Berlarut-larut Dieksekusi, Preseden Buruk Penegakan Hukum Kebakaran Hutan
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Berbelit-belitnya proses eksekusi terhadap kasus kebakaran hutan dan lahan bisa jadi preseden buruk bagi penegakan hukum perdata. Kasus-kasus perdata lain bisa mengikuti proses mempermainkan administrasi peradilan jika kasus ini tak kunjung mendapat ketegasan Mahkamah Agung sebagai otoritas tertinggi yudikatif.
Hal itu belajar dari eksekusi kasus kebakaran hutan dan lahan PT Kallista Alam di Meulaboh, Aceh, yang berlarut-larut, bahkan pengajuan peninjauan kembali (PK) ditolak. Di sisi lain, ada putusan kasasi (sejak Agustus 2016) atas kasus pembalakan liar PT Merbau Pelalawan Lestari di Riau diganjar untuk membayar ganti rugi Rp 16,2 triliun, tetapi kini sedang proses PK.
Dalam berbagai forum membahas kasus ini, pakar hukum berpendapat, proses PK tak menghalangi eksekusi. Pada kasus Kallista Alam, meski PK ditolak MA, perusahaan sawit itu kembali menggugat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) karena kesalahan redaksional sebagian titik lokasi yang dibahas dalam persidangan-persidangan sebelumnya.
”Ini jadi preseden buruk kasus-kasus perdata dalam kebakaran hutan yang diproses penegak hukum,” kata Bambang Hero Saharjo, pakar kebakaran hutan dan lahan serta Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Sabtu (18/8/2018), di Jakarta. Ia menjadi saksi ahli dalam banyak kasus kebakaran hutan dan pembalakan liar yang ditangani kepolisian dan KLHK.
Ini jadi preseden buruk kasus-kasus perdata dalam kebakaran hutan yang diproses penegak hukum.
Bambang Hero berharap eksekusi PT Kallista Alam segera dilakukan. Sebab, Mahkamah Agung menurunkan Badan Pengawas MA dan Komisi Yudisial dilibatkan untuk menelisik kejanggalan terhambatnya eksekusi Kallista Alam. ”Sampai kini adem ayem. Tak ada penjelasan kepada publik perkembangannya. Saya menanti ketegasan otoritas tertinggi yudikatif, yakni MA, menegakkan kepastian hukum,” ujarnya.
Seperti diberitakan, sejak 2014, Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh menyatakan Kallista Alam bersalah dalam kasus kebakaran hutan dan lahan. Majelis hakim mengganjar Kallista Alam dengan hukuman membayar ganti rugi ke negara Rp 114,3 miliar dan biaya pemulihan lingkungan Rp 251,76 miliar. Itu berkekuatan hukum tetap setelah banding dan kasasi ditolak Pengadilan Tinggi Aceh dan MA.
Pada November 2016, KLHK mengajukan permohonan eksekusi ke PN Meulaboh. Surat ini dibalas PN Meulaboh dengan penundaan eksekusi karena Kallista Alam mengajukan PK. Lagi-lagi, upaya ini ditolak MA. Selanjutnya, pada 13 Juni 2017, Kallista Alam meminta perlindungan hukum kepada PN Meulaboh.
Kemudian, pada 20 Juni 2017, Kallista Alam menggugat KLHK, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Aceh, Koperasi Usaha Bersama, dan BPN Wilayah Aceh antara lain karena kesalahan sebagian lokasi dalam gugatan KLHK pada berkas sidang sebelumnya. April 2018, PN Meulaboh menyatakan putusan MA (kasasi dan putusan PK) tak bisa dieksekusi.
Mengirim surat
Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, menyatakan, pihaknya mengupayakan eksekusi Kallista Alam. ”Kami ingin secepatnya dieksekusi, tetapi kewenangan di PN Meulaboh,” katanya.
Menurut Jasmin Ragil Utomo, Direktur Penyelesaian Sengketa KLHK, 16 Agustus 2018, KLHK mengirim surat kembali kepada Ketua PN Meulaboh, ditembuskan kepada MA, Badan Pengawas MA, dan Komisi Yudisial. Isinya minta melakukan pembayaran biaya aanmaning dan menindaklanjuti surat KLHK (6 Juni 2018) berisi hal serupa. Aanmaning adalah peringatan dari pengadilan terhadap pihak yang berpekara.
Menjawab surat pertama, Ketua PN Meulaboh meminta petunjuk hukum kepada Ketua PT Aceh. PT Aceh menyatakan, eksekusi kewenangan PN Meulaboh tak boleh diintervensi pengadilan tinggi dan MA.