Jepang Tersisihkan dalam Diplomasi Semenanjung Korea
Oleh
Myrna Ratna
·3 menit baca
Korea Utara kini menempatkan Jepang sebagai ”musuh utama” nya, posisi yang dahulu dipegang oleh Amerika Serikat. Media-media Korut yang dikuasai pemerintah menyebutkan bahwa pemerintahan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe sengaja menyabotase upaya diplomasi Korut dengan dunia luar.
Kebencian Korut terhadap Jepang bukan hal baru. Selain karena pernah menjajah Korea, Jepang juga dianggap sebagai pemain utama dalam menggalang sentimen dunia internasional untuk menjatuhkan sanksi pada Korut.
Namun, kecaman yang terus berlanjut pada Tokyo berbeda kontras dengan sikap Pyongyang terhadap Washington yang dahulu disebut sebagai ”agresor imperialis”. Bahkan, sepanjang tahun 2017, Pyongyang menyebut Presiden AS Donald Trump sebagai ”sakit mental”, ”pecundang”, dan lainnya.
Namun, sejak pertemuan antara Trump dan pemimpin Korut Kim Jong Un di Singapura, Juni lalu, media Korut terus memuji keputusan dan semangat Presiden Trump untuk mewujudkan pertemuan bersejarah. Propaganda-propaganda anti Amerika kini sudah menghilang dari jalanan Pyongyang.
Tidak demikian halnya pada Jepang. Media Korut yang sama baru-baru ini menyebut Abe sebagai "gembong korupsi" dan "politisi busuk" yang hanya melakukan "keputusan-keputusan busuk selama berkuasa".
Selama proses rekonsiliasi dua Korea yang berlangsung sejak Februari 2018, Jepang bersikap skeptis. Sebaliknya Trump menyambut pertemuan di Singapura sebagai sukses besar, sampai-sampai menyebut ancaman nuklir dari Korut sudah berlalu. Padahal, Pyongyang belum menunjukkan indikasi akan meninggalkan persenjataan nuklirnya secara unilateral.
Isu Jepang yang ”terisolasi” dalam upaya perbaikan hubungan dengan Korut menjadi tema utama media-media Korut, yang menyebut Jepang sebagai ”rekaman tua”. Media juga berulang kali meledek Jepang yang tersisihkan dalam proses diplomatik di semenanjung itu.
”Sepertinya Jepang tak peduli terhadap nasihat dunia untuk beradaptasi dengan perubahan politik. Sangat janggal bahwa Jepang masih mengumandangkan ancaman ketika era kedamaian bertiup di Semenanjung Korea,” tulis kantor Berita Korut KCNA.
Setelah melakukan percakapan telepon dengan Trump, Rabu lalu (22/8/2018), Abe menegaskan bahwa Tokyo dan Washington ”sepakat total” terkait kebijakan denuklirisasi di Semenanjung Korea. Abe juga mengatakan bahwa isu penculikan menjadi isu utama dalam proses ini.
Abe merujuk pada penculikan warga Jepang oleh Korea Utara. Pada tahun 2002, Korut mengaku telah menculik 13 warga Jepang di tahun 19700-an dan 1980-an. Mereka kemudian dilatih sebagai agen mata-mata Korut. Lima orang di antaranya sudah dipulangkan ke Jepang. Namun, Jepang memperkirakan ada ratusan warga Jepang yang diculik.
Abe telah melontarkan rencana pertemuan dengan Kim untuk membicarakan masalah penculikan. Namunm sejauh ini, rencana tersebut belum direspons oleh Pyongyang.
Membutuhkan musuh
Menurut ahli Jepang-Korea dari Universitas Connecticut Alexis Dudden, Korut membutuhkan ”musuh” untuk dijadikan target, sekaligus membuka peluang untuk menekan Tokyo agar memberikan insentif ekonomi bagi Korut.
Pyongyang, menurut Dudden, memainkan semangat ”solidaritas” dengan Korsel yang sama-sama pernah dijajah Jepang selama 35 tahun. Pyongyang juga memanfaatkan hubungan Abe dengan Presiden Korsel Moon Jae in yang kurang hangat.
”Dengan memainkan kekejaman Jepang di era Perang Dunia II, Korut mampu \'menyatukan\' Korea,” ujar Dudden. (REUTERS)