Momentum untuk Bangkit
PALEMBANG, KOMPAS Aliran medali emas, perak, dan perunggu masih dapat dipertahankan para atlet Indonesia hingga hari ketujuh penyelenggaraan Asian Games Jakarta-Palembang 2018, Sabtu (25/8/2018). Yang mem-banggakan, prestasi itu dipersembahkan atlet dari cabang-cabang yang cukup lama absen dari daftar peraih medali pada pesta olahraga Asia ini.
Satu medali emas dari cabang tenis lewat pasangan ganda campuran, Christopher Rungkat/Aldila Sutjiadi, membuat lagu ”Indonesia Raya” tetap berkumandang setiap hari sejak Asian Games 2018 bergulir pada 18 Agustus. Bagi cabang tenis, ini adalah medali Asian Games pertama yang diraih sejak Asian Games Busan 2002.
Selain itu, pada Sabtu, kontingen ”Merah Putih” juga mendulang tiga medali perak dan dua medali perunggu. Salah satu medali perak disumbangkan oleh petembak Muhammad Sejahtera Dwi Putra dari nomor 10 meter running target campuran putra. Ini juga medali pertama yang disumbangkan cabang menembak setelah menunggu selama 52 tahun atau sejak Asian Games Bangkok 1966.
Medali perak lainnya diperoleh tim dayung perahu naga di nomor 200 meter putri serta I Gusti Bagus Saputra dari cabang balap sepeda BMX putra. Rekan Bagus, Wiji Lestari, meraih perunggu di BMX putri. Perunggu terakhir disum-
bangkan karateka Ahmad Zigi Zaresta Yuda dari nomor kata putra.
Sukses Christo/Aldila di Arena Tenis Kompleks Olahraga Jakabaring, Palembang, diraih dengan menumbangkan pasangan Thailand, Sonchat Ratiwatana/Luksika Kumkhum, dengan 6-4, 5-7, dan super tie break 10-7.
Christo merasa bangga dapat mengakhiri paceklik gelar juara Asian Games di cabang tenis Indonesia. Terakhir kali, pada Asian Games 2002, tenis membawa satu set medali, yakni emas beregu putri, perak ganda putri Angelique Widjaja/Wynne Prakusya, dan perunggu beregu putra.
Hasil tersebut menutup rangkaian kesuksesan generasi petenis dari era Lanny Kaligis, Lita Liem Sugiarto, Atet Wijono, Yustejo Tarik, Hadiman, hingga Yayuk Basuki, Suharyadi, Suzanna Wibowo, dan Angelique Widjaja. Perlu menunggu 16 tahun sebelum duet Christo (28) dan Aldila (23) memecah kebuntuan itu.
Christo berharap kemenangan ini menghidupkan kembali gairah cabang tenis di Indonesia dan dapat diperhitungkan kembali setara dengan cabang unggulan lainnya. Dia juga menargetkan membela Indonesia di Olimpiade Tokyo 2020.
Memotivasi
Ketua PB Pelti Rildo Ananda Anwar menerangkan, dipasangkannya Christo dan Aldila di ganda campuran adalah permintaan Christo. Mengutip Christo, Rildo mengatakan, Aldila memiliki pukulan menyerang yang cocok untuk menerapkan permainan agresif. Mereka juga tekun berlatih untuk memperkuat kekompakan. ”Hal ini yang perlu diapresiasi,” katanya.
Kemenangan ini diharapkan bisa memotivasi para petenis muda terus berprestasi. Rildo, yang menjadi Ketua PB Pelti sejak akhir 2017, berjanji akan membenahi tenis Indonesia, mulai dari memperbanyak jumlah kejuaraan, memanggil pelatih berpengalaman, hingga mencarikan sponsor bagi atlet potensial.
Dukungan sponsor ini diperlukan agar petenis lebih banyak bertanding di luar negeri. Praktis, saat ini hanya Christo yang rutin berlaga pada berbagai turnamen internasional. Aldila mengaku dirinya sulit untuk mendapatkan sponsor. Padahal, untuk mengikuti turnamen dibutuhkan dana per tahun sekitar Rp 500 juta di kawasan Asia hingga Rp 1 miliar untuk mengikuti turnamen di Eropa.
Christo dan Aldila pun mengatakan hendak menggunakan bonus yang akan mereka dapat sebagai peraih emas Asian Games untuk mengikuti turnamen internasional.
Dinanti
Di Arena Menembak Kompleks Olahraga Jakabaring, medali perak yang diraih Dwi Putra mengakhiri penantian panjang medali di tingkat Asia sejak Elias Joseph Lessy meraih medali perunggu di nomor 10 meter air rifle pada Asian Games Bangkok 1966. Tak heran, keberhasilan itu disambut kegembiraan dan haru para atlet, pelatih, dan ofisial tim.
Manajer menembak Indonesia, Sarozawato Zai, menyampaikan, nomor 10 meter running target memang menjadi andalan Indonesia untuk meraih medali pada Asian Games ini. Sayangnya, pada nomor 10 meter running target standar putra sehari sebelumnya, Putra belum berhasil.
”Inginnya lebih baik dari perak. Tetapi, pengalaman dan jam terbang memang tidak bisa membohongi hasil. Atlet Asia Timur, terutama dari Korea Utara, memang lawan berat yang kenyang pengalaman bertanding di kejuaraan dunia,” ujarnya.
Hasil ini juga menjadi pembuktian tim menembak bahwa mereka mampu berprestasi di tengah keterbatasan dan perhatian minim dari pemerintah. Sebagai cabang Olimpiade yang menyediakan banyak medali, Zai mengingatkan, menembak jika dioptimalkan bisa menjadi lumbung medali pada kejuaraan multicabang seperti Asian Games dan Olimpiade.
Di Asian games ini saja, menembak menyediakan 20 medali emas. Untuk itu, sewajarnya pemerintah memperhatikan perkembangan olahraga ini untuk mendongkrak prestasi Indonesia.
”Bagi para atlet, yang paling utama adalah fasilitas latihan yang memadai dan kesempatan uji tanding internasional yang lebih banyak. Kami minim jam terbang karena jarang sekali ikut kejuaraan internasional. Bahkan, selama setahun pelatnas Asian Games, kami hanya dua kali ikut uji tanding internasional. Padahal, atlet-atlet top Asia itu bisa bertanding setiap bulan, terutama seri kejuaraan dunia,” kata Putra.
Minimnya jam terbang itu juga yang membuat Putra sangat gugup menjelang final hingga muntah di toilet. Apalagi, sehari sebelumnya dia gagal tampil maksimal pada nomor 10 meter running target standar. Kegugupan itu baru berkurang setelah dia berdiskusi dengan staf pelatih menembak, Darmawan Budiman.
”Sebagai atlet, wajar sekali gugup saat akan bertanding. Tetapi, saya senang mendapat masukan dari pelatih dan manajer, termasuk Pak Budiman. Hal itu membuat saya lebih percaya diri,” ujarnya.
Putra meraih nilai 380, tertinggal 4 poin dari atlet Korea Utara, Pak Myong Won, yang meraih skor 384.
Perahu naga
Kontingen Asian Games Indonesia yang berlaga di Palembang juga meyumbangkan satu medali perak lain dari tim perahu naga putri yang berlaga di nomor 200 meter. Kru dayung Indonesia, Alvonsina Monim, Stevani M Ibo, Masrifah, Nur Shifa Garnika, Christina Kafolakari, Debi Selvianti, Fitra Raudani, Astri Dwijayanti, Fazriah Nurbayan, Ramla B, Since Lithasova, dan Ririn Puji Astuti, harus mengakui keunggulan China dengan selisih waktu hanya terpaut 0,6 detik saat masuk garis finis.
Pelatih dayung Indonesia, Muhammad Suryadi, menyatakan, pada final ada kesalahan yang dilakukan oleh anak asuhnya. Ketika start, pedayung Indonesia terlambat mengantisipasi sehingga ketinggalan laju perahu atas China dan Korea Bersatu.
Tim Indonesia terus berupaya mengejar dengan meningkatkan tekanan kayuhan. Di pertengahan lomba, posisi Indonesia sudah mendahului tim Korea Bersatu dan mengejar China. Namun, dengan jarak lomba yang hanya 200 meter, perahu China sudah menyentuh garis finis.
”Kesalahan start itu sangat berpengaruh di lomba 200 meter. Semestinya tidak boleh ada kesalahan karena untuk mengatasi ketinggalan sangat sulit. Semua tim memacu kayuhan dengan cepat. Mudah-mudahan di nomor 500 meter akan berbeda karena kalaupun ada kesalahan start, masih dapat dikoreksi karena jaraknya lebih jauh,” kata Suryadi.
Menurut Suryadi, materi pedayung putri China memang sangat kuat. Di kancah Asia, dominasi China masih bertahan. Namun, bukan berarti peluang untuk emas tertutup.
Di bagian putra, Indonesia harus mengakui keunggulan China, Taiwan, dan Thailand.
(RAM/DRI/SAH)