Tambah Devisa, Pemerintah Dorong Hilirisasi Produk Ekspor
JAKARTA, KOMPAS — Ekspor nonmigas Indonesia pada Juli 2018 meningkat 19 persen secara tahunan. Kenaikan ditopang tingginya permintaan dari negara tujuan. Hilirisasi produk ekspor juga terus dipacu untuk menambah devisa.
Merujuk data Kementerian Perdagangan (Kemendag), yang dikutip Kompas, Kamis (23/8/2018), nilai ekspor nonmigas pada Juli 2018 tercatat 14,81 miliar dollar AS.
Adapun komoditas utama ekspor nonmigas yang berkontribusi terbesar terhadap peningkatan ekspor Januari-Juli 2018 adalah bijih, kerak, dan abu logam; besi dan baja; bubur kayu; berbagai produk kimia; dan benda-benda dari besi dan baja.
Kenaikan ekspor beberapa komoditas tersebut disebabkan menguatnya harga ekspor, kecuali untuk komoditas bijih, kerak, dan abu logam. Menguatnya harga ekspor terindikasi dari adanya kenaikan nilai ekspor yang lebih besar dari kenaikan volumenya. Adapun ekspor ke China, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan Taiwan berkontribusi signifikan terhadap peningkatan ekspor nonmigas Januari-Juli 2018.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan, capaian ekspor Juli 2018 adalah yang tertinggi hingga pertengahan 2018. ”Kinerja ekspor Juli 2018 menunjukkan sinyal positif dalam upaya pencapaian target ekspor yang telah ditetapkan pemerintah,” ujar Enggartiasto.
Target pertumbuhan ekspor nonmigas pada 2018 ditargetkan mencapai 11 persen. Secara kumulatif, ekspor nonmigas Indonesia pada Januari-Juli 2018 mencapai 94,21 miliar dollar AS. Jumlah tersebut tumbuh 11 persen secara tahunan.
Enggar menyampaikan, peningkatan impor pada Juli 2018 merupakan respons kebutuhan industri nasional untuk pemenuhan ekspor dan kebutuhan di dalam negeri. Kebutuhan-kebutuhan ini di antaranya untuk kebutuhan selama pelaksanaan ajang internasional yang dilaksanakan di Indonesia.
Bahan baku atau penolong yang mengalami kenaikan signifikan adalah bahan bakar dan pelumas, bahan baku untuk industri primer ataupun proses, suku cadang dan perlengkapan barang modal, serta perlengkapan alat angkut.
Pemenuhan ekspor dan kebutuhan dalam negeri membuat impor Indonesia meningkat. Impor Juli 2018 mencapai 18,27 miliar dollar AS, atau naik 31,5 persen dari Juli 2017 yang sebesar 16,24 miliar dollar AS. Dibandingkan Juli 2017, impor barang konsumsi Juli 2018 naik 60,8 persen menjadi 1,72 miliar dollar AS. Sementara itu, impor bahan baku atau penolong naik 30,1 persen menjadi 13,68 miliar dollar AS, sedangkan impor barang modal naik 24,8 persen menjadi 2,88 miliar dollar AS.
Atasi defisit
Menurut Enggar, defisit neraca perdagangan pada Januari-Juli 2018 mencapai 3,09 dollar AS. Enggar menyebut, impor migas menjadi penyumbang terbesar defisit neraca perdagangan. Impor migas RI pada Januari-Juli 2018 tercatat sebanyak 16,679 juta dollar AS, naik dari periode sama tahun lalu sebesar 13,395 dollar AS.
”Hingga Juli 2018 neraca perdagangan kita hanya pernah surplus dua kali,” kata Enggar saat berkunjung ke Menara Kompas.
Kemendag mempersiapkan berbagai langkah untuk merespons defisit neraca perdagangan. Langkah-langkah tersebut akan ditempuh dengan menggalakkan ekspor ke negara-negara nontradisional dan mengurangi hambatan akses pasar di negara-negara tujuan ekspor.
Di bidang impor, Kemendag tengah melakukan langkah-langkah pengendalian impor barang konsumsi. Kemendag juga bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Keuangan untuk membahas rencana pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) terhadap barang impor yang sudah ada substitusinya di dalam negeri.
Sebelumnya, pemerintah menyebut akan ada 500 komoditas yang dikenai tarif PPh impor sebesar 7,5 persen. Namun, ketika disinggung mengenai detail 500 komoditas yang dikenai PPh impor, Enggar mengaku belum mendapatkan rincian komoditasnya dari Kementerian Keuangan.
Kemenperin juga terus memacu hilirisasi di sektor industri, salah satunya industri minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO). Kemenperin mencatat, secara rata-rata tahunan, industri kelapa sawit hulu hilir menyumbang 20 miliar dollar AS pada devisa negara. Selain itu, sektor ini juga menyerap tenaga kerja 21 juta orang.
”Kami berupaya agar minyak kelapa sawit dan turunannya bisa diolah dan dijual ke luar negeri. Namun, saat ini tengah dikaji agar produk tersebut bisa dijual dan tidak akan ada permasalahan nantinya,” kata Direktur Jenderal Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional (KPAII) Kemenperin I Gusti Putu Suryawirawan melalui keterangan tertulis.
Menurut Putu, ada tiga jalur hilirisasi industri CPO di dalam negeri yang masih potensial untuk terus dikembangkan. Pertama, hilirisasi oleopangan (oleofood complex), yaitu industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk antara oleopangan (intermediate oleofood) sampai pada produk jadi oleopangan (oleofood product).
Kemudian, hilirisasi oleokimia (oleochemical complex), yaitu industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk-produk antara oleokimia, oleokimia dasar sampai pada produk jadi, seperti produk biosurfaktan (seperti produk deterjen, sabun, dan sampo), biolubrikan (biopelumas), dan biomaterial (contohnya bioplastik).
Selanjutnya, ketiga, hilirisasi biofuel (biofuel complex), yaitu industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk-produk antara biofuel sampai pada produk jadi biofuel, seperti biodiesel, biogas, biopremium, dan bioavtur.