JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan dan pelatihan vokasional dianggap penting untuk meningkatkan kompetensi tenaga kerja agar sesuai dengan kebutuhan industri. Namun, perhatian tersebut belum diimbangi dengan penyediaan anggaran yang mendukung.
Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Ketenagakerjaan Bambang Satrio Lelono, Jumat (24/8/2018), di Jakarta, menyebutkan, pada tahun 2019, Kemnaker menerima tambahan Rp 1,7 triliun sehingga menjadi Rp 5,7 triliun. Tambahan itu akan fokus dipakai untuk menggenjot kompetensi tenaga kerja.
Bentuknya bisa berupa pelatihan vokasional, sertifikasi profesi, dan perbaikan balai latihan kerja. Khusus vokasional, dia mencontohkan, salah satu wujudnya adalah pelatihan serta magang. Jumlah peserta pemagangan meningkat dari 70.790 pada 2018 menjadi 210.000 pada 2019.
Untuk sertifikasi, lanjutnya, dari 260.084 sertifikasi profesi tahun 2018 akan ditambah menjadi menjadi 526.189 pada 2019.
”Kebutuhan anggaran untuk pelatihan jauh lebih besar dari tambahan Rp 1,7 triliun tersebut,” ujarnya.
Besar kecilnya biaya peningkatan kompetensi sebenarnya tergantung dari sektor industri yang dituju. Menurut Bambang, pelatihan di sektor manufaktur membutuhkan anggaran lebih tinggi daripada tekstil dan produk tekstil.
”Jangan lupakan juga SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia). Total terdapat 688 SKKNI dan beberapa di antaranya mendesak diperbarui mengikuti tren kebutuhan industri serta teknologi digital,” tutur Bambang.
Sekretaris Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Prakoso mengatakan, kompetensi di bidang teknologi informasi komunikasi (TIK) sekarang menjadi kebutuhan di berbagai sektor industri. Perusahaan berskala kecil menengah pun memerlukan pekerja yang memiliki ketrampilan TIK.
Kompetensi di bidang teknologi informasi komunikasi sekarang menjadi kebutuhan di berbagai sektor industri.
Dia menyebutkan, Indonesia memiliki 4.000-an perguruan tinggi. Pemerintah melalui Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mendorong kampus-kampus tersebut lebih aktif dalam kegiatan riset dan pengembangan, terutama bidang TIK.
Di samping itu, Prakoso menyampaikan, pihaknya juga memprovokasi kampus-kampus agar membuka program studi terkait TIK atau ekonomi digital. ”Mau buka program studi mengenai perdagangan secara elektronik atau e-dagang, misalnya, kami persilahkan,” ucapnya.
Berdasarkan data Kemnaker, jumlah penduduk bekerja saat ini sekitar 127,06 juta orang. Sekitar 61,27 persen berkeahlian rendah, 30,30 persen memiliki keahlian menengah, dan hanya 8,43 persen yang punya keahlian tinggi.
Huawei
Secara terpisah, swasta mengambil inisiatif memenuhi kompetensi tenaga kerja. Penyedia solusi TIK Huawei, misalnya, kembali menyelenggarakan program tanggung jawab korporasi ”Seeds for the Future”. Program ini berisi akselerasi dan transfer pengetahuan TIK kepada mahasiswa di negara-negara tempat Huawei beroperasi.
Seeds for the Future terbuka bagi seluruh mahasiswa, minimal semester III. Mereka diminta menuangkan gagasan perkembangan TIK dalam bentuk karya tulis dan presentasi video berbahasa Inggris.
Tim Huawei serta kampus mitra akan menilai mereka mulai dari kewajiban karya tulis, kompetensi, hingga kepribadian. Mahasiswa yang lolos akan mengikuti pembekalan perkembangan industri TIK terbaru di China.
Program itu pertama kali diselenggarakan pada 2008. Untuk Indonesia, Seeds for the Future diadakan mulai tahun 2013. Setiap tahun, rata-rata jumlah peserta dari Indonesia mencapai 10 orang.
Dalam Seeds for the Future 2018, peserta dari Indonesia berjumlah 10 mahasiswa dari tujuh universitas, antara lain Institut Teknologi Bandung, Universitas Diponegoro, dan Universitas Gadjah Mada.
Director of Human Resources PT Huawei Tech Investment Dani K Ristandi menyebutkan, tidak ada perbedaan jender selama pelaksanaan program. Penekanan program justru mengakselerasi pengetahuan mahasiswa.
Tidak ada perbedaan jender selama pelaksanaan program. Penekanan program justru mengakselerasi pengetahuan mahasiswa.
”Dengan kata lain, program ini berusaha menjembatani kesenjangan suplai pengetahuan ataupun kompetensi dari institusi pendidikan dan permintaan industri,” ujar Dani.
Ia menambahkan, sudah banyak alumnus peserta Seeds for the Future terserap industri TIK nasional, baik di Huawei maupun perusahaan teknologi lain.