Waktu itu sekitar tahun 1965, situasi ekonomi terpuruk. Masyarakat hidup susah. Rakyat banyak yang terpaksa antre beras untuk mengisi perutnya.
Tersebutlah Patung Dirgantara atau dikenal sebagai Patung Pancoran di Jalan Gatot Subroto. Patung itu berdiri kokoh dengan tangan, konon, seperti menunjuk ke arah Lapangan Banteng dan berkata “Itu berasnya di sana…!” Namun, di Lapangan Banteng, Patung Pembebasan Irian Barat mengangkat kedua tangannya. “Berasnya sudah habis !”
Anekdot itu sempat beredar di orang-orang lawas. Mungkin, anak-anak muda saat ini tidak ngeh lagi dengan anekdot seperti itu. Namun, kehadiran Patung Dirgantara, Patung Pembebasan Irian Barat, serta patung-patung lainnya di Jakarta menjadi bagian dari sejarah panjang Ibu Kota dan negeri ini. Di dalamnya ada cerita, anekdot, hingga nilai-nilai sebuah bangsa yang ingin diperlihatkan kepada dunia.
Patung Dirgantara dibangun atas permintaan Presiden Soekarno dan dirancang Edhi Sunarso setinggi 11 meter dengan kaki kaki patung terbuat dari perungu seberat 11 ton. Dengan patung itu, Bung Karno ingin menunjukan keperkasaan bangsa Indonesia di bidang dirgantara dan menggambarkan bangsa Indonesia yang jujur, berani, bersemangat.
Seperti Patung Dirgantara, Patung Pembebasan Irian Barat, Tugu Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia yang pada awalnya dimaksudkan menjadi ikon Jakarta terbukti memang ikonik bagi Ibu Kota. Demikian pula dengan karya Bung Karno lainnya, termasuk Monumen Nasional di jantung metropolitan.
Kawasan Monas turut menjadi tempat favorit pengunjuk rasa. “Tiap hari selalu ada saja yang demonstrasi di kawasan itu, Pak. Saya mah sudah hapal,” kata seorang pengojek di jalur tikus, menghindar kemacetan dari arah Stasiun Tanah Abang.
Monas menjadi incaran para pengunjuk rasa karena berlokasi strategis di sisi Jalan Merdeka Utara, seberangnya Istana Merdeka tempat presiden berkantor. Di sisi lainnya, di Jalan Merdeka Selatan ada Balai Kota DKI Jakarta.
Pengelolaan kawasan Monas seluas 80 hektar itu berganti-ganti sesuai kebijakan gubernurnya. Lama menjadi tempat penyelenggaraan Jakarta Fair sebelum Wiyogo Atmodarminto memindahkan pekan raya itu ke Kemayoran. Monas sempat menjadi kawasan “malam” dan tempat “indehoy” sejumlah pasangan remaja ini kemudian dipagari sekelilingnya. Belakangan pagar pembatas rumput dibongkar sehingga pengunjung bisa beraktivitas atau duduk di rumput.
Sandiaga Uno, saat belum nyawapres bermimpi Monas bakal seperti Central Park di New York, Amerika Serikat atau Hyde Park di London, Inggris. Sebagai kota sekaligus ibu kota negara, Jakarta memang butuh berbagai monumen maupun ornamen sebagai ciri khas kota.
Kini, Jakarta memiliki Lapangan Banteng yang telah makin gagah setelah direvitalisasi. Menyambut Asian Games 2018 Jakarta pun menghadirkan seni instalasi dari jalinan bambu di Bundaran HI, tepat di seberang Tugu Selamat Datang. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengharapkan, “patung” bambu itu makin mempercantik kawasan Thamrin. Thamrin menjadi koridor penuh karya seni sarat makna.