Industri lomba burung berkicau dan minat masyarakat terhadap burung-burung eksotis diyakini ikut berkontribusi pada berkurangnya populasi burung di habitat liarnya. Namun, industri ini juga mendorong konservasi ex situ dalam bentuk penangkaran dan budidaya yang dapat menyelamatkan spesies yang telah punah di alam liar akibat kerusakan alam. Keseimbangan antara populasi di alam liar dan permintaan masyarakat perlu diciptakan.
Ria Saryanthi, Head of Communication & Institutional Development Burung Indonesia, Sabtu (25/8/2018) siang, di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, mengatakan, burung-burung eksotis, seperti cenderawasih, nuri, dan kakatua, masih diminati karena dianggap sebagai penanda prestise dan status sosial. Permintaan tinggi juga terjadi pada burung-burung pengicau, seperti cucakrawa dan murai batu.
”Jenis-jenis burung pengicau ini banyak dimanfaatkan untuk lomba burung berkicau sehingga permintaan pasarnya tinggi,” kata Yanthi, panggilan Ria Saryanthi.
Yanthi mengatakan, proses penangkaran dan budidaya untuk beberapa spesies burung pengicau populer, seperti jalak suren (Gracupica contra), cucakrawa (Pycnonotus zeylanicus), murai batu (Copsychus malabaricus), dan anis kembang (Geokichla interpres), telah berkembang dengan baik.
Sementara itu, ancaman yang lebih besar dihadapi oleh spesies anis merah (Geokichla citrina). Menurut Yanthi, anis merah belum berhasil dibudidayakan secara sukses, ditandai dengan susahnya burung ini didapatkan di pasaran.
”Di beberapa jenis yang sulit ini, berdasarkan pengamatan kami dan banyak para pihak juga, mengindikasikan kemungkinan masyarakat masih menangkapnya dari alam. Masih terjadi penangkapan liar,” kata Yanthi.
Konservasi dan ekonomi
Tidak dapat dipungkiri, lomba burung berkicau berkontribusi pada pertumbuhan industri penangkaran dan budidaya burung pengicau. Budidaya melalui penangkaran atau konservasi ex situ sebetulnya juga dibutuhkan untuk menjaga kelestarian spesies. Penangkaran dapat menyelamatkan suatu spesies apabila populasi burung di habitat liar terancam punah.
Yanthi mengambil contoh burung jalak bali yang populasi alam liarnya sempat tertekan. Populasi liar jalak bali kembali pulih setelah individu-individu hasil penangkaran berhasil bertahan hidup secara mandiri setelah dilepasliarkan.
Terlebih lagi, industri lomba burung berkicau juga memutar roda ekonomi kreatif Indonesia. Berdasarkan data panitia Festival Burung Berkicau Piala Presiden 2018, ada perputaran uang pada sektor ini sebesar Rp 1,7 triliun pada 2009.
Ketua Panitia Lukmanul Hakim meyakini perputaran uang itu berlipat sampai lima hingga sepuluh kali lipat untuk tahun ini. Perputaran uang itu ada pada aktivitas penangkaran, pembuatan sangkar, obat-obatan, pakan burung, dan keperluan lainnya.
Sebetulnya, sebagai pemerhati burung dan lingkungan, Yanthi tidak mempermasalahkan industri lomba berkicau. Sebab, apabila para pehobi menggunakan burung asal penangkaran, populasi di alam liar akan tetap terjaga. Spesies-spesies yang masih belum berhasil dibudidayakan ini menjadi tantangan bagi para penangkar.
”Para penangkar, kalau bisa, ya, budidaya ini diupayakan. Nah, kalau belum berhasil, ya, harus menahan diri,” kata Yanthi. ”Perlu ada keseimbangan antara permintaan dan supply burung dari alam ataupun penangkaran,” kata Yanthi.