JAKARTA, KOMPAS — Asosiasi Fintech Indonesia atau Aftech resmi mengeluarkan pedoman perilaku layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi. Pedoman ini diharapkan mendukung industri teknologi finansial atau tekfin bidang peminjaman yang sehat.
Pedoman itu memuat tiga prinsip dasar, yakni transparansi produk dan metode penawaran layanan, pencegahan pinjaman berlebih, dan penerapan prinsip itikad baik. Prinsip transparansi meliputi sepuluh poin, antara lain keterbukaan informasi hak dan kewajiban, biaya, dan metode suku bunga.
Wakil Ketua Umum Aftech Adrian A Gunadi di Jakarta, Kamis (23/8/2018), mengatakan, penyusunan pedoman telah dilakukan sejak tahun lalu setelah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 77/2016 tentang Layanan Pinjam-Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi terbit akhir Desember 2016.
Pedoman perilaku layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi yang bertanggung jawab terdiri dari tiga prinsip dasar. Prinsip pertama adalah transparansi produk dan metode penawaran layanan. Kedua, pencegahan pinjaman berlebih. Terakhir, penerapan prinsip itikad baik.
Prinsip pertama meliputi sepuluh poin, antara lain keterbukaan informasi hak dan kewajiban, keterbukaan informasi biaya, serta keterbukaan metode suku bunga. Prinsip transparansi produk dan metode penawaran layanan bertujuan menumbuhkan kepercayaan konsumen. Implementasi poin pengaturan itu bisa dipublikasikan di laman masing-masing perusahaan penyedia pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi.
Sejauh ini, di industri pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi mengenal beberapa segmen pasar. Misalnya, segmen UKM, pendanaan khusus invoice, dan konsumen individual. Segmen yang berbeda-beda ini memengaruhi model bisnis, risiko, hingga metode penentuan suku bunga.
Dia menjelaskan, penyusunan pedoman perilaku telah asosiasi lakukan sejak setahun lalu setelah POJK No 77/2016 tentang Layanan Pinjam-Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dikeluarkan akhir Desember 2016. Selama masa penyusunan, asosiasi rutin berkonsultasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
”Saat itu, kami memperkirakan bahwa industri akan berkembang pesat dan perlu kode etik. Negara maju, seperti Amerika Serikat, sudah memiliki pedoman perilaku khusus marketplace lending. Kami berharap pedoman perilaku ini bisa menjadi landasan pembuatan kode etik di masing-masing 64 perusahaan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi, baik terdaftar maupun berizin di OJK,” ujar Adrian.
Penagihan
Prinsip pencegahan pinjaman berlebih mencakup empat poin pengaturan, yakni larangan predatory lending, larangan pemberian dan penambahan pinjaman tanpa kesepakatan para pihak, kewajiban verifikasi dan penilaian penerima pinjaman, serta larangan rekayasa data. Fokus utama adalah aktivitas predatory lending yang belakangan marak terjadi. Predatory lending artinya praktik pemberian pinjaman yang mengenakan syarat, ketentuan, bunga, dan biaya tidak wajar kepada penerima.
Adapun prinsip itikad baik meliputi tujuh poin pengaturan. Salah satu poin sorotan adalah penagihan. Ketua Bidang Pinjaman Cash Loan Aftech Sunu Widyatmoko menjelaskan, saat menagih dilarang provokatif, menggunakan kata-kata agresif, bersikap intimidatif, mengaku sebagi pihak aparat legal, dan menyebarluaskan data pribadi.
”Kami menginginkan, bukan hanya manajemen perusahaan memahami isi pedoman perilaku, melainkan juga sampai tim penagih di lapangan. Oleh karena itu, kami berencana setiap petugas penagihan pinjaman mengantongi sertifikat profesi. Kami berharap, implementasi sertifikasi bisa dilakukan mulai tahun ini,” katanya.
Terkait predatory lending, Sunu mengungkapkan larangan mekanisme bunga atau denda gagal bayar pinjaman yang diterapkan secara berjenjang. Industri pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi di Indonesia harus memiliki fondasi praktik beretika.
Kami tidak ingin antara pemberi dan penerima dana pinjaman \'saling menghabisi\'.
Mantan Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK yang kini menjabat Dewan Penasihat Aftech Rahmat Waluyanto memandang, industri teknologi finansial yang sehat akan berdampak langsung kepada kestabilan sistem keuangan nasional. Aspek ini semestinya ikut menjadi perhatian penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi.
Sebelumnya, Deputi Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Institute Sukarela Batunanggar di sela-sela peresmian Pusat Inovasi Keuangan Digital (Fintech Center) di Jakarta, Senin (20/8/2018), menegaskan, OJK mendorong semua perusahaan rintisan teknologi jasa keuangan mengedepankan kebutuhan utama pasar. Sebagai contoh, cara kerja yang transparan dan perlindungan konsumen.
”Kami hanya menyusun prinsip-prinsip umum penyelenggaraan industri pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi di dalam peraturan. Sementara penyusunan ataupun penerapan kode etik adalah bagian peran asosiasi,” katanya.
Secara terpisah, KoinWorks mengumumkan telah menerima investasi seri A. Suntikan pendanaan ini berasal dari Mandiri Capital Indonesia, Gunung Sewu, dan Convergence Ventures. Ini menunjukkan masih menariknya industri pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi di mata investor.
Mandiri Capital Indonesia merupakan perusahaan modal ventura bagian dari Mandiri Group. Keberadaan investor ini, kata Co-Founder dan CEO KoinWorks Benedicto Haryono, membuka peluang kerja sama produktif baru, seperti Mandiri Group turut memberikan supervisi dalam pengembangan produk finansial yang terjangkau bagi UKM lokal.
Dia mengemukakan, mayoritas penerima dana pinjaman di KoinWorks adalah pelaku UKM digital. Mereka bergerak di sektor industri mode, elektronik, kosmetik, gawai, serta makanan dan minuman.