FERRY SANTOSO/ C ANTO SAPTOWALYONO/ HENDRIYO WIDI/ M PASCHALIA JUDITH
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS - Gula dan garam menjadi bagian ironi defisit neraca perdagangan negeri ini. Akumulasi impor dan produksi dinilai melampaui kebutuhan, sementara sebagian barang merembes ke pasar konsumsi. Petani dan petambak jadi korbannya.
Ketua Dewan Pembina Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia, Arum Sabil, Minggu (26/8/2018) menyebutkan, potensi izin impor gula mentah untuk produsen gula rafinasi dan gula konsumsi mencapai 7 juta ton tahun ini. Dengan rata-rata rendemen 95 persen, produksi gula mencapai 6,65 juta ton. Sementara produksi gula nasional 2,3 juta ton.
Artinya, potensi stok gula nasional mencapai 8,95 juta ton tahun ini. Padahal, kebutuhan gula dalam negeri maksimal 5,2 juta ton sehingga potensi kelebihan stok 3,75 juta ton.
Situasi itu meredupkan gairah petani dalam menanam tebu.
Akibatnya, menurut Ketua Umum Andalan Petani Tebu Republik Indonesia Soemitro Samadikoen, harga jual gula petani turun. Soemitro memaparkan, rata-rata harga jual gula petani cenderung tahun dari Rp 12.000 per kilogram (kg) tahun 2016, jadi Rp 9.750 per kg tahun 2017, dan kini berkisar Rp 9.200-9.300 per kg di swasta.
Situasi itu meredupkan gairah petani dalam menanam tebu. Kepala Subdirektorat Tanaman Tebu dan Pemanis Lain Direktorat Tanaman Semusim dan Rempah Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Gde Wirasuta mengatakan, luas lahan tebu berkurang. Berdasarkan pengamatannya, sejumlah lahan tebu telah beralih fungsi menjadi ketela pohon, pepaya, atau tanaman hortikultura.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan mengatakan, persetujuan impor gula mentah yang dikeluarkan 3,6 juta ton. Sebab, kebutuhan untuk industri gula rafinasi 3,6 juta ton. Dalam rapat koordinasi juga disepakati impor gula mentah untuk gula kristal putih 1,1 juta ton dan persetujuannya sejauh ini 900.000 ton.
Harga turun
Nasib petambak garam tidak lebih baik. Tahun ini, kuota impor garam ditambah jadi 3,7 juta ton dengan alasan memenuhi kebutuhan garam industri. Situasi ini dinilai turut menuai penyalahgunaan garam industri untuk konsumsi. Petambak terdampak langsung.
"Kemarau tahun lalu harga garam Rp 1.600 per kg. Harga di Mei 2018 masih Rp 1.300 per kg, tapi sekarang merosot jadi Rp 800 per kg," kata Iwan (60), petambak garam di Waruduwur, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (25/8/2018).
Menurut Iwan harga garam serendah itu, Rp 800 per kg berpotensi turun lagi karena panen musim ini masih terus berlanjut. Harga garam yang rendah menyulitkan ekonomi petambak garam. "Harga garam bagus itu kalau setidaknya Rp 1.500 per kg," kata Iwan.
Sebelumnya, Ketua Himpunan Masyarakat Petani Garam Jawa Timur Muhammad Hasan mengatakan, harga garam rakyat merosot tajam sejak sebelum panen raya. Kini Rp 1.000-1.600 per kg. Padahal, pada Juni 2018 harganya masih Rp 2.700 per kg. Selain panen raya, anjloknya harga dinilai turut dipengaruhi oleh impor 3,7 juta ton garam tahun ini. Pola penyerapan dan kestabilan harga garam rakyat terdampak.
"Pemerintah harus menetapkan harga pokok pembelian untuk menjaga stabilitas harga garam rakyat sesuai amanat Undang-undang 7/2016 (tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam)," kata Hasan. (E04)