Berpikir Kritis Lebih Penting dari Sekadar Literasi Media
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Maraknya penyebaran berita bohong dan hoaks bukan disebabkan oleh kemajuan internet, melainkan oleh setiap orang yang tidak bijak dalam menggunakannya. Masyarakat Indonesia harus mampu berpikir kritis dalam menerima setiap informasi.
Pada masa kampanye hingga pemilihan umum tahun 2019, diperlukan koordinasi antara Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta kepolisian. Koordinasi ini untuk membuat kualifikasi konten yang termasuk dalam pelanggaran atau pidana pemilu.
”Hingga saat ini, belum ada aturan tentang kualifikasi konten yang dibatasi, bagaimana mekanismenya, siapa pelakunya, serta jika terjadi kesalahan, bagaimana pemulihannya. Seharusnya, badan legislatif dapat membuat aturannya sehingga pelaku dapat ditindak sesuai aturan yang berlaku,” tutur Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar, di Jakarta, Senin (20/8/2018).
Dalam kuliah umum bertemakan ”How does the State respond to Hoax and Fake News?”, Wahyudi mengatakan, selain pembuatan aturan yang jelas, pemerintah juga perlu membuat layanan konfirmasi informasi dan berita. Berkaca pada Jerman yang memiliki layanan tersebut, Indonesia juga seharusnya dapat memfasilitasi masyarakat untuk mendapat informasi yang sesuai fakta.
Profesor di Fakultas Hukum dari Universitas Hamburg, Wolfgang Schulz, mengatakan, perlu adanya peningkatan kesadaran terhadap masyarakat. Dalam upaya mencegah penyebaran berita bohong dan hoaks, yang diperlukan tidak hanya sekadar literasi media, tetapi membangun pemikiran yang kritis.
”Literasi media memang penting, tetapi masyarakat saat ini cenderung menggunakan unsur psikologis, yaitu berdasarkan kedekatan dalam menerima informasi. Bukan apa informasinya, melainkan siapa yang mengatakannya. Maka, masyarakat harus diajak untuk berpikir kritis,” ujar Wolfgang.
Hal senada dikatakan dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Sinta Dewi Rosadi. Menurut dia, Kementerian Komunikasi dan Informatika berperan penting dalam melarang, membatasi, dan menyaring informasi yang dapat dikonsumsi publik.
”Masyarakat Indonesia paham menggunakan internet, tetapi tidak tahu bagaimana menggunakannya dengan bijak. Ketiadaan aturan dalam penyebaran informasi juga menambah keresahan masyarakat atas pemberitaan yang tidak benar,” lanjutnya.
Menurut Sinta, dunia internet harus memiliki aturan. Seharusnya ada aturan mengenai keseimbangan dalam memanfaatkan internet. Aturan tersebut harus memastikan bagaimana kebebasan berpendapat dan berekspresi tetap dapat dilakukan sesuai dengan batasan yang disepakati. (SHARON PATRICIA)