JAKARTA, KOMPAS — Perempuan korban kekerasan seksual cenderung bungkam terhadap apa yang dialaminya. Kondisi ini berjalan seiring dengan prevalensi kekerasan terhadap perempuan yang kian meningkat.
Penggagas House of the Unsilenced, Eliza Vitri Handayani, Sabtu (18/8/2018) malam di Jakarta, mengatakan, masih banyak penyintas (korban kekerasan yang selamat) yang takut, bahkan malu, berbicara terkait kekerasan yang dialami. Sikap masyarakat yang cenderung menyalahkan perempuan pun menjadi salah satu penyebab.
Contohnya, tambah Eliza, kasus pelecehan oleh pesepak bola yang dialami penyanyi dangdut Indonesia melalui pesan di media sosial. Kendati dilecehkan, masih ada warganet yang berkomentar itu merupakan risiko dari profesi yang dijalani.
”Padahal, apa pun profesinya, selama itu pelecehan, ya tetap pelecehan,” kata Eliza, Sabtu (18/8/2018) malam di Jakarta.
Stigma yang tumbuh di masyarakat mengakibatkan penyintas tidak berani menyuarakan haknya.
Berdasarkan hasil pemantauan selama 15 tahun (1998-2013), Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menemukan 15 jenis kekerasan seksual. Hal itu di antaranya pemerkosaan, intimidasi seksual, pelecehan dan eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, dan perbudakan seksual.
Ada pula pemaksaan dalam perkawinan, kehamilan, aborsi, pemaksaan kontrasepsi, serta penyiksaan seksual. Kemudian, ada juga penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, praktik tradisi, dan kontrol seksual lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.
Selain itu, data survei pengalaman hidup perempuan nasional (SPHN) 2016 juga menunjukkan, 1 dari 4 perempuan usia 15-64 tahun atau 23,7 persen dari total responden pernah mengalami kekerasan seksual dari pasangan ataupun bukan pasangan.
Jenis kekerasan seksual yang paling sering dilakukan, seperti menerima pesan bernada seksual 10 persen, meraba tubuh 7,1 persen, pelaku memperlihatkan gambar seksual 5,1 persen, dan memaksa berhubungan seksual sebanyak 2,8 persen.
Rumah yang tak bungkam
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sekitar 28 juta perempuan pernah mengalami kekerasan pada 2016. Sementara pada tahun yang sama, data Komnas Perempuan menunjukkan, ada 245.548 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Data ini menunjukkan adanya disparitas antara jumlah perempuan yang mengalami kekerasan dan jumlah perempuan yang melaporkan kasus kekerasan yang dialami (Kompas, 9/5/2017).
Bungkamnya para penyintas membuat Eliza menggagas House of the Unsilenced. Sebuah rumah yang memungkinkan penyintas bercerita melalui berbagai medium, seperti puisi, cerpen, melukis, bermusik, bernyanyi, dan fotografi.
”Kalau bicara secara langsung sulit, lewat media sosial malah dicaci maki. Oleh sebab itu, kami coba menyuarakan lewat kesenian,” ujar Eliza. Selain melibatkan unsur kreatif, penyaluran cerita melalui kanal-kanal tersebut juga mendorong proses berkarya bagi para penyintas.
”Dengan berkarya bersama akan tercipta komunitas. Pada akhirnya, mereka yang memiliki pengalaman serupa bisa memahami apa yang dialami sesama penyintas dan siap mendukung,” ujar Eliza.
Dengan semakin banyak penyintas yang menyuarakan haknya, Eliza berharap masyarakat semakin lebih paham, berempati, dan mencegah segala bentuk kekerasan seksual.
Saat memasuki ruangan House of Silence yang terletak di Cemara 6 Galeri, Menteng, Jakarta Pusat, instalasi cermin akan menyambut pengunjung dengan pesan moral yang terpampang di cermin. ”Dengar dan refleksikan dirimu dalam cerita mereka” tertulis di salah satu cermin.
Pengunjung pun dapat mendengarkan langsung cerita penyintas dari audio yang ditempel di dua sisi cermin. Suara yang sengaja dipelankan mewajibkan pengunjung menempelkan telinga ke audio. Di sini, kita benar-benar diajak menyelami cerita para penyintas sambil berkaca pada diri sendiri. Sudahkah kita memahami apa yang mereka rasakan?
Tak jauh dari situ, terdapat hiasan bunga dari benang dan kertas yang dibingkai kanvas. Berdasarkan keterangan yang tertera, karya ini merupakan ekspresi tidak bungkam dari perumpamaan yang digunakan media bagi korban kekerasan seksual. Sebab, penyematan nama bunga terhadap korban memberi makna konotatif yang mengarah kepada sosok lemah sekaligus menggoda.
Sementara itu, House of the Unsilenced telah dibuka sejak 15 Agustus dan akan berakhir pada 2 September mendatang. (DIONISIO DAMARA)