sebenarnya ada dua, eh tiga, proyek yang sedang aku kerjakan. Di luar lingkunganku sendiri ada Wiro Sableng. Nanti tanggal 30 Agustus rilis, sekarang sudah finalisasi filmnya. Gatal-gatalnya sudah rada hilang, nih,” tutur Angga seraya menggaruk-garuk tangan.
Biasa, gatal karena stres, katanya.
Wiro Sableng akan menjadi film terakhir yang dia kerjakan di luar Visinema. Kini, Angga memfokuskan perhatian pada Visinema yang sudah memasuki usia 10 tahun serta kedai Filosofi Kopi. Sudah ada dua kedai Filosofi Kopi yang beroperasi saat ini, di Jakarta dan Yogyakarta. Sampai akhir tahun ini, menurut rencana akan dibuka enam kedai lagi di Malang, Surabaya, Makassar, Semarang, Lampung, dan Depok.
”Awalnya kami pengin, ya, cuma satu kedai sajalah. Tiba-tiba datang kesempatan dan targetnya dalam dua tahun ke depan kami punya 25 kedai. Wah, bikin kedai sama pusingnya dengan bikin film,” lanjutnya.
Kedai Filosofi Kopi jadi ngehits setelah filmnya yang bertajuk sama diproduksi tahun 2015 dengan mengadaptasi cerita pendek karya Dewi Lestari. Angga lalu membuat sekuelnya, Filosofi Kopi 2: Ben & Jody, pada 2017 dan kembali laris manis. Kini, selain kedai, brand Filosofi Kopi juga memiliki lini mode serta ritel produk kopi kemasan, baik giling maupun biji.
Lalu datanglah sajian kopi itu. ”Nah, ini kopi Tiwus,” ujar Angga menyebut salah satu andalan Filosofi Kopi. Bincang-bincang pun terhenti sebentar. Slurrpp.
Obrolan berlanjut tentang Visinema. Pada Agustus ini, Visinema genap berusia 10 tahun. Angga sebagai pendirinya sempat tidak menyangka waktu satu dekade terlewati. Angga mendirikan rumah produksi ini sebagai respons terhadap situasi yang seolah mengatakan, jika ingin membuat film secara independen, tidak diatur-atur, ya, harus bikin perusahaan sendiri.
Sisa uang
Ketika itu, dia bermodal sisa uang perolehan dari film terakhirnya, Jelangkung 3. Uang itu dipakai membeli satu komputer, satu meja, beberapa kursi, dan menyewa garasi temannya di Jatipadang. Dari garasi itulah Visinema memproduksi film Hari untuk Amanda dan berkembang ke film-film berikutnya.
”Aku tadinya berpikir Visinema adalah rumah Angga Sasongko kalau mau berkarya. Tapi, pada tahun kedelapan atau kesembilan, aku dan Anggia (istrinya) berpikir bahwa Visinema tidak bisa begini terus. Kayaknya kami harus take another leap,” tutur Angga.
Dia pun lantas berpikir bagaimana meningkatkan skala Visinema, menjadikannya rumah berkarya untuk lebih banyak orang. Angga ingin bekerja sama dengan lebih banyak produser, sutradara, penulis, juga talenta lain di bidang perfilman.
Tahun 2018, Visinema untuk pertama kalinya memproduksi film yang tidak disutradarai Angga. Ada Love for Sale karya Andibachtiar Yusuf di awal tahun dan Keluarga Cemara karya Yandy Laurens di akhir tahun nanti. Tiga film yang menurut rencana dirilis tahun depan juga sedang digarap Visinema tanpa Angga sebagai sutradara.
Perubahan-perubahan menjadi sangat terasa. Dari setahun memproduksi satu-dua film menjadi enam film. Dalam waktu 4-5 bulan terakhir, jumlah anggota tim di kantor bertambah. Pada awal tahun, mereka masih beroperasi dengan 20 orang. Kini ada 65 orang berumah di Visinema.
”Kami ingin merangkul lebih banyak orang. Lagi pula, sudah enggak mungkin dikerjakan sendiri lagi. Akan ada talenta-talenta baru lahir dari proyek-proyek kami. Menurutku, ini bagian dari visi kami. Bagi aku, kalau industri film mau sustained, harus ada dua investasi: ke talenta baru dan ke penonton,” papar Angga.
Jadi, lanjutnya, peningkatan skala Visinema itu menjawab kegelisahan tentang kontribusi apa yang bisa diberikan agar industri film Indonesia berkelanjutan. Investasi talenta baru memang berisiko. Namun, lebih banyak talenta baru juga menghidupkan kompetisi. Jika ada kompetisi, yang terbaiklah yang berkarya.
Investasi penonton dia wujudkan dalam inisiatif Sinedu.id dengan tujuan utama literasi media. Lewat layanan streaming film yang sudah dipilih, guru-guru diberi kode untuk mengakses konten filmnya. Mereka juga diberi modul sebagai panduan orangtua dan guru untuk berinteraksi lewat film dengan anak atau murid.
Clint Eastwood
Menurut Angga, geliat film Indonesia saat ini menjadi jendela untuk membayangkan dunia film 40-50 tahun lagi. ”Aku ingin bikin film sampai umur 80 tahun, seperti Clint Eastwood. Aku masih punya 50 tahun lagi di industri ini, jadi harus dituntut berpikir ke depan,” ujarnya.
Dunia film sebenarnya tidak asing bagi Angga. Ayahnya dulu sutradara teater, lalu membuka usaha kayu. Sang ayah suka segala sesuatu berbau film. Sejak sekolah di TK, Angga sudah diajak ayahnya menonton film di bioskop. Ayahnya juga memiliki koleksi cakram laser film-film aksi yang dibintangi Jackie Chan, Steven Seagal, Chuck Norris, dan Van Damme.
Ketika SMP, Angga tinggal bersama kakeknya yang gemar membaca. Kedua orang itu, menurut Angga, adalah pencerita hebat. Kalau sudah cerita, bisa tidak berhenti.
”Baru ketika kuliah secara tak sengaja bersentuhan dengan film. Kakakku dan teman-temannya pinjam rumah untuk lokasi shooting film pendek. Di situ aku lihat, ooo, ternyata bikin film cuma gitu doang, ya. Pakai kamera kecil, terus teriak action, action. Lalu aku ajak teman-teman di kelas bikin film. Terkumpul lima orang dan kami berlima selalu bikin film sejak kelas II SMA,” katanya mengenang.
Setiap film yang sudah dibuat diputar di kelas dengan televisi layar besar. Dinding ditutup karton hitam. Yang ingin menonton harus bayar Rp 2.000. ”Jadi, rupanya aku sudah bisnis film dari kelas II SMA, ha-ha-ha,” ujar Angga.
Dari lima orang itu, hanya tiga orang yang bertahan di dunia film. Selain Angga, salah satunya adalah penulis skenario Gina S Noer, yang meraih Piala Citra untuk skenario terbaik film Habibie dan Ainun.
Tonggak penting karier Angga sebagai sutradara adalah film Alter Ego yang dibuat saat dia kelas III SMA dan menang di banyak festival. Berkat film itu, Angga dikenal oleh sejumlah sineas Indonesia, seperti Erwin Arnada, Salman Aristo, juga Eric Sasono.
Dia lalu bergabung dengan Kine Klub 28 yang membuat dia terpapar khazanah film lebih luas, seperti karya Lars von Trier, Wong Kar-wai, dan Ang Lee. Angga pun menjadi asisten sutradara dalam usia 18 tahun di film Catatan Akhir Sekolah karya sutradara Hanung Bramantyo. Pengalaman-pengalaman itulah yang membentuk Angga dalam membuat film-filmnya.
”Pada akhirnya, aku merasa film-film yang kubuat harus punya keseimbangan antara konsep estetika dan akses untuk penonton. Bagaimana membuat film yang dari jumlah penonton tidak bombastis, tetapi engagement tinggi. Itu yang selalu kami kejar. Walaupun ke depan pengin juga, sih, punya 2 juta penonton,” ujarnya disambung tawa lebar.
Tak pernah terbayang di benak Angga, ”bayi”-nya menjadi sebesar ini. Dulu, dia hanya berpikir, I just want to stay small and happy.
Yang pasti, dia tidak ingin berhenti pada sekadar membuat film. Angga selalu ingin membuat sesuatu yang belum pernah dibuat sebelumnya. Tidak hanya mengikuti tren, tetapi menciptakan tren. Oleh karena itu, inti paling penting adalah cerita.
Di tangan Angga, cerita itu bisa jadi apa saja: film, web series, seri dokumenter, buku, mode, family farm, kafe, dan kopi.
Angga Dwimas Sasongko
Lahir: Jakarta, 11 Januari 1985
Pendidikan: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Karya:
- Foto, Kotak, dan Jendela (2006)
- Jelangkung 3 (2007)
- Hari untuk Amanda (2009)
- Cahaya dari Timur: Beta Maluku (2013)
- Filosofi Kopi (2015)
- Surat dari Praha (2016)
- Bukaan 8 (2017)
- Filosofi Kopi 2: Ben & Jody (2017)
- Wiro Sableng 212 (2018)
Penghargaan:
- Nomine Sutradara Terbaik Festival Film Indonesia 2010 untuk film Hari untuk Amanda
- Nomine Sutradara Terpuji Festival Film Bandung 2015 untuk film Filosofi Kopi
- Film Terbaik Festival Film Indonesia 2014 untuk film Cahaya dari Timur: Beta Maluku