Setahun Krisis Rohingya, Warga Rindu Pulang ke Rumah
Oleh
Elok Dyah Messwati
·4 menit baca
Hidup di pengungsian dan terpisah dari keluarga bukan hal yang menyenangkan. Ditempa dari generasi ke generasi di desa-desa mereka di Myanmar, meskipun kini hidup terpisah, warga etnis minoritas Rohingya tetap disatukan melalui sambungan telepon.
”Ibu! Ibu!” teriak Abdullah Razzaq (15) kepada ibunya awal pekan ini lewat sambungan telepon yang dilakukan sekali seminggu. Hampir setahun sudah Razzaq dan saudaranya, bersama dengan lebih dari 700.000 warga Rohingya lainnya, mengungsi ke Bangladesh. Mereka menyelamatkan diri dari serangan pasukan keamanan dan menyeberangi perbatasan menuju Bangladesh. ”Mengapa kalian tidak datang ke sini?” tanya Razzaq kepada ibunya.
”Di sini” yang dimaksud Razzaq adalah kamp pengungsian di tengah-tengah perbukitan dan lumpur yang tak ada habisnya pada musim hujan. Kamp pengungsi Rohingya tersebut pertama kali didirikan lebih dari 20 tahun lalu oleh gelombang pengungsi Rohingya yang lebih kecil jumlahnya.
Hampir setahun sudah Razzaq dan saudaranya, bersama dengan lebih dari 700.000 warga Rohingya lainnya, mengungsi ke Bangladesh.
Kamp-kamp pengungsi makin bertambah besar pada tahun lalu ketika tentara Myanmar melancarkan serangan sekitar 25 Agustus 2018 dan ratusan ribu warga Rohingya membanjiri perbatasan. Satu tahun kemudian, meskipun telah berbulan-bulan dilakukan diskusi antara Myanmar, Bangladesh, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan sejumlah lembaga bantuan lain, akhirnya ada sedikit tanda bahwa warga Rohingya dapat pulang dalam waktu dekat.
”Saya tidak bisa melihat ibu atau saudara laki-laki saya. Saya tidak dapat menerima cinta seorang ibu. Saya sangat merindukan mereka,” kata Razzaq.
Keluarga Razzaq berantakan dan kacau setelah serangkaian serangan 24 Agustus 2017 di pos polisi Myanmar oleh kelompok militan Rohingya yang menyebabkan belasan personel keamanan Myanmar tewas.
Segera setelah itu, pasukan keamanan Myanmar dan sekelompok warga menanggapi serangan tersebut dengan melakukan serbuan balasan ke desa-desa Rohingya, membakar rumah-rumah mereka, dan mengusir penduduk desa.
Kamp-kamp pengungsi makin bertambah besar pada tahun lalu ketika tentara Myanmar melancarkan serangan sekitar 25 Agustus 2018 dan ratusan ribu warga Rohingya membanjiri perbatasan.
Razzaq dan saudara lelakinya yang berusia 17 tahun berpikir bahwa ibu mereka juga telah meninggalkan desa mereka di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, tempat warga Rohingya telah lama tinggal. Baru kemudian mereka menyadari, mereka telah meninggalkan sang ibu yang tetap berada di desa dengan saudara tertua mereka.
Razzaq bersaudara sering melakukan panggilan menelepon seminggu sekali untuk saling memeriksa keadaan. Namun, ibunya mengatakan kepada mereka, berpisah dengan anak-anaknya merupakan hal sangat sulit yang harus dihadapinya.
”Aku sangat merindukan kalian. Aku tidak bisa makan atau tidur dengan nyenyak,” kata ibunda Razzaq.
Migran ilegal
Kesengsaraan warga Rohingya tampaknya belum berakhir. Mereka telah lama diperlakukan sebagai migran ilegal di Myanmar, tak punya hak-hak dasar seperti kebebasan bergerak meskipun keluarga mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi. Hampir semua warga Rohingya telah ditolak permohonan kewarganegaraannya sejak 1982, dan itu berarti mereka tak memiliki kewarganegaraan.
Gerakan anti-Rohingya terjadi selama bertahun-tahun dan kekerasan terhadap warga Rohingya mulai meningkat lagi pada Oktober 2016, ketika Pemerintah Myanmar mulai mengeluhkan berbagai kekerasan yang dilakukan militan Rohingya. Pada akhir Agustus 2017, pengungsi Rohingya membanjiri Bangladesh.
Sekarang, keluarga Rohingya yang terpisah jarak sangat bergantung pada telepon seluler untuk menjalin komunikasi. ”Anak saya tidak bisa menelepon saya kapan pun dia mau,” kata Dildar Begum (70), ibu tua yang menunggu telepon dari anaknya sepanjang hari Rabu (22/8/2018) saat perayaan Idul Adha. Namun, panggilan telepon yang ditunggunya itu tak kunjung muncul.
Keluarga Begum juga terpisah-pisah akibat kekacauan Agustus 2017 lalu. Begum, putranya, dan keluarganya menyelamatkan diri ke perbatasan Myanmar-Bangladesh karena tindakan keras militer Myanmar semakin brutal. Begum naik ke perahu untuk menyeberangi Sungai Naf dengan sekelompok pengungsi. Namun, ketika putranya kembali ke pantai untuk mengambil anak-anaknya, putranya itu dikelilingi oleh massa dan bergegas pergi.
Akhirnya, Begum datang ke Bangladesh sendirian. Satu tahun sudah berlalu. Kini Begum hanya ingin melihat putranya. ”Jika Allah mengizinkan, kami akan bertemu lagi. Putraku mungkin mati atau aku akan mati,” kata Begum.
Pemerintah Myanmar berjanji untuk menerima kembali semua pengungsi Rohingya dan membangun kamp-kamp bagi mereka di sisi perbatasan. Adapun Pemerintah Bangladesh mengatakan, para pengungsi hanya akan tinggal sementara di negara itu.
Pemerintah Bangladesh mengatakan, para pengungsi hanya akan tinggal sementara di Bangladesh.
Kedua negara sepakat untuk mulai memulangkan mereka pada bulan Januari, tetapi rencana itu dibatalkan ketika ada kekhawatiran dari pihak lembaga pemberi bantuan dan warga Rohingya bahwa keselamatan mereka tidak terjamin di Myanmar. Badan Pengungsi PBB menyebutkan, kondisi di Myanmar belum kondusif dan belum aman, bermartabat, dan berkelanjutan.
Aung San Suu Kyi, pemimpin Myanmar, penerima penghargaan Nobel, yang citranya ternoda karena lambatnya reaksi Pemerintah Myanmar terhadap krisis Rohingya, membela tindakannya awal pekan ini. Suu Kyi mengatakan, militan Rohingya tetap menjadi ancaman serius.
”Kami yang hidup melalui transisi di Myanmar melihat hal ini secara berbeda dari mereka yang mengamatinya dari luar,” demikian pidato Suu Kyi di Singapura.
”Bahaya aktivitas teroris yang merupakan penyebab awal peristiwa yang mengarah ke krisis kemanusiaan di Rakhine tetap nyata dan ada saat ini. Jika tantangan keamanan ini tidak ditangani, risiko kekerasan antarkomunitas akan tetap ada,” kata Suu Kyi. (AP)