Harmoni bagi Ibu Pertiwi
Melalui lagu-lagu patriotik dan lagu daerah dari berbagai pelosok Nusantara, kaum muda merayakan kemerdekaan sebuah negeri yang beragam bernama Indonesia. Itulah yang disuarakan oleh lebih dari seribu mahasiswa dalam Ode Bulan Agustus yang digelar Bentara Budaya di Bali, Solo, Yogyakarta, dan Jakarta.
”Tanah airku aman dan makmur/
Pulau kelapa nan amat subur/
Pulau melati pujaan bangsa/
Sejak dulu kala”
Lagu ”Rayuan Pulau Kelapa” itu entah sudah berapa kali dinyanyikan oleh kelompok paduan suara Voice of Bali (VOB). Akan tetapi, setiap kali dinyanyikan, lagu gubahan Ismail Marzuki itu selalu menggetarkan perasaan seorang putra Bali, I Gusti Putu Anggawijaya (24). Seperti ketika ia bersama VOB menyanyikan lagu itu dalam Ode Bulan Agustus di Bentara Budaya Bali, Selasa (21/8/2018). ”Rasanya bangga menjadi orang Indonesia,” kata Angga.
Di tengah bayang-bayang gempa bumi di Lombok, lagu-lagu cinta Tanah Air dan lagu-lagu daerah dari berbagai pelosok Indonesia itu mengalun indah. Beberapa kali terdengar pemberitahuan tentang prosedur penyelamatan dalam keadaan darurat.
Namun, tak tampak rasa gentar dari puluhan peserta parade yang hampir seluruhnya adalah mahasiswa. Getaran semangat cinta Tanah Air mereka tampaknya lebih besar. Setidaknya, hal itu terdengar melalui lagu-lagu yang dikumandangkan oleh 9 kelompok paduan suara.
Getaran lagu patriotik juga dirasakan Fajarisma, yang bersama paduan suara Divina Etnika, Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, tampil dalam Ode Bulan Agustus di Teater Besar ISI Surakarta, Sabtu (25/8/2018). Saat menyanyikan lagu "Tanah Air" karya Ibu Soed, ia merasakan sesuatu yang “beda".
Meski ia sering mendengar lagu tersebut semenjak kecil, tetapi saat membawakan lagu tersebut dalam paduan suara, rasa "beda" itu terasa menguat. Bukan hanya paduan suara yang terdengar, tetapi ada paduan getaran rasa kolektif. "Di hati rasanya beda. Merinding dan bangga sebagai bangsa Indonesia," kata Fajarisma.
Di hati rasanya beda. Merinding dan bangga sebagai bangsa Indonesia.
Kebersamaan
Fajarisma bersama Paduan suara Divina Etnika, dan Anggawijaya dengan VOB-nya, adalah bagian dari peserta Ode Bulan Agustus. Itu merupakan parade paduan suara yang digelar Bentara Budaya di Bali pada 21 Agustus, Solo (25/8/2018), Yogyakarta (27/8/2018), serta di Jakarta (30/8/2018).
Perhelatan paduan suara ini bukan berupa kompetisi, melainkan parade. Mereka membawakan lagu patriotik seperti " Hari Merdeka," "Bangun Pemudi Pemuda," Tanah Air," "Rayuan Pulau Kelapa," "Melati Suci," dan "Indonesia Jaya." Mereka juga menyanyikan lagu daerah seperti "Diru Diru Dina," "Yamko Rambe Yamko," dari Papua, "Sipatokaan," (Sulawesi Utara) "Kambanglah Bungo" (Mainangkabau), "Surilang" (Betawi), dan "Tanduk Mejeng" (Madura).
Wakil Rektor II Institut Seni Indonesia Surakarta, Sunardi, mengatakan, ada pesan mendalam dalam paduan suara yakni aspek nasionalisme. Keberagaman warna suara para pelantun dalam paduan suara itu akan memunculkan kesatuan harmonisasi bunyi. Dalam kehidupan, keberagaman itu menjadi modal dasar pencapaian persatuan dan kesatuan bangsa.
"Ode Bulan Agustus ini adalah sebuah kebersamaan dalam mengungkapkan rasa syukur atas kemerdekaan dan keberagaman Indonesia sebagai bangsa," kata Paulina Dinartisti, Manajer Operasional Bentara Budaya.
Ungkapan syukur dan cinta tanah air dinyanyikan dalam bentuk nyanyian. Kebersamaan dibangun lewat upaya memadu suara dari sekitar 20-an anggota satu kelompok paduan suara. Rasa kebersamaan diperkuat dengan paduan suara gabungan dari seluruh peserta paduan suara. Di Bentara Budaya Bali, sekitar 200 awak paduan suara berjoget ria melantunkan lagu-lagu daerah seperti "Sajojo" dari Papua, sampai lagu Maluku "Poco-Poco".
Paduan suara menjadi semacam bentuk Indonesia "mini". Voice of Bali Choir, misalnya, merupakan kelompok lintas perguruan tinggi, dan membuka keanggotaan dari para pekerja, bahkan ada yang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. "Anggota kami ada yang berasal dari Bali, Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Mereka berasal dari latar belakang budaya dan agama berbeda-beda," kata Anggawijaya, salah seorang pendiri VOB.
Anggota kami ada yang berasal dari Bali, Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Mereka berasal dari latar belakang budaya dan agama berbeda-beda.
Hal itu mengapa saat membawakan lagu "Dari Sabang Sampai Merauke" karya R Suharjo, Gung Angga terharu dan bangga. Setiap lagu memberi getaran dan sensasi rasa berbeda. "Rayuan Pulau Kelapa" membangkitkan kebanggaan pada Tanah Air yang indah dan subur. "Kalau \'Dari Sabang Sampai Merauke\', itu membuat kami bangga sebagai bangsa beragam," kata Angga.
Anggota paduan suara memadu, menyatukan rasa cinta Tanah Air itu dengan penghayatan penuh. "Kami merasakan, menghayati, dan menyampaikan rasa dan penghayatan itu ke penonton. Jadi, kami bukan hanya berlatih agar tampil bagus, tetapi ada pesan cinta Tanah Air yang kami sampaikan ke banyak orang," kata Angga yang bersama VOB-nya pernah mengikuti ajang paduan suara di Thailand dan Korea.
Gotong royong
Kebersamaan dalam mengungkapkan rasa cinta Tanah Air itu disambut dengan gegap gempita oleh kampus-kampus yang memiliki kelompok paduan suara. Ode Bulan Agustus 2018 diikuti 33 kelompok paduan suara di empat kota. Total melibatkan sekitar 1.081 pemuda awak paduan suara.
Universitas Sanata Dharma menyambut simpatik dengan meminjamkan Auditorium Driyakara sebagai arena parade paduan suara yang akan digelar pada Senin (27/8/2018), pukul 19.00 WIB. Selain tampil mewakili masing-masing perguruan tinggi, dalam Ode Bulan Agustus di Yogyakarta itu juga berkolaborasi lewat lagu. Ada tiga universitas akan memadu suara dalam satu harmoni indah. Satu kelompok terdiri dari universitas negeri, swasta, dan universitas yang berbasis agama.
“Kolaborasi merupakan bentuk simulasi gotong royong yang bisa diterapkan di kehidupan sehari-hari. Kolaborasi itu bisa jadi contoh bahwa perbedaan bukan halangan untuk hidup berdampingan di masyarakat,” kata Ouda Teda Ena, Wakil Rektor Bidang Bidang Kerjasama dan Alumni Universitas Sanata Dharma.
“Kerukunan bisa terbentuk melalui kerja sama yang menyenangkan. Orang tak melihat latar belakang agama, suku, ras, dan golongan saat bernyanyi. Agama itu kepercayaan masing-masing. Parade paduan suara ini akan menunjukkan, apa pun latar belakang manusia, kita bisa melakukan sesuatu bersama," ujar Ouda. (XAR/RWN/E22)