Nilai-nilai Pancasila yang menghargai keberagaman jadi aset luar biasa bangsa Indonesia. Di sisi lain, menguatnya praktik politik identitas oleh elite politik kini menjadi tantangan.
SLEMAN, KOMPAS - Pancasila menghargai keberagaman sebagai hal yang harus dirawat karena perbedaan adalah keniscayaan dalam hidup manusia. Perbedaan mesti dipahami sebagai kekuatan untuk bersatu. Pancasila dapat menjadi kekuatan diplomasi Indonesia untuk mewujudkan perdamaian dunia.
Pandangan ini mengemuka dalam Kongres Ke-10 Pancasila bertema ”Pancasila, Ideologi Pemersatu Bangsa dan Dunia”, di Balai Senat Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Kamis (23/8/2018).
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, Pancasila jadi aset luar biasa bagi Indonesia yang majemuk. Bersatu dalam keberagaman merupakan jiwa dari bangsa ini. ”Pancasila tak hanya menjadi dasar atau fondasi, tetapi juga menjadi jiwa dan perekat bangsa kita,” katanya.
Menurut Retno, Pancasila dapat menjauhkan suatu bangsa dari konflik karena memuat semangat bersatu dalam keberagaman dan mensyukuri adanya perbedaan. Hal ini memengaruhi kekuatan Indonesia dalam diplomasi. ”Indonesia dinilai memiliki rekam jejak diplomasi yang secara konsisten terus berkontribusi bagi perdamaian, stabilitas, dan kesejahteraan dunia,” ujarnya.
Terkait hal itu, Rektor UGM Panut Mulyono, dalam sambutannya, mengutip pidato presiden pertama RI, Soekarno, berjudul ”To Build a New World” yang disampaikan dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa pada September 1960. Saat itu, Pancasila ditawarkan sebagai dasar untuk membangun tatanan dunia baru yang berkeadilan sosial dan damai.
”Kiranya gagasan Bung Karno masih relevan, di tengah situasi beberapa belahan dunia yang dilanda ketegangan, konflik, dan peperangan,” kata Panut.
Hal itu dibenarkan Guru Besar Antropologi dari Boston University Robert Hefner. Menurut dia, gagasan tentang persatuan dalam keberagaman yang termuat di Pancasila dapat ditiru oleh negara lain yang rawan konflik dan perpecahan. Menurut dia, saat ini ada kecenderungan menguatnya isu politik identitas yang berakibat pada konflik di masyarakat negara maju.
Politik identitas
Secara terpisah, dalam diskusi ”Indonesia: Governance, Democracy, and Human Rights 20 Years after the Reformasi”, di Jakarta, kemarin, peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Nicky Fachrizal, mengatakan, menguatnya politik identitas yang dilakukan para elite politik juga menjadi tantangan di Indonesia. Menguatnya politik identitas ini membuat isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) kembali muncul.
”Isu SARA sering kali efektif menarik suara dan memecah suara lawan. Seharusnya perdebatan elite politik didasarkan pada konstitusi mengenai kebijakan dan program. Dengan demikian, demokrasi akan makin berkualitas, yang ditandai dengan berkurangnya penggunaan isu SARA dan politik uang,” kata Nicky.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menuturkan, 20 tahun era reformasi menunjukkan Indonesia adalah negara demokrasi yang stabil karena tak ada kudeta militer atau perang saudara. Namun, kesuksesan ini tak diiringi dengan penegakan hukum untuk melindungi hak minoritas.
Terkait hal itu, menurut Usman, perlu ada penegakan hukum yang berbasis pada nilai-nilai hak asasi manusia yang menolak adanya kebencian berdasarkan SARA. Hal yang harus dicegah adalah bentuk ujaran kebencian, pernyataan diskriminatif, hasutan untuk menutup dan menyerang rumah ibadah, serta menyerang kelompok tertentu.
Perlu ada penegakan hukum yang berbasis pada nilai-nilai hak asasi manusia yang menolak adanya kebencian berdasarkan SARA. Hal yang harus dicegah adalah bentuk ujaran kebencian, pernyataan diskriminatif, hasutan untuk menutup dan menyerang rumah ibadah, serta menyerang kelompok tertentu.
Guna mendukung hal itu, lanjut Usman, menjelang Pemilu 2019 ini Badan Pengawas Pemilu perlu mengadopsi konvensi mengenai antidiskriminasi agama.