MATARAM, KOMPAS – Sektor pariwisata di Lombok, Nusa Tenggara Barat, masih terpuruk menyusul rentetan gempa yang mengguncang pulau tersebut sejak tiga pekan silam. Pelaku wisata kehilangan pendapatan puluhan miliar per hari akibat sepinya kunjungan wisatawan. Jika tidak ada upaya pemulihan, kondisi wisata di Lombok terancam kolaps.
Dampak gempa terhadap pariwisata dirasakan hampir di seluruh destinasi wisata unggulan di Lombok, seperti Gili Trawangan, Senggigi, Rinjani, hingga di Kota Mataram. Sepinya wisatawan yang berkunjung dalam tiga pekan terakhir membuat tingkat hunian hotel menurun dan omzet para pelaku wisata anjlok.
Gempa berkekuatan M 6,4 yang pertama kali mengguncang Lombok pada Minggu (29/7/2018) membuat kawasan Gunung Rinjani terdampak dan ditutup bagi pendaki. Seminggu berselang, terjadi gempa M 7,0 pada Minggu (5/8/2018) yang berakibat pada lumpuhnya wisata di Lombok, terutama kawasan Senggigi dan Gili Trawangan.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Nusa Tenggara Barat Hadi Faesal mengungkapkan, tingkat hunian kamar hotel di destinasi wisata turun drastis dari rata-rata 87 persen hingga hanya tersisa 30 persen sejak gempa berkekuatan Magnitudo 7,0 Minggu (5/8/2018). “Mereka rata-rata eksodus ke Bali atau Banyuwangi,” ujar Hadi Faesal, Jumat (24/12/2018).
Di Hotel Santika Mataram misalnya, tingkat okupansi hotel hanya tersisa 30 persen dari 123 kamar pascagempa. Tamu yang menginap kebanyakan relawan gempa dari berbagai wilayah di luar Lombok. “Kalau ada sampai 40 persen itu sudah sangat bagus,” ucap General Manager Santika Mataram Reza Bovier.
Di Hotel Aruna Senggigi bahkan tingkat hunian hotel anjlok hingga hanya tersisa 15 persen dari 142 kamar. Padahal, pada waktu normal dapat mencapai 90 persen. “Mereka mencari kamar di lantai paling bawah,” kata Indah Puritiara, Humas Hotel Aruna Senggigi.
Melinda Rosalina, pengelola Join Homestay di Dusun Ketapang, Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, mengakui, pascagempa melanda Lombok, hanya satu kamar yang terisi dari 14 kamar yang ada. “Padahal, target awal pada bulan Agustus hingga September ini kamar penuh. Tapi, karena ada gempa jadi sepi,” ucap Melinda.
Merujuk dataBadan Pusat Statistik NTB, pada 2017 ada 947 hotel dengan 13.265 kamar yang menyerap 8.674 pekerja. Hotel tersebut tersebar di Lombok Barat sebanyak 106 unit, di Lombok Tengah 86 unit, dan Lombok Timur 42 unit.
Berdasarkan data Dinas Pariwisata NTB, hingga Juli 2018 sebanyak 229.338 wisatawan, terdiri atas 94.756 wisatawan asing dan 134.582 wisatawan lokal berkunjung ke NTB. Adapun pada 2017, tingkat kunjungan wisatawan ke NTB mencapai 3,5 juta orang.
Perputaran uang
Ketua Association Of The Indonesia Tours and Travel Agencies (ASITA) NTB Dewantoro Umbu Joka mengakui, sepinya wisatawan akibat gempa membuat perputaran uang di sektor pariwisata anjlok. Kerugian yang dialami sektor pariwisata diperkirakan sekitar Rp 70 miliar hingga Rp 100 miliar per hari atau sekitar Rp 2 triliun per bulan.
“Ada ribuan pelaku usaha lain yang terlibat di sektor wisata, seperti agen perjalanan, sopir, pedagang, dan pemandu wisata yang menganggur akibat sepinya wisatawan,” kata Dewantoro.
Menurut Dewantoro, dalam kondisi normal ada sekitar 10.000 wisatawan domestik dan mancanegara yang berlibur ke Lombok per hari. Sekitar 40 persen di antaranya mengunjungi Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air. Wisatawan tersebut menginap sekitar dua hingga tiga hari di Lombok dan menghabiskan uang sekitar Rp 3 juta hingga Rp 5 juta dalam sekali kunjungan.
Fauzi Gafar, salah satu pemandu wisata, mengaku kehilangan penghasilan usai gempa melanda Lombok. Biasanya, dia bisa menghasilkan setidaknya Rp 750.000 per minggu dengan memandu 30-40 wisatawan. Sekali membawa turis, Fauzi mendapat upah Rp 25.000 per orang, selain mendapat tip dari hotel dan usaha perjalanan wisata.
Tidak hanya itu, pelaku wisata berpotensi terus kehilangan pendapatan karena banyak wisatawan yang membatalkan kunjungannya. Sahnan, pemilik Sea Indo Hollidays Travel, mengaku, ada dua tamu individu dan dua grup mengurungkan kunjungan lima hari empat malam ke Lombok tanggal 13 Oktober mendatang.
Turbulensi
Kepala Dinas Pariwisata NTB Lalu M Faozal mengakui, pariwisata di NTB mengalami turbulensi pascagempa. Dampak fisik yang ditimbulkan gempa merusak fisilitas dan aksesibilitas setidaknya di Gili dan Gunung Rinjani. “Sebanyak 60 persen hotel dan restoran di Gili rusak, sedangkan jalur pendakian di Rinjani masih terputus akibat longsor” tutur Faozal.
Menurut Faozal, sepinya sektor pariwisata berpotensi membuat masyarakat yang bergelut di sektor wisata dan penunjangnya kehilangan pekerjaan. Selain sektor jasa di bidang pariwisata dan transportasi yang sepi, hotel dan restoran juga dikhawatirkan akan mengurangi jumlah pekerjanya.
Dia memperkirakan, pemulihan bangunan dan fasilitas di Gili dan sebagian Senggigi yang rusak akibat gempa membutuhkan waktu sekitar tiga bulan. Sedangkan untuk pemulihan pariwisata di Lombok pasca eksodus besar-besaran wisatawan memerlukan kerja sama antara pemda dengan lintas kementerian.
Ruslan (40) dari Lombok Amazing Panorama, salah satu tour and travel di Senggigi, mengatakan, pemerintah perlu mengadakan festival pariwisata untuk menunjukkan bahwa Lombok siap kembali menerima wisatawan. “Agen-agen di Eropa selalu menanyakan kondisi terkini di Lombok setelah gempa,” ucap Ruslan. (ILO/SYA/ZAK/RUL/JUM)