Buah Manis Pembinaan
Hasil tak pernah mengkhianati proses. Pembinaan terencana, sikap pantang menyerah, dan kompetisi teratur menjadi kunci. Medali emas pertama Indonesia pada Asian Games 2018 buktinya.
JAKARTA, KOMPAS Pembinaan berjenjang dan pelatihan tidak terputus taekwondo Indonesia berbuah manis pada Asian Games 2018. Hasilnya, taekwondoin nomor poomsae putri Defia Rosmaniar mempersembahkan medali emas pertama bagi Indonesia, Minggu (19/8/2018).
Defia menjadi bukti, hasil tidak pernah mengingkari proses pembinaan terencana. Defia yang kerap berprestasi pada turnamen daerah di Bogor dan Jawa Barat dipilih pemandu bakat Pengurus Besar Taekwondo Indonesia (PBTI) masuk pelatnas pada 2012. Dua kali dia terpental dari pelatnas, tetapi terus berlatih lebih keras dan ditarik kembali ke pelatnas.
Pelatnas jangka menengah sejak 2016 membuat Defia semakin matang dan berhasil merebut medali emas perdana taekwondo Indonesia di Asian Games, mengakhiri penantian empat windu PBTI di pesta olahraga Asia itu.
Asia cukup dominan di cabang taekwondo. Dengan merebut medali emas Asian Games, Defia membuat taekwondo Indonesia diperhitungkan di tingkat Asia dan dunia.
”PBTI mempersiapkan Asian Games sejak lama dengan menjaring atlet berbakat dari daerah dan melatihnya secara intensif di pelatnas. Kami ingin taekwondo Indonesia semakin diperhitungkan di dunia,” kata Marciano Norman, Ketua Umum PBTI.
Atlet berusia 23 tahun itu tidak menemui kesulitan pada babak 16 besar dan perempat final. Pelatnas di Jakarta dengan pelatih dari Korea Selatan dan pelatnas lima bulan di Seoul di bawah bimbingan Profesor Tae Seong-jeong dari Persatuan taekwondo Asia membuat kualitas Defia jauh di atas lawannya.
Defia menang atas Wong Ka Yiu (Hong Kong) pada babak 16 besar dan menyingkirkan pesaing kuatnya di SEA Games, Tuyet van Chau (Vietnam).
Ujian bagi Defia terjadi pada semifinal saat ditantang atlet Korsel, Yun Ji-hye. Yun adalah juara Universiade 2017 dan salah satu atlet yang dipersiapkan Korsel menjadi juara dunia. Pada peragaan jurus pertama, Defia tertinggal dengan skor 8,440 berbanding 8,500. Yun tampil sangat prima sehingga kesalahan minor dari Defia membuat nilainya tertinggal.
Namun, Defia membuktikan dirinya memiliki mental baja. Disaksikan ribuan penonton yang mendukungnya, termasuk Presiden Joko Widodo, Defia tampil luar biasa pada jurus kedua. Keseimbangannya dengan satu kaki mantap. Pukulan dan tendangannya sangat bertenaga.
Sebaliknya, Yun kerap kehilangan waktu saat memperagakan gerak keseimbangan. Beberapa kali kakinya agak bergetar. Di jurus kedua, Defia diganjar nilai 8,600 sehingga rata-ratanya 8,520. Yun yang mendapat 8,300 mendapat nilai total 8,400.
Hasil itu meningkatkan kepercayaan diri Defia saat final melawan Marjan Salahshouri (Iran). Langsung memimpin di jurus pertama, dia meraih emas dengan skor 8,690. Salahshouri yang kurang sempurna pada jurus kedua mendapat skor 8,470.
”Saya gembira dapat meraih emas pertama bagi Indonesia. Medali emas ini saya persembahkan bagi almarhum ayah, ibu, para pelatih, dan seluruh rakyat Indonesia,” kata Defia.
Korsel meraih dua emas dari nomor tim putra dan perseorangan putra melalui Kang Min-sung. Emas poomsae beregu putri direbut Thailand.
Minim persiapan
Sebaliknya, minimnya persiapan dan kompetisi membuat pegulat Tanah Air gagal meraih hasil terbaik. Pada nomor gulat gaya bebas Asian Games 2018, Minggu (19/8), semua pegulat nasional tumbang dini.
Pada lima kelas laga di Assembly Hall Jakarta Convention Center, Jakarta, empat pegulat tuan rumah tumbang di babak pertama. Ardiansyah Darmanshyah (65 kilogram), Rizki Dermawan (74 kg), Fahriansyah (86 kg), dan Ronald Lumbantoruan (97 kg) tidak bisa menyelesaikan lima menit laga karena tertinggal lebih dari 10 poin dari lawan.
Hanya Eko Roni Saputro (57 kg) yang lolos ke perempat final. Eko sempat unggul 4-2 atas Liu Minghu (China). Namun, ia kalah lincah dan takluk 5-10.
Pelatih gulat Zulhaidir mengatakan, timpangnya kualitas pegulat nasional disebabkan minim tampil dalam kompetisi internasional. Selama delapan bulan di pelatnas, mereka tidak pernah berkompetisi. ”Makanya terlihat sekali mereka bingung saat bertanding. Anak-anak juga gugup karena minim atmosfer kompetisi,” ucap Zulhaidir.
Satu-satunya agenda internasional adalah pelatnas di Bulgaria dan berlatih tanding dengan pegulat lokal pada Mei 2018. Namun, berkaca dari Bulgaria, pegulat nasional mengikuti minimal enam-tujuh kompetisi internasional dalam setahun. ”Pegulat kita hanya satu kali berkompetisi, yakni kejuaraan nasional,” katanya. Adapun kompetisi internasional terakhir yang diikuti adalah SEA Games 2013.
Pelajaran berharga juga harus ditimba atlet menembak Indonesia. Dari empat nomor yang diperlombakan, yakni trap putri, trap putra, 10 meter air pistol, dan 10 meter air rifle di Arena Menembak Jakabaring, Palembang, atlet Indonesia tertinggal jauh dari negara Asia lainnya.
Atlet air pistol Deny Pratama mengatakan, petembak Indonesia kurang jam terbang sehingga gugup saat perlombaan. Selama pelatnas Asian Games, mereka hanya dua-tiga kali beruji coba dalam turnamen internasional. ”Kami butuh ikut uji coba lebih banyak. Dengan banyak berlomba, kami lebih terbiasa bertemu lawan kuat,” ujarnya.
Pembinaan olahraga menembak Indonesia perlu belajar dari negara lain. Perebut emas air pistol asal China, Ji Xiaojing (30), mengatakan, di negerinya, olahraga menembak telah dikenalkan sejak dini. Mulai SMP hingga perguruan tinggi terdapat klub menembak di sekolah. ”Saya kenal menembak mulai dari usia 13 tahun,” ujar Ji.
Hal serupa dilakukan Taiwan, yang merebut emas 10 meter air rifle melalui Lin Yingshin (19)/Lu Shaochuan (21). ”Dengan demikian, meski bukan olahraga favorit, olahraga menembak tetap terbina dengan baik dan bisa menghasilkan atlet secara berkelanjutan,” kata Presiden Asosiasi Menembak Taiwan Chen Shyhkwei Chen. (ECA/KEL/DRI)