Terpana Air Terjun Parapa
Dari ketinggian 35 meter, air menyembur deras melengkung. Pecahan butiran air menyelinap masuk di sela-sela batu kehitaman yang ditumbuhi lumut. Percikan lembut air yang terbawa angin pun menghadirkan kesejukan, mengusir gerah setelah berjalan jauh. Selamat datang di Air Terjun Parapa di dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah.
Pancuran deras air tersebut merupakan tingkat atau bagian kedua air terjun Parapa. Pancuran pertama terletak sekitar 20 meter di hulu. Bagian ini sulit dijangkau karena terhalang tebing batuan tinggi. Aliran air terlihat bak untaian kapas putih.
Sebelum pancuran kedua, air mengalir datar sepanjang 15 meter. Aliran air pada bagian ini tak terlihat dari dasar pancuran. Di ujungnya, air memancar membentuk pancuran kedua.
Air Terjun Parapa merupakan bagian hulu Sungai Gunung Potong IV di enklave Dongi Dongi, Desa Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi. Air terjun berjarak sekitar lima kilometer dari Jalan Poros Palu, ibu kota Provinsi Sulteng, dengan Lembah Napu, Kabupaten Poso. Dari Palu, pengunjung menempuh jarak 70 kilometer menuju titik awal masuk ke lokasi air terjun.
Selain keunikan dua pancuran, Air Terjun Parapa juga istimewa karena lokasinya yang berada di celah batuan. Batuan menjulang di kiri dan kanan air terjun membentuk tebing tinggi.
Di dua sisi itu, lumut menyelimuti batu. Air terjun mengalir di batuan berwarna kecokelatan, tak berlumut. Susunan batuan itu seolah membentengi air terjun dengan hanya menyisakan celah tempat air mengalir keluar.
Area untuk menikmati air terjun berada di dasar tebing batuan. Tempat berukuran 20 meter x 30 meter ini dipenuhi pecahan batu yang sebagian besar cukup tajam. Tak ada kolam atau lubuk yang terbentuk di ujung pancuran. Pengunjung mandi di pancuran.
“Airnya cukup dingin. Mandi di pancuran tinggi ini sangat menyenangkan,” kata Frederik Syukur (23), pengunjung yang menikmati Air Terjun Parapa, Minggu (29/7/2018).
Tak mandi pun sebenarnya tak masalah. Berfoto dengan latar belakang air terjun dua tingkat sudah sangat memuaskan. “Saya tidak tahan dingin. Berfoto saja sudah lebih dari cukup,” kata Ryan Yusuf (22), pengunjung lainnya.
Untuk mengabadikan momen di air terjun, pengunjung perlu cermat. Hampir semua titik di sekitar air terjun tak luput dari cipratan air, baik dari pancuran di sisi barat maupun air rembesan dari tebing batuan. Apalagi saat angin kencang bertiup. Kondisi ini bisa merusak kamera atau minimal membuat hasil jepretan kamera tak sebagus pandangan mata.
Akses lokasi
Air Terjun Parapa "ditemukan" pada tahun 2015. Balai Besar Taman Nasional (BBTN) Lore Lindu telah memasukkan air terjun tersebut sebagai salah satu obyek wisata. Jalur menuju air terjun pun telah dirintis.
Dari KM 70 di enklave Dongi Dongi, Desa Tongoa, perjalanan ditempuh selama 1,5 jam. Mula-mula melewati kebun kakao warga, selanjutnya perjalanan dihabiskan dengan menyeberang dan menyusuri pinggiran sungai di tengah hutan lebat. Enam kali pengunjung harus menyeberang sungai. Air sungai itu jernih dengan hawa sejuk di sepanjang jalan.
Menyeberangi sungai dibutuhkan kewaspadaan ekstra agar tidak tergelincir. Batuan seperti memenuhi sungai. Selain itu, arus Sungai Gunung Potong IV yang lebarnya tiga meter itu juga cukup deras. Sementara, di pinggir sungai, banyak batu berlumut yang licin. Tak ada jalan lain, kecuali menaklukkan batu berlumut tersebut.
Leonard Denta (48), anggota Kelompok Pencinta Satwa Kamarora di Desa Kamarora, Kecamatan Nokilalaki menuturkan, pihaknya sudah pernah menyampaikan ke pihak BBTN Lore Lindu untuk membuka jalur baru. Rute baru tersebut menyusuri kaki Gunung Nokilalaki (2.235 mdpl) di sisi timur dengan waktu tempuh tak lebih dari satu jam. Rute baru itu perlu untuk menghindari sungai.
Kelompok Pencinta Satwa Kamarora adalah mitra BBTN Lore Lindu dalam memantau dan menjaga taman nasional. Anggota kelompok menjadi pemandu bagi peneliti dan wisatawan domestik serta mancanegara yang datang mengamati satwa endemik, seperti tarsius (Tarsius dentatus) di Kamarora dan maleo (Macrocephalon maleo) di Desa Kadidia, Nokilalaki.
Leonard sering menyambangi tempat itu kala mendampingi para peneliti tumbuhan. Peneliti terkesan dengan panorama air terjun tersebut. Namun, mereka belum berani menawarkan atraksi wisata itu ke wisatawan mancanegara yang datang mengamati satwa, karena jalurnya yang dirasa belum aman.
Bagi Ryan, panorama Air Terjun Parapa berpotensi mendatangkan wisatawan atau pencinta alam. “Potensi besar ini harus dikembangkan, tentu dengan melibatkan masyarakat setempat,” ujarnya.
Meski jalur telah dibuka, air terjun tersebut belum dikelola selayaknya obyek wisata, misalnya penarikan tiket masuk untuk pengunjung dan penyediaan fasilitas standar.
Kepala BBTN Lore Lindu Jusman menyampaikan, saat ini tengah disusun rencana induk pengembangan potensi wisata di taman nasional. Masyarakat di sekitar kawasan akan dilibatkan secara aktif untuk mengembangkan berbagai atraksi wisata.
Tercatat ada dua air terjun yang layak dikembangkan sebagai obyek wisata di TN Lore Lindu. Selain Parapa, ada pula Air Terjun Kamarora di Desa Kamarora dengan ketinggian pancuran mencapai 80 meter.
Potensi wisata lain, yakni pengamatan satwa dan pendakian gunung, terutama Gunung Nokilalaki. “Taman Nasional Lore Lindu punya banyak atraksi wisata, tetapi belum dikelola dengan baik,” katanya.
Pengembangan pariwisata alam yang ramah lingkungan sangatlah penting. Apalagi jika keberadaannya turut menyejahterakan warga. Bila itu terwujud, wajah taman nasional tak hanya soal kepiluan karena kerusakan dan perburuan habitat satwa. Mudah-mudahan segera ada jalan keluar.