Pelaku UMKM Masih Kesulitan Akses Kredit Usaha Rakyat
JAKARTA, KOMPAS - Sejak digulirkan oleh pemerintah pada 2007, bunga kredit usaha rakyat terus menurun hingga 7 persen pada tahun ini. Namun, penyaluran kredit tersebut dirasa belum optimal oleh sejumlah pelaku usaha perdagangan.
Kredit usaha rakyat atau KUR merupakan solusi guna memudahkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk mengakses kredit. Program ini menganggarkan dana tertentu kepada UMKM setiap tahunnya. Adapun pada tahun ini alokasi dana KUR mencapai Rp 120 triliun.
Namun, tidak semua pelaku usaha mendapat kredit dari program tersebut. Hal ini dikatakan oleh Mirza Jaka Suryana, pemilik kedai kopi di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Senin (20/8/2018). Sejak didirikan Oktober tahun lalu, usaha kedai kopi miliknya belum berkembang benar. Kurangnya tambahan modal menjadi permasalahan.
"Kami belum memiliki alat roasting," kata Jaka. Akibatnya, biaya produksi menjadi mahal, karena harus mengeluarkan dana lebih untuk membeli kopi yang sudah diolah.
Walhasil, beberapa kali Jaka mengajukan KUR ke lembaga penyalur yakni bank. Kelengkapan administrasi pun dipersiapkan, seperti KTP beserta agunan. "Saya sudah siapkan sertifikat rumah sebagai jaminan," ujar Jaka.
Namun, setelah bank mengevaluasi dan menganalisa kelayakan usaha, kedai kopi milik Jaka dinyatakan tidak lolos pengajuan KUR. Pihak bank menyatakan usaha yang dirintis oleh Jaka belum bankable dan feasible.
Bankable artinya calon debitur belum memenuhi persyaratan teknis perbankan, terutama masalah agunan dan aspek legalitas. Sementara, feasible merupakan penilaian oleh bank apabila usaha dianggap cukup layak untuk mendapatkan dana pinjaman.
Padahal, kedai kopi miliknya bisa menghasilkan omzet sekitar Rp 18 juta per bulan. "Kalau laba bersih, per hari bisa sekitar Rp 350.000 hingga Rp 450.000," katanya. Tak heran, kedai yang berada di sebelah universitas swasta itu menjadi tempat berkumpul para mahasiswa. Selain itu, usahanya juga lolos rekam jejak keuangan dari Bank Indonesia
Berada ratusan kilometer dari Jakarta, tepatnya di DI Yogyakarta, pendiri House of Wakinem, Muhammad Iqbal Nur Ristiyanta juga merasakan hal serupa. Saat awal merintis usahanya, Iqbal mengaku kesulitan mengakses program KUR. Menurutnya, syarat jaminan dari pihak perbankan menjadi kendala.
“Saya pernah coba program itu, tetapi enggak jadi. Karena, saat saya coba mengajukan permohonan ke bank, syaratnya mesti ada agunan. Sementara, saat itu saya masih mahasiswa semester tiga dan belum punya jaminan apa pun,” kata Iqbal.
Akhirnya, penambahan modal usaha didapatkan Iqbal melalui program kampus dan pemerintah. Melalui program wirausaha , Iqbal mendapat suntikan modal sebesar Rp 13 juta tanpa bunga dari kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.
Sementara dari Kementerian Pemuda dan Olahraga, usahanya mendapat Rp 25 juta untuk pengadaan alat usaha. Hasilnya, usaha rintisan Iqbal telah memiliki kedai di Plaza Universitas Yogyakarta (UNY). Menurutnya, hal itu mampu menstimulus pengusaha kecil seperti dirinya, meski melalui tahapan seleksi.
Teknologi finansial
Jaka dan Iqbal merupakan gambaran atas sulitnya mengakses program KUR oleh perbankan. Bagi keduanya, suntikan modal melalui program tersebut akan membantu mereka dalam mengembangkan usaha.
Hingga akhir Mei 2018, Kementerian Koordinator Bidang perekonomian mencatat, realisasi penyaluran KUR mencapai Rp 57,8 triliun atau 49,4 persen dibandingkan target yang dipatok Rp 116,6 triliun tahun ini (Kompas, 9/7/2018).
Data Bank Indonesia pada 2014 menunjukkan, dari 56,4 juta UMKM, baru 30 persen di antaranya yang bisa mendapatkan akses pembiayaan. Akibatnya, para pelaku usaha mikro lebih sering memanfaatkan pinjaman dari lembaga keuangan nonbank.
Salah satu contoh adalah Jaka. Dia sering melakukan pinjaman melalui layanan pinjam-meminjam berbasis teknologi. Menurutnya, hal ini lebih praktis karena tidak melalui banyak persyaratan, seperti halnya di bank. Melalui teknologi finansial (tekfin), seperti Rupiahplus, Jaka hanya perlu melakukan verifikasi wajah dan memotret kartu tanda pengenal penduduk.
Mudah dan cepatnya proses pencairan dana membuat Jaka lebih tertarik dengan jasa tersebut. Namun, tingginya bunga yang mencapai 20 persen, serta tenor singkat, akan membuat pelaku usaha seperti dirinya gulung tikar. "Walau hanya meminjam Rp 1 atau 2 juta, berat juga kalau bayarnya per 30 hari, ada juga yang 14 hari." kata Jaka.
Seperti yang diberitakan Kompas (5/3/2018) sebanyak 36 perusahaan pinjam-meminjam antarpihak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sementara itu, jumlah peminjam meningkat 14,82 persen sejak awal tahun ini menjadi 115.897 orang per Januari 2018. Jumlah pemberi pinjaman per akhir Januari 2018 sebanyak 330.154 orang atau meningkat 27,16 persen sejak awal 2018.
Kemudahan pencairan dana yang ditawarkan oleh perusahaan tekfin menjadi pilihan alternatif saat lembaga akses KUR tidak dapat merangkul sejumlah pelaku UMKM. Di sisi lain, para pelaku usaha juga harus waspada terhadap aplikasi yang melakukan kegiatan usaha pinjam-meminjam berbasis teknologi. Sebab, pada pemberitaan Kompas (28/7/2018) OJK menemukan 227 aplikasi ilegal yang diproduksi 155 perusahaan teknologi.
Koperasi
Ketua Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Akumindo), Ikhsan Ingratubun, mengatakan, penyaluran pinjaman khususnya usaha mikro dan kecil perlu dikembalikan ke koperasi.
Penyaluran pinjaman khususnya usaha mikro dan kecil perlu dikembalikan ke koperasi.
"Contohnya, koperasi yang diawasi langsung oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yakni lembaga keuangan mikro berbasis syariah," ujar Ikhsan. Menurutnya, ini cara efektif untuk menjawab keluhan usaha mikro terkait permodalan.
Lembaga keuangan mikro berbasis syariah atau bank wakaf mikro adalah model pembiayaan yang bekerja sama dengan pondok pesantren. Sumber dananya berasal dari para donatur, sementara debiturnya adalah masyarakat sekitar pondok pesantren.
Salah satu proyek percontohan yang sudah dibangun oleh OJK adalah Bank Wakaf Mikro Alumna Berkah Mandiri, yang berada di Pondok Pesantren Al Munawwir, Krapyak, DI Yogyakarta.
Melalui program tersebut, para pelaku usaha di sekitar pesantren mendapat pembiayaan murah, dengan bunga tiga persen per tahun. Adapun besaran pinjaman pada putaran pertama ditetapkan sebesar Rp 1 juta per peminjam (Kompas, 11/5/2018).
Sembilan Bank Wakaf Mikro yang berada Jawa Tengah dan DI Yogyakarta memiliki total pembiayaan mencapai Rp 1,83 miliar dengan total nasabah mencapai 1.715. Jumlah tersebut hampir 30 persen dari jumlah nasabah nasional.Hingga pertengahan tahun ini, sudah Rp 6,05 miliar pinjaman yang disalurkan oleh 26 Bank Wakaf Mikro.
Adapun cara ini diharapakan mampu mendorong pelaku usaha mikro untuk mengembangkan usaha, sekaligus mendorong perekonomian secara nasional. (DIONISIO DAMARA)