Membaca Sultan Agung
Mengangkat sosok yang digelari pahlawan ke layar lebar tidak pernah mudah. Riwayat hidupnya dikisahkan berdasarkan berbagai catatan yang mengklaim keabsahannya sendiri dan sering menimbulkan perdebatan. Begitu pun dengan sosok Sultan Agung (1593-1645), Raja Mataram, yang diangkat dalam film Sultan Agung: Takhta, Perjuangan, dan Cinta.
Mengambil momen perayaan hari ulang tahun kemerdekaan, film Sultan Agung mulai diputar di bioskop pada 28 Agustus 2018. Tema besarnya seperti tertera pada judul, yakni kehidupan Sultan Agung seputar takhtanya sebagai Raja Mataram, perjuangannya mengobarkan perang melawan VOC, dan drama cintanya.
Produser eksekutif Sultan Agung, BRA Mooryati Soedibyo, memilih mengangkat sosok Sultan Agung karena kecintaan sang bangsawan pada tanah airnya. ”Ada nilai-nilai tentang keberanian, keluhuran, dan persatuan Nusantara. Ini sebagai pelajaran bagi anak-anak sekarang,” ujarnya, saat berkunjung ke Redaksi Kompas, Senin (20/8/2018).
Naskah ditulis oleh Mooryati bersama Ifan Ismail dan Bagas Pudjilaksono dengan sutradara Hanung Bramantyo. Aktor dan aktris kenamaan turut mendukung film ini, antara lain Ario Bayu, Lukman Sardi, Christine Hakim, Adinia Wirasti, Meriam Bellina, Teuku Rifnu, dan Putri Marino.
Kisahnya dimulai saat Sultan Agung masih muda dengan nama Raden Mas Rangsang (Marthino Lio). Dia dikirim sang ayah, Raja Mataram Panembahan Hanyokrowati, belajar di pedepokan Ki Jejer (Deddy Sutomo) tentang agama, tata negara, budaya, dan bela diri. Di situ, ia jatuh cinta kepada Lembayung (Putri Marino).
Kedamaian hidupnya di balik identitas yang dirahasiakan terenggut saat sang ayah wafat. Di tengah intrik politik keraton, dia akhirnya dinobatkan menjadi Raja Mataram dengan gelar Susuhunan Agung Hanyokrokusumo. Membentang di hadapannya kerajaan-kerajaan yang ingin melawan Mataram dan harus dipersatukan lagi. Dia pun harus melupakan Lembayung dan menikah dengan putri Adipati Batang (Anindya Putri).
Masalah lain muncul dengan kedatangan VOC pimpinan Jan Pieterzoon Coen (Hans de Kraker). Mereka menolak tawaran untuk mendirikan kantor dagang di Mataram dan memilih Batavia. Sultan Agung (Ario Bayu) teringat amanah yang diberikan Sunan Kalijaga tentang bangsa tuca—kalangan penjahat dan perampok—yang berniat menguasai Nusantara. Menjadi tugasnya untuk memenuhi amanah itu.
Dia pun mengerahkan pasukan Mataram untuk menyerang VOC di Batavia. Rencana itu mendapatkan tentangan. Beberapa petinggi Mataram berkhianat. Namun, Sultan Agung tetap kukuh dengan rencananya.
Linear
Film dengan genre drama aksi kolosal ini berdurasi panjang, 148 menit. Cerita berjalan linear, menampilkan tahapan demi tahapan Sultan Agung berikut kisah orang-orang yang ada di sekitarnya. Alur cerita ini mudah diikuti. Dialog menggunakan campuran bahasa Indonesia serta bahasa Jawa halus (krama) dan kasar (ngoko) dengan terjemahan bahasa Indonesia.
Beberapa karakter fiktif dihadirkan, seperti Lembayung dan Kelana, demi dramatisasi cerita. Penonton pun disuguhi aksi bela diri yang tertata dengan baik, adegan pertempuran yang tidak mengekspos kekerasan, drama keluarga, dan kisah asmara. Sedikit humor terselip di sana-sini untuk meredakan ketegangan.
Ilustrasi film berupa grafis berbentuk wayang, peta kerajaan di Jawa, serta kapal-kapal VOC, memperkaya tampilan film ini. Sebanyak 500 figuran dikloning menjadi 14.000 orang dengan gambar yang dikonstruksi komputer (CGI) untuk menciptakan nuansa kolosal.
Adegan pertempuran antara pasukan Mataram dengan para tumenggungnya melawan tentara VOC menjadi adegan puncak. Panah melawan bedil, tombak berdenting dengan pedang, juga dentuman meriam memenuhi layar. Tidak ada luka-luka yang disorot detail, juga cipratan darah yang berlebihan.
Ada dua adegan pertempuran frontal yang ditampilkan, yakni saat penyerbuan ke benteng dan pertempuran di tepi sungai.
Pengambilan gambar dilakukan di studio alam di Gamplong, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, dengan set yang dibangun khusus untuk film ini di atas lahan seluas 2,5 hektar. Menurut Hanung, bentuk keraton Mataram kala itu tidak seperti keraton Yogyakarta sekarang. Masih ada sisa kebudayaan Hindu dalam gapura keraton yang berbentuk seperti pura.
Beda visi
Hanung menuturkan, dirinya terbuka dengan perdebatan mengenai kisah film Sultan Agung. Terlebih pembuatan film ini juga menyentuh dua budaya besar di Jawa yang terbagi dua pasca-Mataram, yakni Yogyakarta dan Surakarta. Bagi Hanung, inilah salah satu kesulitan yang dia hadapi saat membuat film tersebut.
”Ada perbedaan visi antara sutradara dan produser, itu biasa. Saya sebagai sutradara, orang Jogja. Bu Mooryati sebagai produser eksekutif, orang Solo. Jadi, film ini mau mengikuti kultur Jogja atau Solo, itu saja sudah kesulitan tersendiri. Soal corak kain jarik yang dipakai Sultan Agung, misalnya, pakai corak batik Solo atau batik Jogja, sudah menimbulkan perdebatan. Jadi, kadang dia memakai jarik Jogja, kadang memakai jarik Solo,” tutur Hanung.
Kesulitan itu bisa dipatahkan, lanjut Hanung, jika ada gambar atau lukisan Sultan Agung. Dia memilih lukisan karya Sudjojono sebagai acuan sosok Sultan Agung. Itu pun sebenarnya tafsir Sudjojono sehingga perdebatan juga bisa terjadi.
Riset untuk cerita didasarkan pada sejumlah buku serta keterangan beberapa sejarawan Yogyakarta dan Solo untuk menjaga otentisitasnya.
Hanung mengakui ada buku karya HJ de Graaf berjudul Puncak Kekuasaan Mataram yang menyebutkan Sultan Agung sosok yang keji, memenggal para tumenggungnya demi ambisi kekuasaan dengan kalimatnya ”mukti (menang) atau mati”. Kisah itu juga muncul di film, diperlihatkan dengan kepala-kepala yang dipancangkan pada kayu meskipun samar-samar.
”Ada perdebatan tentang mengapa orang seperti itu mendapat gelar sultan. Saya temukan sisi baik berdasarkan catatan dari Turki. Gelar sultan itu diberikan oleh Mekkah dengan persetujuan Turki Osmani beberapa tahun sebelum beliau wafat,” papar Hanung.
Pada akhirnya, semua soal pilihan, mau ikut referensi yang mana. Punya referensi sendiri pun tak masalah karena film ini bisa jadi hiburan. Yang pasti film Sultan Agung juga sebuah interpretasi yang tidak bisa dijadikan rujukan sejarah.