JAKARTA, KOMPAS — Frekuensi gempa susulan di Pulau Lombok yang bersumber dari patahan naik di utara pulau ini terus menurun. Namun, pada Kamis (23/8/2018), wilayah Indonesia diguncang dua gempa yang bersumber dari zona pertemuan Lempeng Indo-Australia dengan Eurasia, yaitu di selatan Bali dan barat Lampung.
Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, sejak gempa Lombok berkekuatan M 6,9 pada 19 Agustus 2018 hingga 23 Agustus 2018 pukul 15.00 Wita, terjadi 268 gempa susulan dan 15 di antaranya dirasakan.
”Kekuatan dan frekuensi gempa susulan cenderung mengecil. Semoga kali ini sudah lebih stabil dan tidak ada gempa besar lagi,” kata Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono, di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, hingga saat ini tidak bisa dipastikan apakah Sesar Naik Flores yang memanjang dari utara Nusa Tenggara Timur hingga Bali ini menyimpan potensi gempa lagi dalam waktu dekat.
”Untuk sebelah barat Lombok sudah pernah gempa pada tahun 1979 dan Bali timur pernah gempa tahun 1857. Untuk sebelah timur Lombok hingga Sumbawa belum ada catatannya,” ujar Daryono.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, saat ini Pulau Lombok sudah mulai memasuki fase rehabilitasi. Meski pemerintah hanya akan memberikan bantuan berupa uang untuk merehabilitasi rumah yang rusak, pembangunannya diharapkan mengikuti kaidah tahan gempa.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (Puskim) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Arief Sabarudin menyebutkan, lembaganya sudah menyosialisasikan panduan dalam pembangunan rumah tahan gempa di Lombok.
”Salah satu yang kami rekomendasikan adalah teknologi RISHA (rumah instan sederhana sehat) yang tahan gempa,” kata Arief.
Salah satu yang kami rekomendasikan adalah teknologi RISHA (rumah instan sederhana sehat) yang tahan gempa.
Teknologi RISHA temuan Puskim dan telah dipatenkan sejak tahun 2004 ini telah dipakai dalam rehabilitasi rumah pascagempa dan tsunami Aceh. Menurut Arief, saat ini di Lombok sudah ada tiga pabrikan yang siap memproduksi tulangan rumah dengan sistem pracetak ini.
”Untuk dinding, atap, atau kusennya, masyarakat bisa menggunakan material bekas yang masih bisa dipakai. Bisa menggunakan papan, bambu, atau bata,” ujarnya.
Menurut data BNPB, rangkaian gempa Lombok sejauh ini menyebabkan 506 orang meninggal, 431.416 orang mengungsi, 74.361 unit rumah rusak, dan kerusakan lain. Nilai kerusakan dan kerugian ditaksir Rp 7,7 triliun.
Gempa subduksi
Ketika gempa Lombok mulai mereda, gempa berkekuatan M 5,1 terjadi di Samudra Hindia di selatan Bali pada Kamis pukul 05.48 WIB. Sumber gempa ini ada di laut dengan jarak 103 kilometer arah barat daya Kota Denpasar dengan kedalaman 68 kilometer.
Menurut data BMKG, guncangan gempa ini dirasakan di Kuta hingga Denpasar dengan kekuatan III-IV Mercalli Modified Intensity (MMI). Sementara di Mataram dan wilayah lain di Lombok dirasakan III MMI. Gempa juga dirasakan hingga Banyuwangi dengan skala II-III MMI.
Menurut Daryono, gempa ini dipicu oleh aktivitas subduksi Lempeng Indo-Australia yang menyusup ke bawah Lempeng Eurasia. Gempa dari zona subduksi ini juga terjadi di bawah laut sebelah barat Lampung dengan kekuatan M 5,3 pukul 10.44 WIB. Pusat gempa sekitar 159 arah selatan Lampung Barat dengan kedalaman 44 kilometer.
Kedua gempa tersebut tidak berkaitan dan memiliki sumber yang berbeda dengan rentetan gempa yang melanda Pulau Lombok yang berasal dari sesar naik di zona busur belakang.