Paris pada Riak Seine
Dari kaki Eiffel, melewati Ile de la Cité, hingga Quai de la Tournelle, monumen-monumen yang menandai perjalanan kota Paris selama berabad-abad seakan berparade di depan mata. Aliran Sungai Seine yang tenang membawa kita bergerak perlahan melintasi jantung sejarah ibu kota Perancis.
Musim panas di Paris menawarkan petualangan yang mengesankan. Menikmati Paris dari ketinggian di Menara Eiffel memang agenda wajib. Namun, Paris juga bisa dinikmati dari perspektif lain yang tak kalah seru: lewat Sungai Seine.
Meskipun kaki sudah gemetar setelah naik 699 anak tangga ke level 2 Menara Eiffel dan turun 699 anak tangga lagi, godaan melangkah ke dermaga di tepi Sungai Seine tidak bisa ditolak. Di situ terdapat sejumlah layanan perahu wisata yang berangkat setiap 30 menit sekali. Kami memilih Vedettes de Paris dengan harga tiket 15 euro (sekitar Rp 249.000) untuk perjalanan selama satu jam.
Tak perlu lama menunggu, perahu Vedettes berangkat. Kami memilih dek atas yang terbuka, dengan kursi-kursi untuk duduk. Sekejap saja, kursi sudah dipenuhi wisatawan. Ada sekitar 40 orang duduk di dek atas. Kamera dan ponsel siap di tangan.
Perahu melaju perlahan. Sungai Seine membentang sepanjang 777 kilometer dari hulunya di Dijon di Perancis bagian utara, membelah Paris, menuju Kanal Inggris di Le Havre.
Seine telah diabadikan dalam berbagai karya seni, mulai dari lukisan, lagu, puisi, cerita fiksi, hingga latar film. Di sungai inilah Javert, tokoh antagonis dalam novel Les Misérables karya Victor Hugo, menenggelamkan diri. Di Seine pula, Celine (Julie Delpy) dan Jesse (Ethan Hawke) bercakap-cakap tentang kehidupan menjelang matahari tenggelam dalam film drama romantis Before Sunset (2004).
Sembari terombang-ambing riak kecil, dengan makanan dan minuman di tangan, wisatawan serius mendengarkan penjelasan pemandu lewat pengeras suara dalam tiga bahasa, yakni Perancis, Inggris, dan Spanyol. Pandangan mata menyusuri tepian kanan dan kiri sungai mengikuti petunjuk pemandu. Di tepi Seine berdiri bangunan-bangunan kuno nan megah yang menjadi impresi utama perjalanan dengan perahu wisata ini.
”Di sisi kanan Anda, seperti terlihat, adalah Menara Eiffel,” terdengar suara si pemandu, mengawali perjalanan. Hampir semua wisatawan mengarahkan kamera atau kamera ponsel untuk mendapat foto pemandangan dramatis: Sungai Seine dengan Menara Eiffel menjulang gagah.
Di sisi kiri berdiri megah Grand Palais des Champs-Elysées, sebuah kompleks luas situs bersejarah, aula pameran, dan museum. Kubahnya yang ikonik terlihat dari atas perahu. Grand Palais dibangun tahun 1897 sebagai persiapan penyelenggaraan Universal Exposition tahun 1900.
Mahakarya
Perjalanan melewati beberapa bangunan bersejarah lain, seperti Hotel National des Invalides atau disebut Les Invalides yang merupakan kompleks bangunan museum dan monumen terkait sejarah militer Perancis, termasuk rumah sakit dan rumah veteran perang; Asemblée Nationale, pusat parlemen Perancis yang memiliki 577 kursi perwakilan; Academie Française, sebuah dewan tertinggi yang mengurusi beragam hal terkait bahasa Perancis; juga Obelisque de la Concorde, obelisk Mesir kuno setinggi 23 meter asli dari Kuil Luxor yang berdiri di pusat Place de la Concorde.
”Di sebelah kiri berdiri Musée d’Orsay (Museum Orsay). Dibangun antara tahun 1898 dan 1900, museum ini menyimpan karya seni Perancis, seperti lukisan, patung, furnitur, dan fotografi yang dibuat tahun 1848-1914,” kata pemandu.
Musée d’Orsay juga menjadi rumah koleksi terbesar mahakarya impresionis dan post-impressionist di dunia karya Monet, Manet, Degas, Renoir, Cézanne, Gauguin, dan Van Gogh.
Tak jauh dari Musée d’Orsay berdiri Musée du Louvre atau Museum Louvre yang termasyhur itu. Musée du Louvre merupakan museum seni terbesar di Paris dengan koleksi 38.000 obyek dari masa prasejarah hingga abad XXI. Tahun 2017, Louvre merupakan museum seni paling banyak dikunjungi di dunia dengan jumlah pengunjung mencapai 8,1 juta orang.
Perahu wisata terus melaju pelan dan mendekati salah satu penanda kota Paris yang terkenal, Notre-Dame de Paris. Bangunan ini merupakan gereja katedral abad pertengahan dan dinilai sebagai salah satu contoh terbaik arsitektur gotik Perancis. Notre-Dame de Paris terletak di Ile de la Cité, salah satu pulau kecil alami yang terbentuk di Seine.
Setelah melewati Notre-Dame de Paris, perahu wisata Vedettes pun berputar arah, kembali ke dermaga pemberangkatan dengan pemandangan sedikit berbeda. Sepanjang perjalanan, perahu Vedettes berpapasan dengan sejumlah perahu wisata lain yang juga penuh dengan wisatawan. Tak hanya pada siang hari, perahu wisata juga beroperasi pada malam hari, menawarkan atmosfer berbeda. Konon lebih romantis.
Jembatan tua
Parade di Sungai Seine tidak sebatas bangunan-bangunan tua bersejarah, tetapi juga jembatan yang melintang di atasnya, yang tak kalah tua usianya. Di kota Paris saja ada 37 jembatan yang melintang di atas Seine. Cerita di balik keberadaan jembatan-jembatan itu tak kalah menarik dibandingkan dengan wujud jembatannya.
Yang pertama dilewati adalah Pont d’Iéna, yang terdaftar sebagai monumen bersejarah Paris. Dibangun tahun 1814, jembatan ini terkenal karena posisinya yang menghubungkan Trocadéro ke Menara Eiffel dan Champ-de-Mars.
Tak jauh dari Pont d’Iéna terlihat Passerelle Debilly, sebuah jembatan penyeberangan yang dibangun tahun 1900. Wujudnya seperti versi mini jembatan Sydney, Australia, dengan bentuk busur melengkung di atas sungai.
”Kita melewati Jembatan Alexander III. (Jembatan) Ini yang paling cantik di Paris,” ujar pemandu memberi informasi.
Ornamen seperti lampu, kerubim, dan kuda bersayap dengan warna keemasan di beberapa bagian membuat Pont Alexandre III mendapat predikat tercantik itu. Namanya mengambil nama Tsar Alexander III yang menyatukan Persekutuan Perancis-Rusia tahun 1892.
Jembatan paling terkenal tentulah Pont Neuf, artinya jembatan baru. Ini justru sebenarnya jembatan tertua yang melintang di atas Sungai Seine di Paris. Posisinya di dekat Ile de la Cité, yang pada abad pertengahan dikenal sebagai Lutetia, jantung kota Paris. Adalah Raja Henry III yang meletakkan batu pertama pembangunan Pont Neuf pada tahun 1578.
Saat melewati Pont des Arts, di dekat Museum Louvre, suara pemandu menyebutkan, jembatan ini juga dikenal sebagai jembatan cinta. Lalu terdengarlah kecupan di sana-sini. Wisatawan yang berpasangan di atas perahu saling berciuman. Muah...!
Sejak akhir 2008, wisatawan kerap memasang gembok dengan goresan nama mereka, lalu melempar kuncinya ke dalam sungai sebagai tanda cinta. Namun, banyak pihak merasa khawatir dengan ribuan gembok yang memberatkan dan membahayakan konstruksi jembatan. Pada 1 Juni 2015, Pemerintah Kota Paris pun membongkar gembok-gembok dan melarang pemasangannya di Pont des Arts. Berat gembok-gembok itu diperkirakan mencapai 45 ton!
Tak terasa perjalanan berperahu menikmati jantung Paris mendekati akhir. Di telinga terngiang lagu ”Our Last Summer” milik ABBA.
Walks along the Seine, laughing in the rain
Our last summer, memories that remain...