BNPB: Penanganan Masih Terkendali, Belum Perlu Jadi Bencana Nasional
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyatakan gempa bumi yang terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat, sejak 29 Juli 2018 belum perlu dinaikkan statusnya dari bencana daerah menjadi bencana nasional. Pemerintah daerah setempat, dengan bantuan dari pemerintah pusat serta instansi lain, dinilai mampu mengatasi penanganan bencana dan dampaknya.
Menurut Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, kriteria utama yang dipertimbangkan dalam menetapkan status bencana itu adalah kesanggupan pemerintah daerah setempat dalam mengatasi bencana itu.
Selain itu, walaupun tidak diatur secara kuantitatif dengan pasti, jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana, serta dampak sosial ekonomi juga masuk dalam pertimbangan.
”Status bencana nasional itu seolah menunjukkan negara kita lemah dan tidak sanggup menangani bencana itu. Tsunami Aceh 2004 ditetapkan sebagai bencana nasional karena pemerintah setempat, baik provinsi maupun kabupaten/kota, tidak mampu menanganinya. Risikonya, semua tugas pemerintah daerah diambil alih oleh pemerintah pusat. Bukan hanya bencana,” tutur Sutopo.
Sebelumnya, Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi menegaskan, pemerintah daerah dengan bantuan pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota, serta BNPB, Basarnas, TNI, dan Polri mampu mengatasi penanganan darurat bencana itu, hingga rehabilitasi serta rekonstruksi ke depan. ”Penanganan bencana saat ini skalanya sudah nasional dan all out,” ujarnya dalam keterangan resminya, Senin (21/8/2018).
Sutopo menambahkan, penetapan status bencana nasional juga tidak memberikan kemudahan akses pada pertolongan dari luar pemerintah daerah. Untuk bencana gempa di Lombok pada bulan ini, pemerintah pusat memberikan bantuan berupa anggaran, pengerahan personel, bantuan logistik, peralatan, dan administrasi.
”Dana cadangan penanggulangan bencana sebesar Rp 4 triliun yang ada di Kementerian Keuangan dengan pengguna oleh BNPB siap dikucurkan sesuai kebutuhan. Jika kurang, pemerintah pusat akan menambahkan dengan dibahas bersama DPR,” ujar Sutopo.
”Kebutuhan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa Lombok yang diperkirakan lebih dari Rp 7 triliun juga akan dianggarkan oleh pemerintah pusat,” lanjutnya.
Kementerian Dalam Negeri juga telah mengajukan permohonan kepada seluruh gubernur se-Indonesia untuk memberikan bantuan kepada Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam rangka menangani bencana gempa itu. Bantuan tersebut, antara lain, berupa pengiriman tenaga medis, obat, logistik, pangan, dan keuangan yang sumbernya berasal dari APBD atau sumber lain yang sah.
”Imbauan ini berdasarkan permintaan Gubernur NTB melalui surat yang disampaikannya pada 6 Agustus 2018. Ada pula animo besar beberapa pemerintah daerah untuk memberikan bantuan. Pemberian bantuan itu tidak wajib dan bisa sesuai dengan kemampuan masing-masing,” ujar Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Hadi Prabowo.
Sejak tsunami di Aceh pada 2004, tidak ada bencana lain yang mendapatkan status bencana nasional. Bencana yang terjadi setelah itu dan memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan dengan gempa di Lombok bulan ini tidak mendapatkan status bencana nasional.
Bencana gempa di Yogyakarta pada 2006, misalnya, mengakibatkan jumlah korban tewas sebesar 5.773 orang, korban luka 32.081 orang, korban terdampak dan mengungsi 2,1 juta orang, serta rumah rusak berat 390.077 unit. Bencana itu tidak ditetapkan sebagai bencana nasional.
Dampak gempa Lombok dan sekitarnya yang terjadi sejak gempa pertama yang berkekuatan Magnitudo 6,4 pada 29 Juli 2018, kemudian disusul gempa M 7 pada 5 Agustus, gempa M 6,5 pada 19 Agustus siang, dan gempa berkekuatan M 6,9 pada 19 Agustus malam menyebabkan 515 orang meninggal, 431.416 orang mengungsi, dan 74.361 rumah rusak.
Menanggapi sejumlah pihak mengenai dampak negatif bencana berskala nasional kepada sektor pariwisata, Sutopo mengatakan, status itu sebenarnya hanya terkait manajemen bencana.
”Status itu tidak menutup Lombok dari kunjungan luar. Status itu juga tidak membuat opini publik bahwa daerah itu berbahaya, tetapi berkesan bahwa pemerintah tidak mampu mengatasi bencana itu,” ucapnya.