Hotel Kapsul Bandara Bakal Sulit Bersaing
TANGERANG, KOMPAS -- Hotel kapsul di bandara dinilai tidak akan menjaring banyak konsumen. Persaingan dengan hotel di sekitar bandara hingga sifat konsumen Indonesia yang hanya coba-coba menjadi faktor penting
Pengamat properti Tanto Kurniawan berpendapat, hotel kapsul di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta tidak akan menarik terlalu banyak penumpang. "Faktor pertama adalah harga," kata Tanto, Jumat (24/8/2018) sore.
Menurut Tanto, tarif hotel kapsul yang cukup mahal akan membuatnya sulit bersaing dengan hotel-hotel bujet yang berada di sekitar wilayah Bandara. Hotel-hotel bujet yang dimaksud adalah hotel bintang dua dan tiga di sekitar Bandara.
Tarif hotel kapsul yang cukup mahal akan membuatnya sulit bersaing dengan hotel-hotel bujet yang berada di sekitar wilayah Bandara. Hotel-hotel bujet yang dimaksud adalah hotel bintang dua dan tiga di sekitar Bandara.
Saat ini, hotel kapsul sedang memberlakukan harga promosi yaitu Rp 178.000 untuk enam jam dan Rp 238.000 per malam. Harga tersebut berlaku hingga tanggal 31 Agustus 2018. Sementara, harga normal untuk enam jam adalah Rp 250.000 dan Rp 375.000 per malam.
"Hotel-hotel bujet di wilayah sekitar bandara itu harganya saling bersaing. Rata-rata harganya Rp 250.000 hingga Rp 350.000 per malam. Apalagi, untuk harga tersebut, kamar yang diberikan itu untuk dua orang. Bandingkan dengan hotel kapsul yang kapasitasnya hanya untuk satu orang per kapsul," kata Tanto.
Penelusuran lewat aplikasi Traveloka untuk hotel bujet berbintang dua dan tiga untuk dua orang di sekitar Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta pada hari Jumat menunjukkan, harga termurah yang didapat adalah Rp 203.700 untuk hotel yang berjarak sekitar tiga kilometer dari bandara. Sementara harga termahal kamar untuk dua orang adalah Rp 352.688. Hotel tersebut berjarak sekitar 1,5 kilometer dari bandara.
Faktor lain yang dapat menyulitkan hotel kapsul bandara adalah pola konsumen Indonesia. Menurut Tanto, jenis usaha seperti hotel kapsul memang terdengar unik di telinga konsumen Indonesia. Keunikan ini yang akan mendorong hotel kapsul untuk populer pada awalnya.
Tetapi, lama-kelamaan setelah konsumen Indonesia sudah pernah mendengar dan mencoba hotel tersebut, mereka akan berpikir dua kali untuk kembali ke hotel kapsul. Selain hanya untuk coba-coba, konsumen Indonesia juga akan mempertimbangkan kembali harga dan kemudahan fasilitas yang didapat.
Kasus Tune Hotel
Tanto mencontohkan kasus Tune Hotel Indonesia yang dikhususkan untuk backpacker. Tune Hotel di Indonesia dibuka di Kuta dan Legian, Bali sekitar tahun 2012. Pada awalnya, hotel tersebut memang menjadi tujuan para backpacker yang memiliki bujet terbatas.
Meskipun sempat populer, lama kelamaan, tingkat okupansi hotel itu semakin menurun hingga akhirnya ditutup pada 2015 lalu. Menurut Tanto, hingga penutupan hotel tersebut, tingkat okupansi Tune Hotel adalah 28 persen. Padahal, untuk balik modal dalam usaha perhotelan, rata-rata tingkat okupansi hotel harus berada pada angka sekitar 60 persen.
"Untuk hotel kapsul, bila kita mau buang air kecil, kita harus keluar kamar dan kemudian ke kamar mandi. Sedangkan, di hotel konvensional, kita tidak perlu keluar kamar. Masalah kemudahan ini juga menjadi pertimbangan konsumen, terutama di Indonesia," jelasnya.
Tanto menambahkan, karena konsep hotel kapsul masih terbilang baru di Indonesia, euforia masyarakat terhadap hotel kapsul di bandara akan cukup tinggi.
Hingga akhir tahun 2018, Tanto memperkirakan tingkat okupansi hotel kapsul di bandara akan mencapai 40 hingga 50 persen. Namun, setelah euforia tersebut hilang dan masyarakat sudah mencobanya, tingkat okupansi akan semakin menurun hingga menjadi sekitar 10 persen.
"Berkaca dari kasus Tune Hotel, siklus coba-coba konsumen Indonesia berlangsung sekitar 2,5 tahun. Penurunan okupansi hotel sudah dapat terlihat pada awal tahun depan," ujar Tanto.
Sewa enam jam
Di tempat terpisah, Manajer Operasional Digital Airport Hotel Andre Tansil mengatakan sejak dibuka pada 10 Agustus 2018, rata-rata okupansi hotel kapsul adalah sekitar 30 hingga 40 kamar dari 120 kamar yang tersedia. Kebanyakan konsumen memilih sewa enam jam karena menunggu waktu transit pesawat yang cukup lama.
Andre juga mengatakan saat ini PT Capsule Indonesia selaku pengelola hotel kapsul bandara juga masih akan melihat apakah konsep hotel kapsul di Indonesia dapat menarik banyak konsumen. Bila terbukti positif, pihaknya berencana untuk membuka hotel kapsul di terminal lain.
Hal sama juga dilakukan oleh PT Angkasa Pura II (Persero) sebagai pengelola bandara. Menurut Manager of Branch Communication PT Angkasa Pura II, Haerul Anwar, bila respon penumpang bandara dan juga masyarakat positif dan hotel kapsul berjalan dengan baik, pihak bandara akan mempersilahkan vendor-vendor untuk memasukkan proposal pembangunan hotel kapsul.
"Hasil respon masyarakat sudah bisa terlihat pada semester pertama tahun 2019. Bila berjalan dengan baik, kami berencana untuk membangun hotel kapsul ini di bandara lain seperti di Kuala Namu, Medan, Sumatera Utara," kata Haerul. (LORENZO ANUGRAH MAHARDHIKA)