Seperti tinggal menunggu waktu, izin impor beras tahap III akhirnya terbit juga. Pemerintah tak ingin mengambil risiko soal stok pangan. Kementerian Perdagangan mengizinkan Perum Bulog mengimpor 1 juta ton beras tambahan dari luar negeri untuk memperkuat stok beras pemerintah. Dengan demikian, total kuota impor telah mencapai 2 juta ton tahun ini, dan selama Januari-Juli 2018 telah terealisasi 1,18 juta ton.
Perdebatan soal perlu tidaknya impor pun menyeruak kembali. Seperti pita kaset usang yang diputar lagi. Satu pihak menilai pemerintah tidak perlu impor karena produksi dalam negeri dinilai cukup. Sementara di sisi lain menganggap perlu karena khawatir harga bahan pangan pokok itu bergejolak lagi. Kekhawatiran yang terbukti di akhir tahun 2015 dan awal tahun 2018.
Kementerian Pertanian memproyeksikan produksi beras nasional tahun ini mencapai 47 juta ton, sementara kebutuhannya diperkirakan 33 juta ton. Artinya, surplus 14 juta ton. Namun, harga beras cenderung naik dua bulan terakhir.
Survei Badan Pusat Statistik (BPS) di 1.828 lokasi transaksi di 31 provinsi selama Juli 2018 menunjukkan, harga rata-rata beras medium di penggilingan Rp 9.198 per kilogram (kg) atau naik 0,68 persen dibandingkan Juni 2018, dan naik 5,19 persen dibandingkan Juli 2017.
Situasi Pasar Induk Beras Cipinang Jakarta seirama dengan hasil survei itu. Harga rata-rata beras medium berangsur naik dari Rp 9.689 per kg pada Juni 2018, lalu Rp 9.752 per kg pada Juli 2018, dan Rp 10.087 per kg Agustus 2018 ini. Situasi harga pada Oktober-Desember dikhawatirkan lebih tinggi karena pasokan diperkirakan berkurang seiring berakhirnya panen musim gadu. Apalagi jika tidak ada intervensi pasar.
Perdebatan semestinya tak perlu terjadi. Tenaga dan waktu ekstra juga tak perlu keluar jika ada data tunggal yang dipercaya akurasinya. Problemnya, data produksi padi sering tidak tercermin di pasar. Produksi diklaim surplus, tetapi pasokan seret dan harga bergejolak, terutama saat siklus paceklik terjadi. Sementara tudingan mafia pangan selama ini sering tidak terbukti keberadaannya.
Kisruh soal data sebenarnya telah berulang sejak bertahun-tahun lalu. Telah berulang pula mengirim sinyal salah bagi pengambil keputusan. Pemerintah akhirnya memoratorium laporan produksi sambil membenahi metodologi penghitungan tahun 2016 dan 2017.
Sejumlah kalangan melalui beberapa forum menyampaikan harapannya agar pemerintah memperbaiki total metode penghitungan produksi pangan. Termasuk dalam rangkaian rembuk nasional bidang pangan tahun 2017.
Pemerintah melalui BPS menguji coba metode kerangka sampling area (KSA) sejak 2015 untuk menggantikan metode penghitungan sebelumnya yang dinilai kurang akurat. Proses penyusunan metode baru melibatkan pihak terkait, seperti akademisi, pengamat, dan masyarakat statistik.
Selain peta dari citra satelit, metode KSA mensyaratkan pengamatan dan pemotretan di lapangan oleh petugas, tepat di titik koordinat yang terpilih sebagai sampel. Dengan cara ini, informasi jenis, usia, dan kondisi tanaman bisa diketahui lebih presisi.
Sebelumnya, data produksi padi dihitung dengan metode pengamatan (eye estimate), antara lain mempertimbangkan input produksi seperti pupuk, bibit, dan pengairan. Angka produksi diperoleh dari hasil perkalian antara luas panen dan produktivitas atau rata-rata produksi per hektar. Dua komponen tersebut dihasilkan oleh dua institusi, yakni Kementerian Pertanian dan BPS.
Banyak pihak, di antaranya akademisi, petani, dan pengusaha, menaruh harapan pada metode baru. Mereka ingin ada data tunggal yang bisa dipertanggungjawabkan angkanya dan dipercaya oleh semua pihak.
Setelah melalui serangkaian uji coba, metode baru dan hasilnya dijadwalkan akan diumumkan tahun ini, tepatnya Agustus 2018. Segenap risiko, termasuk jika angka produksi hasil penghitungan dengan metode baru lebih kecil, disebut bakal tetap akan disampaikan ke publik. Sayangnya hingga kini belum jelas. Publik menanti janji.