Patut Dijaga, Ketahanan dan Keberlanjutan Pangan Indonesia
Oleh
Adi Prinantyo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia menghadapi ancaman keberlanjutan sumber daya alam yang bisa merugikan ekonomi lokal dan kesejahteraan penduduk, dari praktik produksi pangan yang mengabaikan aspek ketahanan, kedaulatan, dan keberlanjutan pangan. Untuk itu, perlu didorong pola produksi dan konsumsi pangan berkelanjutan, praktik produksi nonkimia, pemeliharaan keragaman varietas sumber pangan lokal, pembagian hasil berkeadilan, dan penyadaran pengetahuan konsumen.
Beberapa materi itu mengemuka dalam workshop ”Penyusunan Strategi Kampanye Produk Hijau, Sehat, Adil, dan Lokal”, yang digelar Proyek SWITCH Asia, Senin (20/82018) di Jakarta.
Project Manager SWITCH Asia-Local Harvest Miranda mengatakan, workshop berfokus pada produksi, konsumsi, dan advokasi atas produk hijau, sehat, adil, dan lokal sebagai upaya edukasi. Juga, penyadaran pengetahuan konsumen mengenai produksi dan konsumsi yang adil dan berkelanjutan, dengan memperluas jangkauan produk ke pasar konsumen urban,serta melibatkan produsen kecil sebagai aktor perubahan.
”Di lobi advokasi, gerakan ini perlu dukungan pemerintah melalui regulasi atau kebijakan. Tanpa itu, tidak akan berdampak luas dan sustainable. Oleh karena itu, kita akan berkerja sama dan bersinergi dengan pemerintah untuk mendukung sistem pangan lokal,” tutur Miranda.
Ia menambahkan, proyek itu berangkat dari program besar pemerintah, yaitu Nawacita Presiden Joko Widodo.
Sesuai laporan ilmiah WWF, ”Living Planet Report 2016”, sistem pangan global menyebabkan terjadinya penurunan tingkat keanekaragaman hayati akibat alih fungsi lahan, praktik produksi yang eksploitatif dan destruktif, serta pola produksi yang cenderung homogen, dan tidak mendorong diversifikasi sumber pangan.
Pemberdayaan komunitas
Ketua Konsorium Panen Raya Nusantara (Parara) Jusupta Tarigan berpendapat, pasar produk-produk lokal (komunitas) tidak berkembang karena faktor kebijakan. Terkait dengan hal itu, bersama 26 organisasi nonpemerintah (NGO) yang tergabung di konsorsium, mereka membuat kegiatan untuk menunjukkan produk lokal (hijau dan lestari) serta dapat berkontribusi terhadap ekonomi masyarakat.
Parara berusaha menghadirkan pasar bagi produsen sehingga produk-produk mereka dapat dikenal. ”Kami terus mengembangkan (produk-produk itu), dan dalam 10 tahun sudah membuat merek sendiri yang berasal dari produk lokal masyarakat. Jadi, masyarakat sendiri yang mengelola,” ucap Jusupta.
Ia mengatakan, bantuan pemerintah tetap diperlukan untuk semakin menghadirkan pasar-pasar yang berpihak langsung kepada petani. Termasuk, dalam membuka akses untuk mendistribusikan produk-produk lokal.
Ketua sekaligus pendiri Komunitas Organik Indonesia Christopher Emille Jayanata menambahkan, komunitasnya terus berkampanye agar masyarakat menyukai produk lokal karena Indonesia memiliki potensi yang luar biasa.
Dalam kampanye bertema ”Lokal untuk Lokal” itu, juga dikampanyekan penggunaan bahan alami ramah lingkungan untuk menjaga lingkungan agar tetap terjaga.
Ia mengatakan, agar pangan berkelanjutan dan berkedaulatan, produsen perlu berpikir jauh ke depan dan lebih bertanggung jawab. Jika memakai bahan kimia, daya dukung tanah tidak kuat dan akan habis. Sebaliknya, jika dikembalikan ke alam, akan muncul keselarasan alam.
”Sistem organik bisa memberikan jawaban atas ketahanan pangan, kedaulatan, dan keberlanjutan. Kita hanya butuh dukungan pemerintah. Semua sumber daya sudah ada, tinggal dijalankan saja. Kita butuh kebijakan saja. Lokal untuk lokal, ketika kembali ke alam, dan percaya pada keselarasan alam, maka alam akan melindungi kita,” tutur Emille.
Bibong Widyarti dari Slow Food Community memiliki strategi untuk mengangkat produk bahan pangan yang terancam punah dan membudidayakannya kembali. Konsep Slow Food adalah mengetahui asal-usul produk makanan, ada kearifan lokal untuk memperkenalkan asal makanan tersebut.
”Misalnya, salak condet yang terancam punah karena tinggal 80 pohon saja. Kita kenalkan kepada anak-anak muda, bagaimana cara mengolah salak condet. Salak condet tidak hanya dimakan untuk buah meja. Rasanya yang asam cocok digunakan untuk campuran sayur asem betawi. Ada pendekatan kearifan lokal,” kata Bibong.
Memperkenalkan produk lokal juga dilakukan koki gastronomi Ragil Imam Wibowo. Di restorannya, dia menghadirkan masakan dengan olahan produk lokal. Ia bertekad membuktikan bahwa olahan kuliner Nusantara memiliki presentasi baik, enak, dan bisa diterima khalayak.
Ia menyebutkan, perlu dukungan untuk mengampanyekan produk olahan lokal. Pemangku kebijakan atau pembuat keputusan harus mengerti bahwa produk Indonesia luar biasa. Jangan hanya berpikir untuk menjual secara massal dan memikirkan untuk devisa negara. (AGUIDO ADRI)