Pemprov NTT Dinilai Tak Selesaikan Akar Persoalan Bentrok Warga di Kupang
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS- Akar persoalan konflik antarwarga eks Timor Timur dengan warga lokal, Suku Rote, di Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur belum ditangani dengan serius olehpemerintah. Masalah paling mendasar adalah lahan pertanian yang perlu dimiliki warga eks Timor Timur untuk bertani atau berladang. Hampir 19 tahun menetap di Oebelo, Kabupaten Kupang warga eks Timtim tidak memiliki pekerjaan tetap karena kesulitan mendapatkan pekerjaan. Perlakuan terhadap mereka pun masih diskriminatif.
Pengamat masalah sosial politik Universitas Nusa Cendana Kupang Johanes Tuba Helan di Kupang, Minggu (26/8) mengatakan, hasil pertemuan Forum Komunikasi antar Pimpinan Daerah (Forkompimda) Nusa Tenggara Timur (NTT) belum menjawab akar persoalan di Oebelo. Forkompimda hanya menyatakan keprihatinan, mengajak warga berekonsiliasi, dan bersiap memimpin perdamaian adat atas dua kelompok yang bertikai.
"Ini bukan solusi yang tepat. Semua permasalahan di sana, harus didata satu per satu sejak warga eks Timtim bergabung di Oebelo dan sekitarnya, di wilayah Kabupaten Kupang, 1999. Mengapa di kabupaten lain seperti Belu, Malaka, Timor Tengah Utara, dan Timor Tengah Selatan selalu aman, tetapi di Kabupaten Kupang terus bergejolak," kata Johanes.
Bentrok antar kelompok warga eks Timor Timur (Timtim) dengan warga lokal, suku Rote di Oeblo, Kamis-Jumat (23-24/8) menewaskan dua orang. Sembilan orang luka-luka.
Dua orang yang tewas itu adalah satu warga eks Timtim dan warga suku Rote. Sementara dari sembilan orang yang luka, lima orang adalah warga suku Rote dan empat warga eks Timtim.
“Secara etnik atau suku memang sangat jauh berbeda. Kabupaten Kupang, tempat dwarga eks Timtim berdomisili, dikuasai warga lokal, suku Rote bukan suku Timor. Perbedaan budaya, adat, seni, dan budaya antara dua etnik ini memang sangat jauh, sulit dipertemukan," kata Johanes.
Selama ini, masyarakat eks Timtim mempersoalkan tidak adanya lahan pertanian. Mereka juga desak pemerintah agar pemerintah bersedia merelokasi mereka di luar wilayah pemerintahan Kabupaten Kupang.
Tetapi sampai hari ini, tuntutan warga belum ditanggani. Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah termasuk Forkompimda hanya berupa melerai pertikaian kedua pihak, tetapi sifatnya sesaat saja, dengan mengadakan rekonsiliasi, damai, dan saling memaafkan.
Selama pemerintah tidak mengabulkan harapan warga eks Timtim, perdamaian antar penduduk lokal dengan warga eks Timtim sulit terbangun. Eks Timtim terus beranak-pinak. Mereka butuh permukiman, tanah, dan lahan olahan karena hampir 100 persen warga eks Timtim di Timor Barat, memiliki mata pencarian sebagai petani.
Jika mereka tidak direlokasi ke salah satu wilayah (kabupaten/kecamatan) di NTT, mereka bisa dikirim sebagai peserta transmigrasi ke provinsi lain seperti Kalimantan, Papua, atau Sumatera. Tetapi pengiriman warga eks Timtim ke luar NTT, tetap mempertimbangkan unsur kesamaan, budaya, adat, agama, dan karakter masyarakat.
Ketua Forum Uniao Timor Aswain NTT Angelino Dacosta mengatakan, persoalan mendasar di Oebelo dan beberapa desa di Kabupaten Kupang adalah masalah lahan olahan. Warga eks Timtim ini sangat kesulitan membangun hidup karena tidak ada lahan pertanian.
“Mestinya Forkompimda NTT menyampaikan masalah ini ke pemerintah pusat. Masalah dasar adalah lahan garapan. Jika tidak ada tanah olahan di Kabupaten Kupang, mereka bisa direlokasi ke kabupaten lain di NTT, atau mengikuti program transmigrasi di luar NTT. Sekitar 100.000 warga eks Timtim di Kabupaten Kupang siap direlokasi bertahap, terutama mereka yang mendiami Desa Oebelo dan sekitarnya,” kata Angelino.