Siapa Sebenarnya Kiai Ma’ruf Amin?
Joko Widodo akhirnya menggandeng KH Ma’ruf Amin sebagai pendampingnya dalam Pemilu Presiden 2019. Meski namanya masuk daftar 10 tokoh potensial untuk posisi tersebut, keputusan itu mengejutkan karena baru dipastikan sehari sebelum penutupan pendaftaran, Kamis (9/8/2018) lalu. Namun, hingga kini, masih banyak orang penasaran: siapa sebenarnya Kiai Ma’ruf, dan kenapa dia yang dipilih?
”Setelah melalui perenungan yang dalam dengan mempertimbangkan masukan dan saran dari berbagai elemen masyarakat seperti yang saya sebutkan pada bagian awal tadi, maka saya memutuskan dan telah mendapatkan persetujuan dari partai koalisi, yaitu Koalisi Indonesia Kerja, bahwa yang akan mendampingi saya sebagai calon wakil presiden periode 2019-2024 adalah Prof Dr KH Ma’ruf Amin,” ujar Jokowi di Restoran Plataran, Jakarta, Kamis (9/8/2018).
Didampingi sembilan ketua umum partai politik pengusungnya, Jokowi menjelaskan alasan pemilihan itu. ”Mungkin ada pertanyaan dari masyarakat luas, mengapa Prof Dr KH Ma’ruf Amin yang dipilih. Prof Dr KH Ma’ruf Amin adalah sosok tokoh agama yang bijaksana.”
Baca: Presiden: Yang Mendampingi Saya KH Ma’ruf Amin
Bagaimana respons Ma’ruf? Ditemui Kompas di kediamannya di Jalan Lorong 27 RT 007 RW 008, Koja, Jakarta Utara, Kamis (9/8/2018) malam, Ma’ruf menganggap keputusan Jokowi sebagai penghargaan terhadap ulama karena dirinya dianggap sebagai representasi ulama di Indonesia. Dia berjanji bakal merangkul ulama dengan berbagai latar belakang, termasuk ulama yang kerap berbeda pandangan dengan Jokowi. Saat ini merupakan momentum untuk membangun bangsa.
Baca: Ma’ruf Amin Kedepankan Pembangunan Ekonomi Kerakyatan
Di mata publik, pengumuman itu memicu reaksi beragam. Alih-alih melegakan, keputusan justru mengundang pertanyaan, termasuk dari sebagian pendukung Jokowi: apa yang sejatinya terjadi di balik pemilihan Ma’ruf sebagai cawapres? Reaksi itu terbaca jelas di media sosial, terutama Twitter, Facebook, dan Instagram.
Sebagian besar warganet menduga, Jokowi bakal menjatuhkan pilihan pada Mahfud MD, yang memang sebelumnya santer digadang-gadang. Mahfud dinilai pas mendampingi Jokowi karena sarat pengalaman. Dia pernah menjadi anggota DPR, menteri pertahanan era Presiden KH Abdurrahman Wahid, dan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Dia santri yang memiliki jaringan kuat di kalangan Nahdlatul Ulama (NU).
Mahfud juga seorang intelektual, pakar hukum, dan berwawasan kebangsaan. Kelebihan lain, dia punya artikulasi yang apik dalam memaparkan ide-ide Islam yang moderat, menerima Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), demokrasi, dan Pancasila. Sekarang pun, dia dipercaya menjadi anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Situasi kian dramatis karena Mahfud dikabarkan telanjur sempat dihubungi Istana. Apalagi, mendekati pengumuman, dia sudah bersiaga tak jauh dari tempat deklarasi di Restoran Plataran, Jakarta. Sebagaimana dikabarkan sejumlah media, dia bahkan sudah mengenakan baju putih dan bersiap sewaktu-waktu dipanggil. Namun, rupanya ”pulung” politik tidak jatuh kepada Mahfud, tetapi kepada Ma’ruf.
Baca: Kejutan dan Peluang Pilpres 2019
Sebagian pendukung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada Pilkada Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 serius menyangsikan keputusan itu. Ma’ruf adalah Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengeluarkan fatwa bahwa ucapan Ahok terkait Surat Al-Maidah Ayat 51 di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, 27 September 2016, telah menodai ayat suci dan merendahkan ulama.
Fatwa itu lantas melahirkan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI yang mendorong gerakan politik umat Islam 212. Lewat gelombang unjuk rasa besar di Jakarta, mereka mendesak agar Ahok diproses hukum atas penodaan agama. Polri kemudian menetapkan Ahok sebagai tersangka. Pengadilan pun menggelar sidang, dan Ma’ruf hadir sebagai saksi dalam sidang kasus itu di Jakarta, Januari 2017. Akhirnya Ahok divonis bersalah dan dipenjara.
Dengan latar belakang demikian, bagi sebagian kalangan, pilihan Jokowi atas Ma’ruf Amin itu terasa menyakitkan. Sebagai contoh, cuitan @Elsia_CChaidir di Twitter, Kamis, 9 Agustus 2018. ”Kalau sampai Cawapres @jokowi adalah Maruf Amin betul2 kami merasa sangat sangat sangat sedih. Kecewa kembali teringat bagaimana beratnya perjuangan @basuki_btp mencari keadilan kesamaan hak berwarga-negara.”
Kalangan aktivis kebebasan beragama dan berkeyakinan juga memiliki catatan tersendiri. Sebagai pengurus MUI, apalagi pernah menjadi Ketua Komisi Fatwa, Ma’ruf Amin dinilai turut melahirkan beberapa fatwa yang dianggap agak kurang bersahabat dengan beberapa agenda kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, khususnya terhadap kelompok-kelompok minoritas keagamaan.
Wajah moderat
Namun, sebenarnya sosok Ma’ruf Amin tak dapat dibaca secara tunggal. Alih-alih bisa dipegang, bacaan yang hitam-putih rentan meleset dari kenyataan dinamika politik Tanah Air yang demikian cair. Kiai ini tak bisa semata ditempatkan sebagai bagian dari gerakan kelompok kanan murni, melainkan juga berada di garis tengah. Langkahnya kerap mengayun dari kanan ke tengah atau dari tengah ke kanan.
Riwayat hidup, rekam jejak pendidikan, kiprah, serta gagasan-gagasannya memperlihatkan wajah terbuka Ma’ruf. Kiai ini juga berperan dalam gerakan Islam yang moderat, damai, dan toleran. Karakter tersebut tersemai dalam dirinya sejak kecil, terutama saat menimba ilmu di lingkungan pendidikan pesantren NU.
Lahir di Tangerang, Banten, 11 Maret 1943 (kini 75 tahun), Ma’ruf terhitung sebagai cicit Syekh Nawawi Albantani (1813-1897). Syekh adalah seorang alim asal Banten yang menjadi imam di Masjidil Haram, Mekkah, dan mendapat pengakuan luas di Arab Saudi. Banyak ulama asal Tanah Air ataupun mancanegara yang berguru kepadanya. Kitab-kitab karangannya masih menjadi rujukan sampai sekarang.
Dengan latar belakang keluarga tersebut, sejak muda Ma’ruf aktif mengaji dan menimba ilmu agama di pesantren. Dari Banten, dia hijrah untuk belajar di madrasah tsanawiyah (setingkat SMP) dan madrasah aliyah (SMA) di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Bisa dibilang, pesantren ini menjadi markas sekaligus lumbung penghasil ulama NU berpaham ahlussunnah wal jamaah yang toleran.
Dari situ, dia kemudian mengambil kuliah di Fakultas Ushuluddin Universitas Ibnu Khaldun, Bogor, Jawa Barat. Tahun 2012, dia mendapat doctor honoris causa bidang hukum ekonomi syariah dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Ma’ruf lama aktif dalam sejumlah jabatan penting di kepengurusan NU. Puncaknya, dalam Muktamar Ke-33 NU di Jombang tahun 2015, dia terpilih sebagai Rais Aam Pengurus Besar (PB) NU. Muktamar kali itu juga menarik lantaran mengangkat tema utama yang menjadi polemik di media sosial hingga kini, ”Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”.
Dalam wawancara di harian Kompas, 8 Agustus 2015, Ma’ruf menjelaskan maksud tema tersebut. Dia menekankan pentingnya mendorong pemahaman Islam yang damai, santun, dan toleran. Ini penting untuk menjaga kerukunan bangsa Indonesia agar seluruh masyarakat bahu-membahu membangun kehidupan bangsa dan negara.
”Kami akan tunjukkan kedamaian bisa kita bangun di Indonesia: antaragama, antarsuku, antaretnis saling menopang,” kata Ma’ruf saat itu.
Pandangan itu kemudian dia tuliskan dalam artikel di rubrik Opini Kompas, 29 Agustus 2015, dengan judul ”Khitah Islam Nusantara”. Tulisan itu menjelaskan Islam yang ditandai dengan semangat reformasi (perbaikan), seimbang, santun, dan tasamuh. ”Tasamuh, yang berarti bersikap toleran, respek kepada pihak lain,” tulisnya.
Selain di NU, Ma’ruf juga aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Terakhir, dia dipercaya sebagai Ketua Umum MUI. Di lembaga ini, dia terkesan berusaha merangkul berbagai kelompok Islam di Indonesia. Selain turut menentukan banyak fatwa, dia juga mendorong lembaga ini mengembangkan pandangan keagamaan yang moderat.
”Sosialisasi Islam moderat dan kerukunan antarumat beragama mendesak untuk menjaga umat dari berbagai akidah yang menyimpang. Jadi, yang paling utama bagi kami adalah sosialisasi Islam wasathiyah (moderat) itu sebagai upaya deradikalisasi Islam,” kata Ma’ruf saat Rapat Kerja MUI 2015 (Kompas, 13 November 2015).
Di luar itu, Ma’ruf juga berpengalaman dalam dunia politik. Setelah Reformasi 1998, Ma’ruf menjadi salah satu tokoh yang turut merintis Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dipercaya sebagai Ketua Dewan Syuro PKB, dan pernah menjadi anggota MPR dan DPR dari Fraksi PKB. Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dia dipercaya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Bidang Hubungan Antaragama. Pada masa Presiden Jokowi, dia menjadi anggota BPIP.
Mengacu pada perjalanan tersebut, sebenarnya terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden mendampingi calon presiden Joko Widodo tidaklah sepenuhnya mengejutkan. Bagaimanapun, selain aktif di bidang keagamaan, Ma’ruf juga memiliki rekam jejak yang kuat dalam dunia politik. Singkat kata, dia adalah ulama yang politisi.
Jalan tengah
Dipilih sehari sebelum pendaftaran capres-cawapres di Komisi Pemilihan Umum (KPU) berakhir, 9 Agustus 2018, Ma’ruf Amin muncul sebagai titik temu dari berbagai kepentingan koalisi sembilan partai pendukung Jokowi. Mereka adalah PDI Perjuangan, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Golkar, Partai Hanura, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan Partai Perindo.
Mahfud MD, yang sebelumnya sempat digadang-gadang, ternyata memang tidak sepenuhnya dapat diterima secara bulat, terutama oleh Partai Golkar dan PKB (dengan alasan masing-masing). Tak ingin pecah atau bahkan beberapa partai rentan membangun poros baru pengusung capres-cawapres ketiga (selain pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan pasangan Jokowi), akhirnya koalisi menyepakati Ma’ruf Amin sebagai jalan tengah.
Selain sebagai jalan tengah, bagi partai koalisi pendukungya, Ma’ruf dianggap memenuhi kebutuhan Jokowi pada cawapres yang seorang santri. Posisinya sebagai Ketua MUI dan Rais Aam PB NU penting guna membentengi Jokowi dari serangan yang mengeksploitasi sentimen SARA sebagaimana berlangsung pada Pemilu Presiden 2014. Sampai sekarang pun, Jokowi masih sering disudutkan dengan bermacam isu negatif, katakanlah seperti anti-Islam atau kriminalisasi ulama. Dengan menggandeng seorang alim (ulama), diperkirakan pasangan ini bakal lebih mudah menangkal tudingan-tudingan miring semacam itu.
Pasangan Jokowi-Ma’ruf juga dianggap memenuhi perpaduan ideal antara kelompok nasionalis dan kelompok religius, yang mencerminkan imajinasi pemimpin sesuai tatanan sosial budaya masyarakat Indonesia. Dalam bahasa agama, keduanya diandaikan saling melengkapi satu sama lain sebagai umara (pemerintah) dan ulama (agamawan).
Dengan pasangan ini, para pendukung Jokowi—juga masyarakat secara umum—berharap tidak terulang lagi permainan isu SARA dalam Pilpres 2019. Cukuplah pengalaman buruk masyarakat ”dibelah” dengan sentiman agama, golongan, dan ras pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 saja.
Pemilu 2019 nanti diidamkan bakal menyajikan kompetisi politik yang damai, demokratis, bersih, dan mengacu pada akal sehat. Kita semua menginginkan kampanye nanti dipenuhi adu gagasan yang mencerdaskan; bukan kampanye negatif yang penuh caci maki, apalagi menjatuhkan lawan dengan serangan hoax, fitnah, berita palsu, atau kabar kabur yang menyesatkan.
Apakah harapan musisi Addie MS tersebut bakal terpenuhi? Mampukah KH Ma’ruf Amin menampilkan wajahnya yang moderat selama proses pemilu? Atau jangan-jangan justru bakal terulang lagi permainan SARA dengan kemasan yang berbeda?
Semua pertanyaan itu tentu belum dapat dijawab sekarang. Banyak hal bisa terjadi. Kita masih menunggu pembuktian selama bulan-bulan ke depan, setidaknya sampai pencoblosan pemilu presiden dan pemilu legislatif serentak pada 17 April 2019 nanti.
(BONDAN WIBISONO)