TOKYO, KOMPAS-Bank Indonesia dan pemerintah meyakinkan kalangan investor dan analis pasar keuangan Jepang tentang kebijakan moneter dan fiskal untuk stabilitasi ekonomi Indonesia. Namun Indonesia diharapkan terus mengambil langkah mengatasi masalah struktural ekonomi dalam negerinya.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara sejak Senin (20/8/2018) hingga Rabu (22/8/2018) menggelar sejumlah pertemuan tertutup dengan para analis pasar keuangan, manajer risiko, pejabat bank sentral Jepang yaitu Bank of Japan, dan Organisasi Perdagangan Luar Negeri Jepang (Jetro).
Selain pertemuan tertutup, Mirza dan Suahasil menjelaskan langkah-langkah yang diambil BI dan pemerintah dalam Seminar "Perkembangan Ekonomi Terkini Indonesia" di Kantor ADB Institute, Tokyo, Selasa.
Dalam seminar, Mirza menjelaskan, secara reguler BI berkomunikasi dengan para pelaku pasar keuangan untuk membuktikan transparansi BI.
"PMA (Penanaman Modal Asing) Jepang agresif datang ke Indonesia, tetapi pasar keuangan Jepang sangat konservatif. Maka kami jelaskan kondisi ekonomi terkini," katanya.
Pada triwulan kedua 2018, PMA Jepang menduduki posisi kedua (14,4 persen) setelah Singapura (33,5 persen).
Mirza menyampaikan, Indonesia memerlukan PMA dan investasi portofolio dari Jepang untuk menutup defisit neraca transaksi berjalan dalam neraca pembayaran Indonesia dan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Defisit transaksi berjalan pada yang pada tahun 2017 sebesar 1,7 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) melebar menjadi 3,04 persen pada triwulan kedua 2018. Defisit neraca transaksi berjalan yang terjadi sejak tahun 2012 itu diupayakan di bawah 3 persen terhadap PDB pada tahun 2018 ini.
"Tapi kalau dikurangi belanja infrastruktur dan peralatan militer, transaksi berjalan Januari - Juli 2018 masih positif," tutur Mirza.
Untuk menekan belanja infrastruktur, Presiden Joko Widodo sudah memerintahkan penundaan pembangunan infrastruktur yang kandungan impornya tinggi.
BI juga mengambil langkah menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-day Reverse Repo Rate (BI 7DRR) menjadi 5,5 persen menyikapi kenaikan suku bunga Amerika Serikat. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS juga dijaga tetap stabil.
"Kami percaya ketika pasar keuangan kembali normal, pasar akan kembali melihat ke fundamen ekonomi," kata Mirza.
Mirza memastikan bahwa BI tetap independen dalam membuat kebijakan moneternya. Namun koordinasi dengan pemerintah berjalan baik untuk secara berhati-hati membuat kebijakan untuk stabilitasi ekonomi Indonesia.
"Mendorong ekspor dan pariwisata adalah solusinya," ujar Mirza.
Suahasil menambahkan, pemerintah mendorong konsumsi dan investasi tetap tumbuh agar pertumbuhan ekonomi tetap tinggi yang pada triwulan kedua 2018 mencapai 5,27 persen.
"Kami harus mengelola agar APBN jangan menjadi beban ketidakpastian. APBN harus kredibel," kata Suahasil.
Defisit APBN tetap diupayakan di bawah 3 persen terhadap PDB. Realisasi defisit APBN hingga akhir Juli 2018 sebesar 1,02 persen terhadap PDB, lebih rendah dibandingkan akhir Juli 2017 yang sebesar 1,56 persen terhadap PDB.
Salah satu masalah dalam APBN adalah keseimbangan primer yang negatif sejak 2015 yaitu defisit sebesar 1,23 persen terhadap PDB. Keseimbangan primer adalah penerimaan negara dikurangi belanja, di luar pembayaran bunga utang.
Secara bertahap defisit keseimbangan primer berkurang yang tahun 2017 menipis menjadi 0,92 persen dan tahun 2018 ditargetkan turun lagi menjadi 0,44 persen. Dalam Rancangan APBN 2019, keseimbangan primer menjadi 0,13 persen.Tahun 2020 keseimbangan primer dalam APBN akan positif.
"Ini adalah peristiwa ekonomi yang bernilai. Siapapun Presiden yang menang Pemilu akan mendapat keseimbangan primer positif tahun 2020," ujar Suahasil.
Namun, ia mengakui sampai tahun politik 2019, subsidi bahan bakar minyak (BBM) tetap akan diberikan. "Kami tidak bisa hilangkan subsidi BBM begitu saja. Stabilitas penting selama ada ketidakpastian global dan tahun politik," katanya.
Menanggapi paparan Mirza dan Suahasil, Kepala ADB Institute Naoyuki Yoshino mengingatkan, seperti Jepang, Indonesia memiliki masalah struktural ekonomi. Jika Jepang memiliki masalah struktural penduduk yang menua, masalah struktural Indonesia adalah produksi yang masih tergantung pada minyak. Seperti Jepang juga ada masalah struktural akses pendanaan usaha kecil ke perbankan.
"Jepang memberi insentif pendanaan kepada petani yang membuat inovasi produk pertanian," tutur guru besar emeritus Universitas Keio Jepang itu.
Jadi, seperti Jepang, kebijakan moneter saja tidak dapat menyelesaikan masalah struktural ini. "Amerika Serikat dapat menyelesaikan masalah ekonominya dengan kebijakan moneter seperti menaikkan suku bunga karena ekonominya berbasis pasar keuangan," kata Yoshino.
Ia mengingatkan Indonesia bahwa potensi ekspor dari produk kelautan sangat besar untuk meningkatkan ekspor. "Produk rumput laut, contohnya, sangat potensial ditingkatkan karena seperti Jepang memerlukannya," ujarnya.