Empati Rika
Belakangan ini Rika (27) sering didera kesedihan. Ia menyaksikan anak-anak korban gempa sudah jatuh tertimpa tangga. Selain rumah-rumah mereka hancur, ketika tidur di tenda pun basah kuyup karena hujan. ”Dan itu semalaman…. Aku menangis melihat ini,” tutur Rika, Rabu (22/8/2018). Suaranya sayup-sayup di kejauhan.
Petang hari, Jumat (17/8/2018), pesawat yang ia tumpangi tinggal landas dari Bandara Internasional Lombok. Tak lama gempa kembali mengguncang pulau di timur Bali itu. Setelah mendarat di Bandara Internasional Syamsudin Noor Banjarbaru, Kalimantan Selatan, kota di mana ia tinggal, kesedihan itu kembali membayang.
”Anak-anak dan orangtua, banyak yang trauma. Mereka kehilangan kegembiraan, seperti tak semangat hidup,” kata Rika lagi.
Penulis yang telah melahirkan beberapa buku sastra ini sadar benar bahwa kesedihan tak bisa terus diratapi. Oleh sebab itulah bersama lembaga Radar Banjar Peduli, yang dipimpin suaminya Ogi Fajar Nuzuli, Rika menggalang dana di jalan-jalan seputar Banjarbaru. Penggalangan itu mengumpulkan dana sebesar Rp 40 juta. Melalui seorang teman di Lombok, ia tahu kebutuhan utama para korban gempa antara lain: terpal, selimut, makanan bayi, dan uang tunai. Para aktivis kemanusiaan di Banjarbaru sepakat membeli sebagian kebutuhan warga, selebihnya bantuan akan diberikan berupa tunai.
Seluruh bantuan, kata Rika, harus tiba secepatnya di Lombok. Oleh sebab itulah ia memutuskan untuk berangkat bersama dua orang lainnya. ”Kupikir karena kebutuhannya mendesak, bantuan harus segera diantar,” tutur Rika.
Ketika berada di Lombok antara 15-17 Agustus lalu, hati Rika benar-benar terkoyak. ”Bayangkan ratusan rumah rata, ribuan korban hidup di tenda seadanya. Bahkan, ada yang tak segera terima bantuan,” katanya terbata-bata.
Setelah menyalurkan bantuan di Desa Genggelang, Kecamatan Gangga, Lombok Utara, serta beberapa desa di Lombok Barat, Rika sadar bahwa kebutuhan utama para korban gempa Lombok adalah uang tunai. ”Mereka tidak punya penghasilan karena tidak lagi bisa bekerja. Jadi butuh tunai untuk membeli kebutuhan hidup termasuk pakaian,” katanya.
Khusus anak-anak, Rika mengajak mereka bermain. Ia melihat anak-anak tidak boleh kehilangan kegembiraan meski hidup mereka sangat pahit. ”Aku buat lomba-lomba untuk 17-an, agar mereka tertawa,” kata perempuan kelahiran 23 Januari 1991 ini.
Dalam waktu dekat, Rika berencana kembali ke Lombok untuk menyalurkan bantuan. Kisah empati Rika kepada para korban gempa, hanya sebagian dari episode hidupnya sebagai penulis.
Penulis, katanya, tak boleh sekadar duduk menyusun kata-kata indah di belakang meja. Penulis harus berjuang langsung dan menyentuh sisi-sisi kemanusiaan. ”Kan perjuangan penulis mengangkat derajat kita sebagai manusia yang bermartabat. Tak boleh cuma kata-kata dong, harus terjun langsung,” ujar Rika.
Panti sosial
Sejak beberapa minggu terakhir Rika sibuk berbagi dengan anak-anak di Panti Sosial Bina Remaja Budi Satria Provinsi Kalimantan Selatan. Pemprov Kalsel, kata Rika, mengumpulkan remaja telantar berumur 15-20 tahun dari seluruh kabupaten. Sekitar 130 remaja, tambah Rika, kemudian belajar di bawah bimbingannya. ”Ya bisa menulis kreatif atau hal-hal lain seperti beretika di media sosial,” tuturnya.
Meski mengakui kemampuan menulisnya belum sekelas sastrawan nasional, Rika merasa itulah caranya untuk berbagi sebagai sesama. Para remaja ini berasal dari kalangan rakyat jelata yang memiliki berbagai keterbatasan. ”Bahkan, mereka termasuk telantar hidupnya. Jarang ada yang bisa mengenyam pendidikan.”
Sebagai relawan yang kebetulan bisa menulis, Rika mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan tulis-menulis. ”Tak harus jadi penulis, minimal mereka bisa mencurahkan isi hatinya lewat tulisan. Dan itu cukup membantu mengatasi kesendirian mereka,” katanya.
Pada dasarnya, kata penulis novel Jane Fara (2017) ini, menulis adalah cara berbagi paling hakiki. Beda dengan curhat (curahan hati) yang lebih bebas dan cenderung personal. Menulis dalam pandangan Rika, memberi kesempatan kepada seseorang untuk menata hati dan pikiran, sehingga segala sesuatunya menjadi lebih sistematis. Selain itu menulis bisa membebaskan seseorang dari keterbelengguan rasa yang selama ini mengganggu hidup.
Itulah dasarnya ketika ia menulis cerpen berjudul Pena sebagai bekalnya mengikuti seleksi Kelas Cerpen Kompas 2017. Cerpen ini bahkan kemudian direkomendasi oleh mentornya, Linda Christanty dan Joko Pinurbo, untuk dimuat dalam rubrik Cerpen Kompas Minggu. ”Tak kusangka cerpen itu bahkan lolos seleksi untuk buku Cerpen Pilihan Kompas 2017. Aku bangga…,” tuturnya dengan penuh sukacita.
Di luar prestasinya itu, Rika ingin menyampaikan rasa empatinya kepada anak-anak yang terkadang menjadi obyek penderita dalam berbagai kasus. Seorang anak dalam cerpen Pena yang diperkosa oleh kakak sepupunya, justru mendapatkan perlakuan kasar dari ibunya sendiri. ”Seolah kesalahan itu selalu pada anak. Kesadaran tentang kasih kepada anak itulah yang ingin aku gugah lewat cerita itu,” kata Rika.
Lewat cerita-cerita semacam ini, Rika ingin sastra benar-benar menjadi bagian dari upaya menggugah kesadaran moralitas manusia. Itu juga sebabnya, ia begitu aktif menggalang aktivitas sastra di Banjarbaru. Lewat Komunitas Minggu Raya, sering kali Rika mengajak siapa pun untuk singgah dan membaca puisi.
Rika juga terlibat dalam agenda tahunan di kotanya Tadarus Puisi dan Silaturahim Sastra. Semuanya ia lakukan bukan sekadar menggaungkan kecintaan kepada sastra, tetapi lebih-lebih merawat moralitas manusia melalui cara-cara yang mengagungkan keindahan.
Pada akhirnya keindahan akan mengasah empati, untuk turut merasakan dan berbuat bagi orang-orang yang sedang kesusahan.
Rika
Lahir: Banjarmasin, 23 Januari 1991
Pendidikan: Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
Karya:
- Istri Muda (novel -2016)
- Jane Fara (novel-2017)
- Matahari dalam Hujan (puisi -2017)
Penghargaan:
- Penghargaan Seni Walikota Banjarbaru
- Nomine Cerpen Pilihan Kompas 2017.