Pelawak Tunggal: Rakyat Miskin, Wakil Rakyat Masuk Sukamiskin
JAKARTA, KOMPAS — Peserta kompetisi komedi tunggal (stand up comedy) bertema ”Kritik DPR” mengkritik Dewan Perwakilan Rakyat dengan guyonan. Banyak orang mengatakan DPR tidak mewakili rakyat, padahal anggota legislatif itu ”benar-benar” mewakili rakyatnya.
”DPR tuh bener-bener cerminan rakyat. Rakyatnya suka tidur, wakil rakyat juga suka tidur. Rakyatnya miskin, eh, wakil rakyatnya masuk Sukamiskin,” celetuk Wibowo, komika peserta nomor urut 8, Kamis (23/8/2018), yang disambut gelak tawa.
Ada 33 pelawak tunggal atau komika yang mengikuti babak penyisihan kompetisi pada Kamis (23/8/2018) di Lobi Nusantara II, Kompleks DPR, Senayan, Jakarta. Tiga peserta di antaranya adalah perempuan, termasuk Meisya (14).
Kompetisi komedi tunggal itu diadakan oleh DPR. Langkah itu dinilai positif sebagai wujud keterbukaan lembaga legislatif terhadap kritik atau tidak antikritik. Dewan diharapkan bisa menanggapi dengan baik kritik para komika dalam bentuk guyonan tersebut.
Ahli komunikasi politik Effendy Gazali, pelawak Welnaldi, dan finalis Stand Up Comedy Indonesia 2011 Kompas TV, Daned Gustama, menjadi juri lomba tersebut.
Dalam materi lawakannya, para komika mengapresiasi pengadaan lomba komedi tunggal tersebut. Peserta ke-30, Sastra Silalahi, mengatakan, pengadaan acara ini menunjukkan bahwa DPR tidak antikritik.
”Lomba ini menunjukkan DPR itu lembaga yang tidak antikritik. Ini wadah kita untuk menyampaikan kritik. Apalagi, kalau menang dapat Rp 10 juta,” kata Sastra, disambut tawa penonton.
Menyindir
Hal senada dikatakan Meisya yang tampil di urutan ke-27. ”Kata siapa anggota Dewan itu antikritik? DPR tuh antinarkoba, dan insya Allah antikorupsi. Aku juga pengen jadi anggota DPR, tapi yang amanah, enggak korupsi, dan enggak suka tidur waktu sidang,” ujarnya.
Rais, peserta urutan ke-29, mengaitkan lomba bertema ”Kritik DPR” ini dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Sebelum dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK), Pasal 73 Ayat (3), (4), (5), dan (6) UU MD3 memberikan kewenangan kepada DPR untuk memerintahkan Polri memanggil paksa orang yang tidak memenuhi panggilan DPR setelah tiga kali mangkir. Polri juga dapat menyandera setiap orang yang dipanggil paksa paling lama 30 hari.
Pasal 122 Huruf l juga memberi kewenangan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
”UU MD3 tuh, kan, sempat ramai. Lah, tiba-tiba ada lomba stand up comedy. Jangan-jangan ntar pas udah menang, kita menerima duit Rp 10 juta pake mulut, soalnya tangan kanan kiri udah diborgol,” kelakar Rais.
Effendy membenarkan adanya keterkaitan pengadaan lomba stand up comedy dengan kontroversi UU MD3. Ia berharap, DPR benar-benar menindaklanjuti kritik yang diterima dari para komika.
”Walaupun sudah dibatalkan MK, UU MD3 sudah kontroversial sejak awal. Karena itu, kita ingin menumbuhkan lagi kritik dari masyarakat dengan lomba stand up comedy yang milenial banget ini. Harapannya, ini bukan hanya jadi pencitraan DPR. Kritik yang masuk mau diapakan? Itu harus dipikirkan,” tutur Effendy.
Menurut dia, kritik yang terlalu keras akan mudah ditolak. Namun, kritik dalam bentuk lawak tidak boleh hanya dianggap kelakar belaka.
”Kalau orang terlalu menyerang, yang dikritik akan langsung membuat jarak. Tapi, pada bagian lain, kalau terlalu diguyon-guyonkan, kritik akan dianggap tidak penting. Jadi, mungkin nanti dewan juri bisa bikin rekomendasi kepada DPR tentang isu-isu mana yang menjadi perhatian warga negara,” kata Effendy.
Effendy juga berharap, lomba stand up comedy ini dapat menjadi tradisi di DPR menjelang masa sidang. Ini akan menjadi tradisi unik yang hanya dimiliki parlemen Indonesia.
Babak final lomba stand up comedy akan diikuti 10 peserta terbaik pada 29 Agustus mendatang. Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, lomba ini diadakan bersamaan dengan lomba esai dan lomba meme dengan sekitar 1.000 peserta.
Pengajar Universitas Indonesia Martani Huseini dan Bambang Wibawarta serta peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI, Siti Zuhro, juga akan menjadi dewan juri dua lomba lainnya.
Meskipun mengapresiasi lomba itu, beberapa komika tetap pesimistis terhadap kerja DPR. Pesimisme ini disebabkan oleh rekam jejak anggota DPR yang kerap terkena operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Anggota DPR juga suka tidur saat rapat dan lambatnya proses legislasi.
Wibowo juga mengkritik tingkat kehadiran anggota DPR dalam rapat yang rendah. ”Tingkat kehadiran rapat anggota DPR cuma 41 persen. Sisanya ke mana? Cabut ke warnet?” katanya.
Leo, peserta nomor urut 6 asal Makassar, mengatakan, dalam materinya, DPR tidak sewajarnya merasa tersinggung jika mendapat kritik.
”DPR kita itu suka mengkritik pemerintah. Ya, wajar aja kalau ada kritik, soalnya pemerintah kerja. Nah, DPR apa yang mau dikritik? Kerjanya yang lamban kayak kura-kura?” kelakar Leo.
Menurut data Litbang Kompas, kerja DPR relatif lambat dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). DPR 2009-2014 hanya berhasil mengesahkan 30 undang-undang dari target pengesahan 247 rancangan undang-undang (RUU) hingga akhir masa jabatannya.
Sementara itu, DPR 2014-2019 hanya menyelesaikan 2 dari target 39 RUU pada 2015, 9 dari 50 RUU pada 2016, dan 4 dari 46 RUU hingga Juli 2017. Akibatnya, citra DPR menjadi buruk di masyarakat.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada Juni 2017, sebanyak 71,3 persen responden menilai citra DPR buruk. Sebanyak 67,3 persen responden juga mengatakan kasus-kasus seperti korupsi, skandal moral, dan tidur yang menjerat anggota DPR menggambarkan kondisi perilaku anggota DPR secara umum.
Oleh karena itu, Wibowo dan Leo sepakat bahwa kritik sangat perlu. Meskipun demikian, mereka tidak banyak berharap akan ada perubahan dari tubuh DPR.
”Kritik itu perlu, sangat perlu. Tapi, meskipun sudah ada ratusan kritik di media sosial, televisi, dan koran, kinerjanya masih gitu-gitu aja, enggak ada perubahan sama sekali,” ucap Leo. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)