JAKARTA, KOMPAS--Kementerian Keuangan memastikan pengelolaan utang dilakukan secara hati-hati, disiplin, dan mempertimbangkan perekonomian global. Risiko dan biaya utang juga terus ditekan untuk menjaga kepercayaan investor.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan hingga akhir Juli 2018, realisasi pembiayaan utang Rp 205,57 triliun atau 51,49 persen dari target APBN 2018 yang sebesar Rp 399,22 triliun.
Utang pemerintah per Juli 2018 sebesar Rp 4.253,02 triliun atau tumbuh 12,51 persen dalam setahun. Jumlah itu terdiri atas utang pinjaman Rp 785,49 triliun dan Surat Berharga Negara (SBN) Rp 3.467,52 triliun. Rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 29,75 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, strategi pengelolaan utang pada dasarnya sama di setiap masa pemerintahan, yaitu dengan penerbitan SBN atau pinjaman. Langkah hati-hati dan disiplin dalam pengelolaan utang tercermin pada realisasi defisit APBN terhadap PDB.
Pada 2015-2017, realisasi defisit APBN terhadap PDB berturut-turut 2,58 persen, 2,35 persen, dan 2,46 persen. Defisit APBN 2018 diproyeksikan 2,18 persen dan pada RAPBN 2019 mencapai 1,84 persen.
“Sekarang kondisi pasar SBN dan obligasi pemerintah sudah cukup bergairah, baik dalam maupun luar negeri. Oleh karena itu, proses pembiayaan kembali lebih mudah,” katanya di Jakarta, Senin (20/8/2018).
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman menyampaikan, realisasi SBN hingga Juli 2018 sebesar Rp 221,94 triliun.
Sementara itu, Kementerian Keuangan mulai memasarkan Surat Berharga Ritel 004 pekan ini. Pemerintah menargetkan dapat menghimpun dana sedikitnya Rp 1 triliun dari instrumen ini.
Luky menambahkan, surat berharga itu adalah instrumen investasi terbitan Kementerian Keuangan yang bisa diakses masyarakat secara dalam jaringan.
Dikelola
Utang luar negeri Indonesia masih dalam batas aman. Namun, menurut ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual kepada Kompas, utang pemerintah yang masih berbasis portofolio perlu dikelola dengan baik di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Apalagi, utang luar negeri berbasis portofolio didominasi investor asing, sehingga rentan masuk dan keluar pasar keuangan Indonesia. Di sisi lain, imbal hasil obligasi negara semakin tinggi, sehingga akan menjadi beban pemerintah ke depan.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), utang luar negeri RI per akhir Juni 2018 sebesar 355,74 miliar dollar AS. Dengan nilai tukar berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Senin, sebesar Rp 14.578 per dollar AS, utang itu setara Rp 5.185 triliun.
Utang luar negeri itu terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar 179,728 miliar dollar AS serta utang swasta 176,012 miliar dollar AS.
David Sumual menambahkan, porsi kepemilikan asing terhadap surat utang negara (SUN) dan SBN per 15 Agustus 2018 sebesar 37,78 persen. Dari kepemilikan asing itu, sekitar 6,98 persen di antaranya merupakan utang bank sentral dan pemerintah negara lain. “Artinya, 30,8 persen dari total kepemilikan asing adalah investor asing jangka pendek yang mudah memasukkan dan menarik dananya,” kata dia. (KRN/DIM/HEN)