Toleransi Sebaiknya Ditanamkan Melalui Cara-cara Kreatif
Oleh
Adi Prinantyo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penanaman nilai toleransi dan makna keberagaman kepada generasi muda, sepatutnya dilakukan dengan cara-cara kreatif. Mengingat, literasi media seharusnya tak hanya pada tataran konsep, namun harus mampu menjadi sebuah gerakan. Dengan demikian, nilai-nilai toleransi itu mampu diterima publik.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sri Hartini mengatakan, di era teknologi informasi, penanaman nilai tolerasi dan makna keberagaman pada anak muda, penting dilakukan. Derasnya arus informasi yang sulit dibendung, memerlukan kesadaran untuk menyaringnya.
“Yang paling banyak terpapar derasnya informasi adalah generasi muda. Teknologi memberikan mereka akses yang luas. Permasalahannya, apakah teknologi yang mereka gunakan dan informasi yang didapat, sesuai kebutuhan atau tidak,” kata Sri saat ditemui seusai acara peluncuran program Clean & Clear di Gusto Bistro, Jakarta, Kamis (23/8/2018).
Sri mengatakan, semua elemen harus turut berperan dalam penanaman nilai toleransi. Keluarga, termasuk di dalamnya orangtua, menjadi kunci pembentukan watak dan karakter anak. Kemendikbud, lanjut dia, kini fokus pada pendidikan karakter. "Namun, itu saja tidak cukup. Perlu kerja sama untuk memberikan konten positif, atau cara baru yang dapat diterima oleh generasi muda," tambah Sri Hartini.
Kemasan untuk penanaman nilai tolerasi dan keberagaman tidak harus hadir melalui buku dan melalui penyampaian materi oleh guru semata. Sri mengatakan, cara yang dipakai harus tepat sasaran, menarik, menyenangkan untuk anak muda sehingga nilai tersampaikan dan dapat diaplikasikan.
“Teori tetap penting. Tetapi, ketika yang dihadapi anak-anak muda, praktik perlu dilakukan. Mereka bisa merasakan langsung kondisi sosial budaya. Terjun langsung ke masyarakat, mereka dapat merasakan keberagaman dan nilai tolerasi, lalu apa yang mereka dapat bisa disebarkan melalui berbagai media,” kata Sri.
Ia menambahkan, pemahaman literasi dengan cara-cara kreatif, jauh lebih mudah diterima generasi muda. Nilai toleransi dan keberagaman akan cepat sampai, dan memberikan pengalaman nyata, daripada sekedar teori. Oleh karena itu, Sri mengapresiasi dan mendukung komunitas yang berkomitmen memberikan pendidikan kreatif dan kritis untuk generasi muda.
Gerakan literasi
Salah satu pendiri Seribu Anak Bangsa Merantau Untuk Kembali (SabangMerauke) Ayu Kartika Dewi mengatakan, SabangMerauke percaya bahwa toleransi tidak hanya dapat diajarkan. Namun, lebih dari itu, harus dialami atau dirasakan.
SabangMerauke adalah program pertukaran pelajar antar daerah di Indonesia yang bertujuan untuk menanamkan semangat toleransi. Dalam program ini, anak-anak dari seluruh Indonesia akan tinggal dengan keluarga yang berbeda, dan berinteraksi dengan teman-teman yang berbeda.
Ia mengatakan, setelah melalui program pertukaran pelajar, mereka kembali ke daerahnya menjadi duta perdamaian di daerah masing-masing. Mereka akan menceritakan nilai-nilai positif, dan nilai-nilai toleransi.
Cara-cara kreatif dilakukan untuk menanamkan nilai toleransi dan makna keberagaman seperti pengenalan musik, lagu, dan tarian khas Nusantara. Mempelajari keberagaman agama di Indonesia lewat kunjungan ke rumah ibadah.
Pendiri dan direktur Kotakhitam Forum Akar Dananjaya mengatakan, dalam upaya gerakan literasi media, komunitas Kotakhitam Forum juga sering membuka kelas-kelas (workshop) yang membahas permasalahan di Indonesia seperti multikulturalisme, perbedaan agama, pembelajaran perspektif sejarah, sampai pada kelas produksi pembuatan film dokumenter.
Menurut Akar Dananjaya, media audio-visual dalam hal ini dokumentasi gambar bergerak menjadi satu cara yang dapat menarik minat generasi muda untuk belajar. “Audio visual dapat menimbulkan kesan ruang dan waktu, gambar bersifat dimensional, suara yang dihasilkan dapat menimbulkan realita pada gambar dalam bentuk ekspresi murni, dapat menyampaikan suara seorang sekaligus melihat wujudnya, dan dapat melihat realita objek yang diperagakan,” kata pria yang akrab disapa Andre itu.
Selain itu yang terpenting dari menghadirkan audio visual (film dokumenter) adalah langsung bersentuhan dengan permasalahan dan kedekatan dengan subjek film. Kotakhitam Forum meyakini audio-visual sebagai medium strory-telling yang efektif karena publik diharapkan dapat merasakan situasi hingga empati dari penyampaian cerita si subjek. Selain itu juga, sebagai bentuk media yang populer saat ini, format audio-visual mampu memancing eksplorasi kreatif yang dapat menstimulasi partisipasi publik.
Ia menambahkan, pemahaman literasi media memberi kesadaran kritis dan kreatif kepada anak muda. Dalam proses berkreativitas, peserta diwajibkan terjun ke tengah masyarakat untuk melihat langsung dinamika masyarakat peserta bisa menyentuh permasalahan yang dihadapi. Lalu, mereka diminta untuk menulis pengalaman mereka dan dijadikan sebuah naskah film dan diproduksi.
“Audio-visual menjadi media yang penting di tengah perkembangan teknologi selain juga karena tingkat baca di masyarakat khususnya generasi muda yang rendah. Kotakhitam Forum merasa perlu ada pembaharuan dan meningkatkan literate di Indonesia yaitu salah satunya dengan media audio visual,” katanya. (Aguido Adri)