Bayang-bayang Gelisah di Hutan Datuk Belang
Berada di alam mendekatkan manusia pada hakikat sejatinya. Untuk sesaat, Sungai Subayang yang asri memberikan kedamaian itu. Namun, kedamaian itu berubah menjadi perasaan gelisah akan ancaman kerusakan saat sampan kami melintasi petak-petak kebun sawit.
Sungai Subayang yang membelah Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, Provinsi Riau, pada Senin (23/7/208) sore itu begitu jernih hingga memantulkan pemandangan sekitarnya. Konon, sungai anak Sungai Kampar itu memang dinamai Subayang yang artinya bayang-bayang dari kejernihan airnya.
Menyusuri Sungai Subayang dari Dermaga Gema, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, hingga Desa Gajah Bertalut, Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling menghadirkan keindahan hutan Sumatera lengkap dengan monyet liar dan babi hutan. Desa Gajah Bertalut terletak di dalam kawasan.
Kedamaian kami terusik petak-petak kebun sawit di sekitar Desa Muara Bio, desa yang berada dekat batas kawasan konservasi itu. Juga aktivitas pembalakan hutan yang terlihat di beberapa lokasi di Sungai Subayang.
Aktivitas pengeluaran gelondongan batang pohon dari kawasan hutan berlangsung dari pagi hingga siang. Sore hari, beberapa sampan terlihat menarik puluhan meter kayu ke arah Dermaga Gema.
Dari dermaga kecil itu, sebagian besar kayu itu dibawa ke Desa Lipatkain, desa paling ramai di Kecamatan Kampar Kiri. Di sana, kayu diolah menjadi kelengkapan rumah, seperti kusen, pintu, dan jendela.
Kegiatan membuka hutan adalah ancaman bagi kawasan konservasi itu. Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling ditetapkan seluas 142.226 hektar (ha). Dari sisi konservasi, kawasan itu penting karena merupakan salah satu habitat harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang terakhir di tengah penggundulan hutan yang makin ganas di Sumatera.
Dahulu, hutan itu bagian dari koridor harimau di Bukit Barisan. Sekarang, koridor yang vital untuk satwa itu sudah terputus-putus oleh permukiman, kebun sawit, hutan tanaman industri, dan kegiatan ekonomi manusia lainnya.
Di sekitar kawasan konservasi itu pun, ”si datuk”, demikian sebagian warga lokal menyebut harimau, kian terdesak. Konflik yang membawa korban, baik manusia maupun harimau, telah beberapa kali terjadi. ”Tahun lalu, ada warga tewas di desa tetangga diserang harimau,” kata Datuk Pucuk atau Kepala Adat Desa Gajah Bertalut Adam Rus (44).
Secara kultural, warga sebenarnya meletakkan harimau di posisi tinggi. Harimau diyakini hanya akan mengganggu saat kehidupan desa rusak oleh perilaku tak baik.
Desa di kawasan
Gesekan kegiatan manusia dengan kepentingan konservasi di pinggiran Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling sulit dihindari. Lama sebelum ditetapkan sebagai kawasan konservasi, pinggiran Sungai Subayang sudah dihuni permukiman.
Keberadaan permukiman di dalam suaka margasatwa itu tercatat setidaknya tahun 1841 yang ditandai dengan sisa bangunan yang masih ada di lokasi yang sekarang menjadi bagian dari Desa Gajah Bertalut.
Sekarang, permukiman di dalam dan sekitar kawasan termasuk dalam Kekhalifahan Batu Sanggan yang terdiri dari lima negeri dan delapan desa. Struktur pemerintahan ini merupakan struktur adat yang terikat dalam satu kekerabatan.
Adam mengatakan, saat penetapan sebagai kawasan konservasi pada 1982, warga tak langsung mengetahui penetapan kawasan itu. Mereka baru tahu pada 1986 setelah salah satu pemimpin desa pergi ke kota dan pulang dengan kabar tersebut.
”Tahun-tahun itu kami naik sampan satu minggu untuk ke Lipatkain, jadi kabar dari kota biasanya memang terlambat sampai ke sini. Setelah ada pemberitahuan itu, kami tak boleh menebang kayu, berburu boleh, tetapi bakar lahan buat buka talang tidak boleh. Jadi, kami tak bisa lagi ladang berpindah,” tuturnya.
Dahulu kala, pemukim di sana bertani pangan dengan ladang berpindah. Setelah ada larangan membuka ladang dengan membakar, kehidupan ini berkembang menjadi desa menetap dan kebun karet. Namun, seiring dengan jatuhnya harga karet yang sekarang berkisar Rp 6.000 per kilogram, sebagian warga terpaksa memotong kayu (logging) guna memenuhi kebutuhan harian.
Tak hanya permukiman. Sebelum ditetapkan sebagai kawasan suaka margasatwa, di kawasan itu juga sudah terdapat beberapa perusahaan hutan dan batubara. Artinya, pembukaan hutan tingkat industri disertai alat berat sudah terjadi sebelumnya.
Kearifan lokal
Ilegal atau legal, sulit untuk menghakimi aktivitas pembukaan kebun sawit oleh warga. Tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup membuat mereka tak punya banyak pilihan. Sejauh ini, pemotongan kayu di sana masih dilakukan dalam secara kecil, yaitu secara manual tanpa menggunakan alat berat. Setelah bertahun-tahun berlangsung, sebagian besar hutan masih terlihat terjaga tutupannya.
Hal ini karena warga masih berpegang pada kearifan lokal yang menjadi aturan adat untuk menjaga hutan. Kearifan lokal ini dituangkan dalam Piagam Kesepakatan Bersama Lembaga Adat, Kepala Desa, dan Alim Ulama. Sederet larangan disebutkan, antara lain larangan mengambil kayu sebelum mendapat izin dari lembaga adat, mengambil kayu yang dilindungi secara adat seperti kayu jelutung dan sialang, serta memperjualbelikan hutan adat.
Warga juga menetapkan kawasan lubuk larangan yang artinya kawasan sungai yang hanya bisa dipanen ikannya di waktu tertentu. Larangan ini mencegah pengambilan ikan berlebihan.
Ada juga kawasan hutan yang tak boleh disentuh yang namanya imbo (rimba) gano dan imbo cadangan atau hutan cadangan yang hanya bisa dipakai saat kawasan hutan lainnya sudah habis. Pelanggaran terhadap aturan itu akan dikenai sanksi adat. ”Biasanya dimintai setor semen atau sampai tak diikutkan dalam takbiran,” kata Adam.
Hutan adat
Hingga sekarang, warga masih bergantung pada hasil hutan. Mereka mencari madu, gaharu, dan jernang atau sejenis rotan untuk penghasilan selain memotong kayu di pinggiran. Lantaran tingginya ketergantungan warga dari hasil hutan, Kekhalifahan Batu Sanggan mengajukan pengelolaan atas hutan adat. Mereka meminta 70.023 ha hutan dilepaskan dari luas suaka margasatwa 141.226,25 ha sebagai hutan adat.
Dari delapan desa tersebut, baru Gajah Bertalut yang sudah siap dengan dokumennya. Desa itu mengajukan 4.414 ha untuk hutan dan wilayah adat serta 10 ha untuk pemukiman.
Secara mandiri, mereka bahkan membuat peta rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) hutan adat yang terbagi dari beragam zona adat, termasuk imbo larangan dan imbo cadangan.
Pendamping warga dari World Resources Institute (WRI) dan Asosiasi Masyarakat Adat Nusatara (AMAN) Kampar Julianus Lawalata mengatakan, sistem tata guna lahan dilakukan lewat pemetaan partisipatif masyarakat sendiri. Sistem tersebut diadaptasi dari aturan adat.
Setahun terakhir, warga juga mulai belajar bertani komoditas lain, seperti mentimun dan cabai organik. Semua dilakukan masih dalam skala kecil di sekitar desa.
Elin Purnamasari (24), Ketua Kelompok Tani 17 Gajah Bertalut, mengatakan, cabai dan mentimun sudah mulai panen untuk dijual kepada pedagang dari Lipatkain. Mereka masih butuh bantuan untuk mengembangkannya, terutama dari sisi benih.
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Riau Suharyono sudah menyiapkan solusi terkait permukiman di sekitar dan di dalam Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling. Salah satunya adalah dengan mengembangkan pembangunan berwawasan lingkungan.
Warga pun siap menjaga kelestarian hutan selama ada sumber ekonomi lain yang memadai. Pemerintah diharapkan menyambut aspirasi selama sejalan dengan konservasi. Sebab, berapa lama kearifan lokal bertahan saat sumber ekonomi kian tipis? Ke mana lagi para datuk belang itu harus menyingkir?