Krisis AS-Turki Tak Kunjung Mereda, Lira Terus Melemah
Oleh
KRIS RAZIANTO MADA
·3 menit baca
ISTANBUL, JUMAT -- Nilai mata uang lira Turki melemah sedikit terhadap dollar AS dalam perdagangan di hari libur yang tenang, Jumat (24/8/2018), sementara ketegangan hubungan antara Ankara dan Washington terkait penahanan seorang pastor asal AS belum mereda. Lira melemah menjadi 6,1079 per 1 dollar AS, dari sebelumnya 6,0950 pada saat penutupan, Kamis kemarin.
Pelemahan sebesar 1 persen pada hari Kamis terjadi setelah juru bicara Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menuding AS sedang melancarkan "perang ekonomi". Volume perdagangan juga rendah, saat pasar-pasar bursa di Turki libur sepanjang pekan ini terkait perayaan Iduladha. Pasar-pasar bursa Turki akan kembali, Senin mendatang.
Sehari sebelumnya, pada Kamis kemarin, nilai tukar lira juga melemah terhadap dollar AS. Dalam perdagangan Kamis (23/8/2018), lira dibuka 6,003 per 1 dollar AS dan ditutup 6,135 per 1 dollar AS. Sanksi Amerika Serikat terhadap Turki masih menjadi salah satu penyebab pelemahan lira.
Kemerosotan nilai tikar lira, yang berlangsung sejak Januari 2018, belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Berbagai faktor menyebabkan penurunan nilai tukar mata uang salah satu anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) itu. Dari dalam negeri, kekhawatiran atas pengaruh Presiden Erdogan pada kebijakan moneter ikut menjadi pemicu penurunan nilai tukar lira.
“Masalah di Turki tidak diperbaiki. Tidak ada satu pun solusi struktural atau reformasi dilakukan atau dijelaskan otoritas setempat,” kata Kepala Bagian Strategi Pasar Berkembang di TD Securities, Cristian Maggio, yang menambahkan transaksi relatif rendah karena masih dalam suasana libur Iduladha.
Ia menyoroti fakta bank sentral Turki tidak menaikkan suku bunga acuan kala inflasi menembus dua digit dan penurunan lira. "Mereka memeras likuiditas dari pasar dan sekarang mereka mengurangi pemerasan itu, hal yang menghilangkan dukungan terhadap lira. Saya akan terkejut oleh kelanjutan reli lira,” kata dia.
Dalam berbagai kesempatan, Erdogan menyebut suku bunga sebagai ayah dan ibu semua kejahatan. Ia mencoba menurunkan suku bunga pinjaman untuk memacu pertumbuhan.
Gabungan kebijakan dalam dan luar negeri AS ikut memicu penurunan nilai tukar lira. Di dalam negeri, AS menaikkan suku bunga bank sentral. Akibatnya, dollar AS meninggalkan pasar berkembang, seperti Turki, dan kembali ke AS atau pasar negara maju lain.
Krisis AS-Turki
Ada pun salah satu kebijakan luar negeri AS saat ini adalah sanksi terhadap Turki. Sanksi dijatuhkan terkait penahanan pendeta asal AS, Andrew Brunson, oleh Turki. AS menaikkan pula tarif bea masuk untuk impor produk logam Turki.
Brunson sudah tinggal di Turki selama puluhan tahun. Selama 21 bulan terakhir, ia dikenai tahanan rumah karena dituduh terlibat terorisme.
Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton menyebut Turki membuat kesalahan besar karena tidak membebaskan Brunson. “Krisis ini akan segera berakhir jika mereka melakukan hal yang benar sebagai sesama sekutu NATO, bagian dari Barat. Bebaskan (Brunson) tanpa syarat,” ujarnya.
Ia juga meragukan janji investasi 15 miliar dollar AS yang ditawarkan Qatar kepada Turki. Tawaran itu dinyatakan tidak bermanfaat pada perekonomian Turki.
Juru bicara Erdogan, Ibrahim Kalin, mengecam AS karena tidak menghormati sistem hukum Turki. "Ada aturan di Turki dan kasus Andrew Brunson adalah masalah hukum. Ada proses hukum sedang berlangsung terhadap orang itu. Kami sangat tidak menerima pengabaian hukum Turki oleh AS yang membuat sejumlah tuntutan,” tuturnya.
Ia juga balik mengecam AS yang menghukum bankir Turki, Mehmet Hakan Atilla. Bankir pada bank BUMN Turki, Halkbank, itu divonuis 32 bulan penjara karena dinyatakan melanggar aturan sanksi terhadap Iran. Atilla dituding terlibat transaksi untuk mengakali sanksi terhadap Iran.
Kalin meminta Departemen Keuangan AS menangguhkan penyelidikan terhadap Halkbank. Seluruh transaksi Halkbank dinyatakan sesuai aturan. "Sangat tidak bisa diterima bahwa tuduhan palsu dan tidak berdasar itu dibuat untuk melemahkan bank umum ini. Sepertinya tujuan tindakan-tindakan itu untuk merusak reputasi lembaga dan orang tertentu, serta menghukum mereka secara tidak adil ketimbang mengungkap kebenaran,” tuturnya. (AFP/REUTERS)