Kebijakan Terpadu untuk Cegah Penyakit Tropis Mewabah
Oleh
Ambrosius Harto/Agnes Swetta Pandia
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS – Penanganan penyakit tropis di Indonesia antara lain malaria, demam berdarah, dan tuberculosis memerlukan kebijakan terpadu. Penyakit bukan sekadar dibasmi dengan pengobatan tetapi harus ada sistem pencegahan agar tidak mewabah dan tidak muncul lagi.
Penyakit tropis masih menjadi masalah kesehatan nasional karena prevalensi tetap tinggi. Di Kabupaten Blitar, Jatim, catatan Kompas, kurun Januari-Juli 2018 tercatat 183 kasus demam berdarah. Lima anak dalam usia 3-10 tahun meninggal dunia karena serangan penyakit tersebut. Untuk malaria, Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur masih menjadi provinsi dengan jumlah serangan yang tinggi.
“Penanganan penyakit tropis yang menular sudah sulit sementara penyakit tidak menular prevalensinya juga tinggi. Tantangan penanganan penyakit kian besar sehingga perlu kebijakan terpadu dan terobosan,” ujar Pudjo Hartono, Ketua Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Fakultas Kedokteran Unair dalam Diskusi Kelompok Terfokus kerja sama Harian Kompas dengan Universitas Airlangga dan Ikatan Keluarga Alumni Unair, Jumat (24/8/2018), di Kantor Redaksi Kompas Biro Surabaya. Diskusi mengambil tema Penanganan Penyakit Tropis di Indonesia.
Penanganan penyakit tropis yang menular sudah sulit sementara penyakit tidak menular prevalensinya juga tinggi. Tantangan penanganan penyakit kian besar sehingga perlu kebijakan terpadu dan terobosan.
Bentuk kebijakan terpadu antara lain penataan kota untuk menjamin kesehatan warga misalnya menyediakan taman, fasilitas pejalan, jalur sepeda, pengawasan kualitas udara dan air, menyediakan angkutan umum dan pengawasan ketat serta tindakan hukum tegas dan keras terhadap pabrik-pabrik untuk menekan polusi. Selain itu, memantau kualitas kesehatan janin sekaligus ibu hamil agar generasi yang lahir bukan sekadar selamat melainkan sehat, kuat atau sulit ditembus penyakit, produktif, dan berusia panjang.
Untuk penanganan penyakit saja, guru besar FK Unair Usman Hadi mengatakan, para dokter diingatkan agar menegakkan diagnosis. Maksudnya, dokter harus mampu secara akurat mendiagnosis pasien apakah terserang demam berdarah, malaria, atau penyakit lainnya. Kemudian, cepat menangani untuk menyelamatkan jiwa pasien.
“Bagaimana mengembangkan dan menerapkan strategi menangani penyakit perlu kerjasama dengan mikrobiologi dan parasitologi,” katanya.
Guru besar FK Unair sekaligus Direktur RS Unair Nasronuddin menambahkan, dalam penanganan skala kecil di pusat layanan kesehatan yakni RS, klinik, atau puskesmas, sistem yang dibangun harus mampu menjamin penyakit yang diderita suatu pasien tidak menular.
Kata lain, pasien tidak ketambahan penyakit lain saat ditangani di pusat layanan kesehatan. “Maka itu penanganan di rumah sakit juga penting untuk diperhatikan apakah ada isolasi terhadap pasien penyakit menular atau tidak. Jangan sampai pasien datang ke rumah sakit malah kena sakit lainnya,” katanya.
Inovasi
Guru besar parasitologi Unair Indah Tantular mengatakan, penanganan penyakit tropis seperti lomba dengan virus atau bakteri dalam hal penemuan obat-obatan dan perkembangan peralatan. Penelitian harus terus ditempuh agar manusia tidak tertinggal dari perkembangan penyakit.
Penanganan penyakit tropis seperti lomba dengan virus atau bakteri dalam hal penemuan obat-obatan dan perkembangan peralatan.
“Inovasi amat penting. Kami misalnya sedang mengembangkan alat diagnosis malaria untuk kawasan sulit listrik untuk mempercepat penanganan,” katanya.
Pentingnya kebijakan terpadu, lanjut guru besar FK Uniar Yoes Priyatna Dachlan, agar Indonesia dapat menjawab tantangan perkembangan penyakit. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan, setiap tahun diperkirakan muncul 3-4 jenis penyakit baru yang merupakan perkembangan dari penyakit sebelumnya. Penyakit jenis baru tidak mempan ditangani dengan obat-obat yang sudah ada sehingga mau tidak mau para ahli kesehatan harus terus berlomba menemukan inovasi baru.
Kepala Dinas Kesehatan Jatim Kohar Santoso mengungkapkan, rasio dokter dan masyarakat masih kurang ideal yakni 1 dokter untuk 5.900 orang. Di wilayah perkotaan yakni Surabaya dan Malang, rasionya sudah ideal yakni 1 dokter untuk 2.500-3.000 orang. “Rasio tidak ideal di pedesaan. Selain itu, penanganan dan pencegahan penyakit di setiap daerah perlu pendekatan sosial budaya yang terkadang berbeda,” katanya.
Itu bisa dilihat dari contoh masih ada penolakan terhadap vaksinasi MR oleh kalangan warga dengan alasan vaksin tidak halal meski MUI membolehkan penggunaannya.