Beda pendapat KPU dan Bawaslu tentang putusan pengawas Pemilu terkait pelarangan bekas napi perkara korupsi menjadi caleg, dapat membahayakan proses pemilu
JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemilihan Umum menganggap putusan pengawas pemilu yang mengesampingkan Peraturan KPU yang melarang pencalonan bekas narapidana perkara korupsi di Pemilu Legislatif 2019, terjadi karena ada beda pandangan di antara kedua institusi tersebut. Keadaan ini membahayakan proses pemilu.
“Bagi KPU, Peraturan KPU itu sah, berlaku, serta mengikat semua pihak. Tapi ternyata tidak bagi Bawaslu, Peraturan KPU tak mengikat, bisa dikesampingkan. Ini bisa membahayakan proses pemilu,” kata anggota KPU Wahyu Setiawan di Jakarta, Selasa (21/08/2018).
KPU menegaskan, Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD dan peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan anggota DPR dan DPRD, hingga saat ini tetap sah berlaku dan telah diundangkan. Dalam dua aturan itu, bekas napi perkara korupsi dilarang menjadi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Dengan pertimbangan itu, KPU akan disebut melanggar aturan jika memasukkan putusan jajaran Bawaslu di tiga daerah, yakni di Provinsi Aceh, Kabupaten Toraja Utara (Sulsel), dan Provinsi Sulawesi Utara. Pengawas pemilu di tiga daerah itu, menganulir keputusan KPU setempat yang menolak bekas napi perkara korupsi menjadi calon anggota DPD dan DPRD.
Terkait hal itu, menurut Wahyu, KPU cenderung tetap berpedoman pada peraturan KPU No. 14/2018 dan No 18/2018. KPU tidak akan memasukkan bekas napi perkara korupsi dalam daftar calon anggota legislatif.
Di sisi lain, melalui suratnya yang diterima KPU pada Senin lalu, Bawaslu menyampaikan tak bisa mengoreksi putusan pengawas pemilu di Aceh, Kabupaten Toraja, dan Sulawesi Utara. Bawaslu juga mengingatkan KPU agar segera menjalankan putusan pengawas pemilu itu. Alasan KPU untuk menunda pelaksanaan tiga putusan itu sampai muncul putusan uji materi dari Mahkamah Agung (MA) terhadap peraturan KPU No 14/2018 dan Nomor 20/2018, dianggap tak beralasan demi hukum.
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar menyampaikan, Bawaslu berharap KPU menghormati kewenangan Bawaslu dalam penyelesaian sengketa pemilu. Menurut dia, jika KPU tidak menghormati putusan jajaran pengawas pemilu, berarti tak menghormati proses adjudikasi Bawaslu.
Bawaslu berharap KPU menghormati kewenangan Bawaslu dalam penyelesaian sengketa pemilu. Menurut dia, jika KPU tidak menghormati putusan jajaran pengawas pemilu, berarti tak menghormati proses adjudikasi Bawaslu.
Dia juga mengingatkan, KPU wajib menjalankan putusan. UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak memberi peluang bagi KPU untuk mengajukan banding atas putusan sengketa Bawaslu.
Data pemilih
Di tengah beda pendapat antara KPU dan Bawaslu di atas, penetapan daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2019 di tingkat kabupaten dan kota yang seharusnya dilaksanakan Selasa lalu, ditunda di sejumlah daerah. Hal ini karena belum sinkronnya data manual dengan data Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih).
Sesuai jadwal KPU, penetapan DPT di tingkat kabupaten/kota berlangsung 15-21 Agustus, kemudian dilanjutkan dengan rekapitulasi di tingkat provinsi pada 29-31 Agustus. Sesuai Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam Negeri, proses penyusunan daftar pemilih itu dilakukan berbasis Sidalih.
Pada 21 Agustus, KPU mengirim surat ke KPU provinsi serta KPU kabupaten/kota. Dalam surat itu, KPU menyampaikan, jika ada kendala penggunaan Sidalih, KPU kabupaten/kota bisa melanjutkan proses penyusunan DPT menggunakan Sidalih sampai 28 Agustus 2018.
Anggota KPU Viryan Azis menyatakan, masih mendata daerah yang harus menunda penetapan DPT karena data manual belum sinkron dengan Sidalih.
Anggota Bawaslu M Afifuddin menuturkan, jika data manual dan Sidalih belum juga sinkron hingga 28 Agustus, Bawaslu akan merekomendasikan KPU menggunakan data manual.