Makanan Jadi Obat Pelipur Lara bagi Penonton Asing
Berbagai jenis makanan nusantara yang mudah ditemukan di Jakarta jadi obat pelipur lara bagi sejumlah penonton asing yang marah dan kecewa akibat carut-marut pelayanan tiket. Carut-marut pelayanan tiket itu menambah derita sejumlah penonton asing yang sudah lebih dulu dibuat kesal dengan kemacetan, polusi, dan sampah di Jakarta.
“Jakarta benar-benar berantakan,” ucap Daniel Zipperer, seorang warga Jerman. Kalimat pendek itu dia ucapkan tanpa basa-basi saat ditanya kesan tentang Jakarta dan penyelenggaraan Asian Games, Rabu (22/8/2018).
Daniel dan istrinya berencana mengajak kedua anak mereka menonton salah satu pertandingan untuk turut merasakan atmosfer persaingan dalam ajang olahraga terbesar seasia itu.
“Pelayanan tiket ini sama kacaunya dengan kondisi kota kalian,” kata Daniel dengan kecewa karena tak berhasil mendapat tiket. Daniel cukup mengenal Jakarta karena setelah menikah dengan seorang warga Indonesia pada 2003, ia dan keluarganya rutin datang ke Jakarta.
Meskipun jengah dengan kemacetan dan kondisi lingkungan di Jakarta, Daniel berpendapat salah satu hal yang membuatnya selalu ingin kembali ke Jakarta adalah citarasa makanan Indonesia. “Saya suka makanan sunda dan jawa, rasa manisnya pas dengan selera saya,” ujar Daniel, kali ini dengan senyum terkembang di wajahnya.
Di tengah kemarahan sejumlah orang di depan loket pelayanan tiket pintu 4 dan 5 Gelora Bung Karno (GBK), beberapa penonton asal Jepang justru terlihat berbincang santai seolah tak ambil pusing dengan situasi di sekitarnya. “Saya tidak mau ikut-ikutan berteriak,” kata Akira Takeuchi.
Akira tidak bisa berbahasa Inggris, tetapi dia bisa sedikit berbahasa Indonesia. “Sudah setengah tahun saya bekerja di Jakarta, dan saya mulai suka dengan kota ini,” kata Akira dengan Bahasa Indonesia yang patah-patah.
Akira telah bekerja di Jakarta sejak September 2017 sebagai staf pemasaran di salah satu produsen mobil terkemuka asal Jepang. “Saya tinggal di Gandaria, jadi saya tahu bagaimana rasanya kemacetan dan polusi di Jakarta,” ucap Akira.
Meskipun sempat merasa tidak betah dan ingin kembali ke Jepang, kini Akira sudah mulai bisa beradaptasi dengan kondisi lalu lintas dan lingkungan Jakarta. “Untunglah makanan di sini tidak jauh berbeda dengan di Jepang, mi goreng dan nasi goreng berjasa membantu saya bertahan di kota ini,” kata Akira.
Hal serupa juga dialami Borja Mardaras yang sudah tiga bulan bekerja di Kedutaan Besar Spanyol di Jakarta. “Butuh waktu cukup lama untuk beradaptasi di jakarta, lingkungan dan lalu lintas di sini sangat berbeda dengan tempat asal saya,” ujar Borja.
Borja, bersama dengan seorang temannya, datang ke GBK untuk menonton pertandingan softball. Ia cukup beruntung karena pada hari itu hanya sedikit penonton asing yang bisa mendapat tiket masuk. Sebagian besar penonton asing, hanya bisa menonton dari luar pagar arena softball.
Borja merasa tidak kesulitan beradaptasi dengan makanan di Indonesia yang sebagian besar terdiri dari olahan nasi. “Satu-satunya hal yang dengan cepat saya bisa beradaptasi adalah makanan. Ada beragam menu makanan yang saya suka, tetapi favorit saya tetap nasi goreng dan rendang,” tutur Borja.
Kebersihan
Orang Jepang dikenal selalu menjaga kebersihan tempat-tempat yang dikunjunginya. Kebiasaan ini telah dibangun melalui sekolah, keluarga, dan budaya di Jepang.
Sehari setelah Asian Games 2018 dibuka, cuitan akun @motikatrok viral di situs micro-blogging Twitter dengan 11.947 retweet dan 5.555 likes. Cuitan tersebut memuat foto anak-anak yang diduga berasal dari Jepang sedang memungut puntung-puntung rokok di bawah pohon di area Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Pusat dan kemudian membuangnya ke tempat sampah.
Dalam perhelatan Piala Dunia 2018 di Rusia beberapa waktu lalu, para pendukung tim sepak bola nasional Jepang juga telah memukau dunia dengan aksi mengambil sampah setelah pertandingan.
Rupanya, para wisatawan Jepang tidak lagi terkejut melihat aksi dua bocah tersebut. Saat ditemui Kompas, Kazuya (36) yang tengah mengantre untuk membeli tiket bola voli bersama keluarganya mengatakan, menjaga kebersihan lingkungan telah menjadi praktik yang normal di Jepang. Anak-anak telah diajari menjaga kebersihan sejak usia sekolah dasar.
“Saya tidak terlalu bangga (dengan aksi kedua anak tersebut) karena itu sudah jadi perilaku biasa di Jepang. Saat masih SMP dan SMA, saya bermain bola voli. Setelah bermain, kami harus membersihkan lapangan sendiri. Begitu juga untuk tim bisbol, mereka bersihkan stadion sendiri,” kata Kazuya.
Hal senada dikatakan oleh Murayama (34). Menurut dia, tidak semua orang Jepang peduli tentang lingkungan. Namun, menjaga kebersihan lingkungan telah menjadi kebiasaan untuk menciptakan kota yang nyaman.
“Itu adalah kebiasaan bagus, tetapi sebagai orang Jepang, saya tidak terkejut. Tentu saja saya bangga, tetapi itu kebiasaan yang normal. Menurut saya kebiasaan ini lebih ditujukan untuk menjaga kenyamanan bagi orang lain,” kata Murayama.
Tatsuya (37) dan Shiho (37) yang datang bersama dua anaknya dari Saitama juga menganggap perilaku menjaga kebersihan adalah hal yang normal. Shiho mengatakan, semua orang tua mengajari anak-anaknya untuk menjaga kebersihan. Kebiasaan ini juga diprogramkan di sekolah.
Data yang dihimpun Litbang Kompas, siswa kelas 1—6 SD di Jepang mendapatkan materi Tokubetsu Katsudo. Program ini berisi kegiatan non-kognitif pengembangan pikiran dan tubuh, membangun sikap positif, serta meningkatkan hubungan sosial.
Program ini dilaksanakan selama 35 jam dalam setahun. Implementasinya adalah pembersihan sekolah secara rutin, mulai dari ruang kelas, lorong, toilet, tangga, hingga taman. Para siswa dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil. Setiap kelompok membersihkan area yang berbeda di setiap pertemuan.
Dalam skala yang lebih luas, masyarakat dan semua sekolah di Jepang, mulai SD hingga SMA, melaksanakan O-Souji yang diartikan sebagai ‘pembersihan besar’. O-Soji awalnya dikenal sebagai ritual tradisional mengatur ulang rumah. Ini rutin dilakukan di akhir tahun sebelum memulai periode baru. Namun, ritual ini telah bergeser menjadi praktik sehari-hari.
O-Soji mencakup Seiri (mengatur dan membuang benda), Seiton (merapikan dan mengatur letak benda), Seiso (membersihkan barang dari debu), dan Seiketsu (menjaga benda tetap halus dan berkilau). Di sekolah, kegiatan bersih-bersih dilakukan di akhir jam pelajaran selama 20 menit atau setelah makan siang.
Festival Asian Games 2018
Festival Asian Games 2018 di area dalam Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat diminati masyarakat. Di festival tersevbut, pengunjung dapat menikmati berbagai kuliner dan mengunjungi stan yang menjual kaos, sepatu, atau pun pernak-pernik Asian Games 2018.
Ada tiga zona utama yang ada dalam Festival Asian Games 2018 tersebut, yaitu zona Bhin-bhin, Kaka, dan Atung. Pada zona Bhin-bhin dan Atung terdapat panggung hiburan yang menampilkan berbagai pertunjukan musik, sedangkan zona Kaka terdapat pertunjukan kesenian di sisi trotoarnya.
Masing-masing zona diisi oleh stan-stan makanan dan minuman yang dapat dibeli menggunakan kartu debit, ovo, dan t-cash. Pada bagian tengah dan pinggir disediakan tempat duduk dan meja yang dilengkapi dengan payung peneduh. Walau pun dalam keadaan cuaca yang panas dan terik, banyak warga yang datang ke festival tersebut.
Pasangan suami istri dari Tegal, Rita (29) dan Maufur (35) misalnya, datang secara khusus ke GBK untuk melihat kemeriahan Asian Games 2018. "Kebetulan lagi libur dan ini pertama kali ke Jakarta, jadi sekalian aja ingin melihat Asian Games," ujar Maufur, Kamis. Rita penasaran dengan suasana Asian Games.
Siswi SMA Negeri 70 Jakarta Kezia (14) bersama tiga temannya datang ke festival untuk menyelesaikan tugas dari sekolahnya, yaitu mewawancarai warga asing yang datang ke area Festival Asian Games 2018 di GBK.
"Kami libur sampai 2 September dan dapat tugas ini. Selain itu, di sini bagus banget festivalnya karena penataan stan-stan di sini rapi dan teratur," kata Kezia.
Selain itu, banyak juga masyarakat yang datang di area Festival Asian Games GBK sembari menunggu waktu pertandingan cabang olahraga yang akan ditonton, seperti yang dilakukan oleh Nurul Rahayu (22) dan Fiddia Muchtiana (22) asal Cibubur. Mereka datang lebih awal dari jadwal pertandingan bulutangkis yang dimulai pukul 18.00 WIB.
"Kita pikir bakal antre lama di loket ternyata enggak," ujar Nurul. Mereka membeli tiket melalui daring. Fiddia menceritakan bahwa untuk membeli tiket lewat daring harus bersusah payah. Mereka memantau situs pembelian tiket pertandingan Asian Games selama lebih kurang 30 menit yang pada akhirnya berhasil membelinya.
"Selain penasaran dengan festivalnya, kami juga ingin melihat pertandingan dan merasakan keseruannya secara langsung," jelas Fiddia.
Lain halnya dengan kelompok pendukung atlet Taekwondo Muhammad Mauladdawilah asal Bondowoso. Kelompok pendukung ini berkeliling di zona Bhin-bhin dengan memainkan alat musik drum band setelah menyaksikan pertandingan taekwondo. "Iya, kami mendukung atlet Taekwondo Muhammad Mauladdawilah," ungkap Bagir (14) dengan semangat.
Kebanggan dari Majalengka
Semarak Asian Games 2018 tidak hanya dirasakan di Jakarta dan Palembang, Sumatera Selatan, tetapi juga di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Selama Selasa-Kamis (21-23/8/2018), pertandingan kano/kayak slalom digelar di Bendung Rentang, Kecamatan Jatitujuh, Majalengka.
“Kami sangat bangga, Majalengka menjadi salah satu tempat pertandingan Asian Games,” ujar Cuswati, guru SDN Jatitujuh 4. Sejak Kamis pukul 06.40, ia bersama sekitar 80 siswa SDN Jatitujuh 4 sudah mengantre untuk menyaksikan pertandingan kano/kayak slalom yang baru dimulai pukul 09.30.
Para siswa membawa bendera merah putih ukuran mini hasil buatan tangan sendiri. Di tribune penonton, mereka meneriakkan kata Indonesia untuk menyemangati pedayung Indonesia Reski Wahyuni dan Arifal yang lolos ke babak final untuk nomor kano tunggal (C1) putri dan kayak tunggal (K1) putra.
Sorakan penonton bertambah keras ketika atlet Indonesia menerjang arus 14 meter kubik per detik. Penonton yang tadinya duduk pun berdiri karena ingin mengamati lebih dekat timnas Indonesia beraksi.
Meskipun Indonesia gagal meraih medali di kano/kayak slalom, Cuswati mengatakan, para siswa tetap senang dapat menyaksikan pertandingan kano/kayak slalom yang diikuti 54 atlet dari 12 negara. “Yang terpenting, siswa termotivasi dari perjuangan para atlet, tidak hanya dari Indonesia,” ujarnya.
Kebanggan juga dirasakan oleh Yeni (56), Kepala Sekolah Bina Insani Ligung, Majalengka. Bersama 35 kepala sekolah menengah kejuruan di Majalengka, Yeni ikut menonton pertandingan kano/kayak slalom. Mereka bahkan membuat seragam berwarna merah dengan lambang Asian Games 2018.
“Setiap baju harganya Rp 90.000. Kami mau menunjukkan dukungan kepada timnas Indonesia,” ujar Yeni yang mengantre beberapa jam sebelum mendapatkan kesempatan menonton secara gratis. Meski demikian, karena tempat terbatas hanya 250 – 300 orang, warga harus bergantian untuk menyaksikan laga.
Bendung Rentang yang dulunya hanya sebagai sumber air irigasi kini menjadi arena kano/kayak slalom tingkat Asia. Technical Delegate Kano Slalom Asian Games 2018 Sakchai Atibhodi juga memuji arena di Bendung Rentang.
“Kami berterima kasih atas keramahan masyarakat di sini. Kami juga mengapresiasi Kementerian Pertanian karena air ke sawah pertanian untuk sementara waktu tidak dialirkan maksimal untuk mendukung Asian Games,” ujar Sakchai.
Penonton
Diananda Choirunisa (21), pemanah recurve putri Indonesia, langsung berlari menuju ke arah tribune penonton seusai mengalahkan andalan Taiwan, Lei Chien-ying, di semifinal, Kamis. Ia memeluk hangat ibu kandungnya, Ratih Widyanti, salah satu “penonton setianya” di Arena Panahan Senayan, untuk merayakan kemenangan ke final panahan itu.
Kehadiran penonton, terutama orang-orang terdekatnya, menjadi motivasi ekstra bagi para atlet Indonesia seperti Diananda. Teriakan semangat, bahkan doa, dari mereka menjadi inspirasi bagi Diananda untuk tampil perkasa mengalahkan para atlet berkelas dunia seperti Lei dan Chang Hye-jin, juara Olimpiade 2016 asal Korsel, dalam perjalanan menuju ke final.
“Sebelum bertanding, tadi saya juga sempat menghampiri mama dulu untuk meminta restunya. Ia bilang ke saya, jangan lihat lawannya itu siapa. Fokus ke diri sendiri saja. Wejangannya itu sangat membantu saya,” ujar Diananda mengomentari dukungan Ratih yang juga mantan atlet panahan Indonesia.
Demi menyaksikan Diananda berlaga, Ratih dan sejumlah kerabatnya--yang juga para keluarga atlet--rela meninggalkan rumahnya di Jawa Timur dan “ngekos” di Jakarta. Mereka juga rela menahan hawa panas dan lapar di tribune lapangan Arena Panahan Senayan demi para atlet yang berlaga. “Kami tiba di Jakarta sejak hari pertama latihan, Minggu (19/8/2018) lalu dan menyewa satu rumah di Slipi. Kami ingin memberikan dukungan langsung,” ujar Ratih.
Selain mereka, atlet panahan Indonesia bahkan juga mendapatkan dukungan dari para warga negara asing. Tim Kuan, warga Malaysia yang tinggal di Jakarta, sempat datang ke Arena Panahan bersama dua rekannya, warga Brasil dan Indonesia, dua hari lalu. Meskipun negaranya, Malaysia, bertanding, ia lebih memilih mendukung Indonesia.
Ia dan dua rekannya hadir membawa bendera “Merah Putih” dan sempat berfoto bareng dengan para pemanah Indonesia yang tampil di Asian Games. “Saya cinta Indonesia karena saya telah lama tinggal di sini,” ujar Tim yang harus mengeluarkan biaya lebih, yaitu membeli dari calo, untuk tiket pertandingan panahan dan bulu tangkis. (PANDU WIYOGA/KRISTIAN OKA PRASETYADI/FRANSISCA NATALIA ANGGRAENI/ABDULLAH FIKHRI/Y HARJONO)