Korporasi Tak Dihukum, Kebakaran Hutan di Kalimantan Kembali Terulang
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski dalam dua tahun terakhir kasus kebakaran hutan dan lahan jauh berkurang dibandingkan tahun 2015, tahun ini justru dikhawatirkan kian meluas. Kabut asap yang terjadi di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, dan Pontianak, Kalimantan Barat, menjadi indikator kebakaran hutan dan lahan di area bergambut belum bisa dihentikan.
Kebijakan korektif yang didengungkan pemerintah dalam tata kelola hutan dan ekosistem rawa gambut belum terjadi. Korporasi yang berada di balik kebakaran hutan dan lahan tak pernah dijatuhi sanksi hukum yang tegas.
Catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, data dari titik api dari berbagai sumber pada 1 Januari-14 Agustus 2018 terdapat 2.173 titik api. Jumlah tertinggi di Kalimantan Barat sebanyak 779 titik dan Riau 368 titik.
Mereka menyayangkan data titik api yang dianalisis melalui tumpang susun dengan peta perizinan, ditemukan sebagian titik api berada di konsesi 230 di Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT), 85 di IUPHHK-Hutan Alam, 122 di lahan hak guna usaha (perkebunan sawit). Selain di dalam konsesi, mereka juga mencatat sebaran titik api berada di wilayah kesatuan hidrologi gambut (KHG), yang menjadi wilayah prioritas pemulihan restorasi gambut dan pencegahan dari kebakaran.
”Harapan kebakaran hutan dan lahan gambut tidak terjadi lagi pascaperistiwa hebat pada tahun 2015 pupus,” kata Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Senin (20/8/2018) di Jakarta.
Dari data Walhi tersebut, katanya, belum menunjukkan perubahan signifikan dari krisis kebakaran hutan dan lahan sebelumnya. Kebijakan korektif yang selama ini didengungkan pemerintah dalam tata kelola hutan dan ekosistem rawa gambut belum terjadi. Pembentukan Badan Restorasi Gambut serta penerbitan PP No 57/2016 sebagai pengganti PP No 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut belum berdampak dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan.
Khalisah mengingatkan peristiwa kebakaran yang kembali berulang pada tahun 2018 seharusnya menyadarkan pemerintah akan pembenahan dan peninjauan ulang perizinan serta tata kelola kehutanan di rawa gambut. Sayangnya, lanjutnya, pekerjaan rumah tersebut tersendat-sendat dijalankan, jauh dari harapan pembenahan tata kelola dan penegakan hukum.
Anton P Widjaya, Direktur Walhi Kalimantan Barat, menyatakan, kemunculan titik api sangat tinggi—bahkan diiringi kabut asap—di Kalimantan Barat, menjadi fakta bahwa perbaikan tata kelola gambut di Kalbar belum berhasil. ”Realitas ini sekali lagi menjelaskan bahwa restorasi gambut, tanpa penegakan hukum bagi korporasi, adalah kesia-siaan,” katanya.
Dimas Hartono, Direktur Walhi Kalimantan Tengah, pun menemukan pengeringan gambut masih terjadi di beberapa konsesi penanaman sawit. Ia menyayangkan hal ini dan berharap pemerintah bertindak tegas terhadap korporasi untuk menimbulkan efek jera.
Khalisah menambahkan, tantangan terbesar persoalan kebakaran hutan dan gambut serta penanganannya adalah kuatnya aktor korporasi yang selama ini berada di balik peristiwa kebakaran hutan dan gambut. Komitmen penegakan hukum yang sempat dilontarkan Presiden Joko Widodo pada tahun 2015 dan awal tahun 2016, menurut Khalisah, semakin melemah dengan mengatasnamakan ketelanjuran, sehingga korporasi semakin merasa mendapatkan angin, bahkan terus melakukan upaya pembangkangan hukum.
”Penegakan hukum lebih banyak bersifat pemberian sanksi administratif yang tidak memberikan efek jera sedikit pun bagi korporasi,” katanya.
Terkait penegakan hukum bersifat sanksi administrasi ini, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani mengatakan, sanksi ini lebih mudah dilakukan karena menjadi kewenangan pemerintah, sifatnya pun berupa pembinaan dengan pengenaan paksaan pemerintah.
Artinya, korporasi diperintahkan melakukan perbaikan-perbaikan tata kelola. Apabila di area gambut, korporasi diperintahkan menyekat kanal sehingga air muka tanah terjaga pada ketinggian minimal 0,4 meter. Korporasi pun dipaksa memasang beberapa titik penataan yang memastikan ketinggian muka air tanah terjaga sehingga gambut tetap basah.
”Kami terus melakukan pengawasan kepatuhan terhadap gambut. Kami juga melakukan langkah korektif melalui sanksi administratif,” katanya. Ia pun menjanjikan akan menindaklanjuti penegakan hukum apabila ditemukan pelanggaran-pelanggaran seperti yang dilakukannya pada tahun 2015.
Khalisah mengatakan, penegakan hukum pada kasus kebakaran hutan dan lahan saat ini malah menyasar masyarakat adat, masyarakat lokal, dan petani. Ia pun menyoroti aparat keamanan yang menyerukan ”tembak di tempat bagi pelaku pembakaran”. Hal itu, lanjutnya, menunjukkan aparat keamanan gagal melihat bahwa kebakaran hutan dan lahan gambut adalah problem struktural yang disebabkan pelanggaran hukum oleh aktor yang memiliki kekuatan ekonomi.