Menanti Babak Baru Pengelolaan Air Bersih Jakarta
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mulai mengawali perombakan tata kelola air bersih di DKI Jakarta. Langkah ini diawali dengan membentuk Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum pada 10 Agustus 2018, lalu mengganti Direktur Utama Perusahaan Air Minum DKI Jakarta pada 24 Agustus 2018. Arah perombakan ini adalah memperluas akses layanan dan penghentian kebijakan swastanisasi air bersih Jakarta.
Pada pertemuan tertutup di kantor Badan Pembinaan Badan Usaha Milik Daerah DKI Jakarta, Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (24/8/2018) sore, Prayitno Bambang Hernowo ditunjuk menggantikan Erlan Hidayat sebagai Direktur Utama Perusahaan Air Minum DKI Jakarta (PAM Jaya).
Bambang sebelumnya adalah Sekretaris Perusahaan PT Aetra Air Jakarta, selanjutnya Direktur Komersial dan Operasional PT Aetra Air Tangerang. PT Aetra Air Jakarta merupakan salah satu perusahaan swasta yang menjadi operator air bersih di bawah koordinasi PAM Jaya, selain PT PAM Lyonnasie Jaya (Palyja).
Ketua Panitia Seleksi Direksi Badan Usaha Milik Pemerintah Daerah (BUMD) DKI Jakarta Irham Dilmy yang menyeleksi kandidat direktur PAM Jaya mengatakan, penggantian Direktur Utama PAM Jaya terkait keputusan Mahkamah Agung untuk menghentikan swastanisasi air minum di DKI Jakarta. ”Ini menuju ke proses itulah,” katanya di Jakarta.
Sebagai kota metropolitan, Jakarta memang masih bermasalah dalam pengelolaan air bersih. Mulai dari layanan air bersih yang selama belasan tahun persentasenya tak beranjak dari kisaran 65 persen, sumber air baku yang kian minim, hingga belum juga terwujudnya putusan MA untuk menghentikan kebijakan swastanisasi itu.
Ketiga masalah itu terkait satu sama lain dan bukan masalah yang ringan untuk diselesaikan. Masih terbatasnya akses air bersih ini berkontribusi pada tingginya konsumsi air tanah yang menyumbang penurunan muka tanah Jakarta. Kondisi ini berpotensi memperparah banjir serta kerusakan infrastruktur.
Sejak 1997, pengelolaan air perpipaan DKI Jakarta dilakukan PT Aetra Air Jakarta dan Palyja. Kedua operator swasta ini memegang kontrak pengelolaan air Jakarta hingga tahun 2023.
Namun, putusan Mahkahmah Agung Nomor 31K/Pdt/2017 menginstruksikan penghentian kebijakan swastanisasi air minum di Provinsi DKI Jakarta, salah satunya karena kebijakan ini dinilai tak memperluas layanan air bersih di Jakarta.
Bambang mengatakan, saat menerima jabatan itu, ia memperoleh instruksi khusus untuk memperluas cakupan layanan. Selama 12 tahun terakhir, cakupan air bersih pipa di DKI Jakarta berkisar 60-65 persen dari jumlah seluruh warga DKI Jakarta.
”Memang ada penambahan jaringan baru, tetapi kecepatannya hampir sama dengan pertambahan penduduk Jakarta. Jadi, persentasenya tak meningkat,” katanya.
Masalah utamanya adalah sumber bahan baku air bersih dan kapasitas pengolahan yang memang sudah hampir mencapai kapasitas maksimal yang ada.
Menurut Bambang, Aetra yang melayani jaringan air bersih di kawasan Timur mempunyai kapasitas sekitar 10.500 liter per detik, sedangkan Palyja di wilayah Barat sekitar 9.300 liter per detik, sudah mencapai kapasitas maksimalnya. Kondisi diperparah dengan kebocoran yang didominasi oleh sambungan pipa yang tua yang bocor serta pencurian.
Selain jaringan pipa baru, dibutuhkan juga sumber bahan baku air. Saat ini tengah dibangun intalasi pengolahan air di Hutan Kota Penjaringan yang, menurut rencana, mampu memasok hingga 500 liter per detik air bersih. Jumlah ini diperkirakan mampu menyupai hingga 100.000 pelanggan baru.
Sebelumnya, Erlan mengajukan anggaran dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBDP) DKI Jakarta tahun 2018 sebesar Rp 1,2 triliun meningkatkan cakupan layanan air bersih Jakarta.
Kebutuhan air bersih di Jakarta mencapai 23.000 liter per detik. Saat ini volume produksi baru 19.800 liter per detik. Untuk memenuhi layanan air bersih mencakup seluruh wilayah itu, total anggaran yang dibutuhkan sekitar Rp 30 triliun.
Dampak swastanisasi
Terkait menghentikan swastanisasi, Bambang mengatakan, solusi untuk itu tengah dibahas Tim Evaluasi Tata Air. Solusi diupayakan tetap menguntungkan dua belah pihak atau win-win solution. Pemutusan kontrak sepihak dapat membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terancam tuntutan ganti rugi dan denda serta bisa jadi tercoreng kredibilitasnya di bidang kontrak kerja.
Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1149 Tahun 2018. Tugas utamanya adalah mengevaluasi kebijakan tata kelola air minum yang disesuaikan dengan putusan Mahkahmah Agung Nomor 31K/Pdt/2017 tentang penghentian kebijakan swastanisasi air minum di Provinsi DKI Jakarta.
Para aktivis air mempermasalahkan pengelolaan air bersih oleh pihak swasta. Hal ini dinilai memicu ketidakadilan akses terhadap air bersih. Artinya, semakin miskin warga DKI Jakarta, semakin kecil potensinya mendapat akses pada layanan air pipa. Sebaliknya, semakin berada, semakin mudah memperoleh layanan air pipa.
Direktur Amrta Institute Nila Ardhianie yang ditunjuk sebagai salah satu anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air mengatakan, dengan adanya operator swasta, ada dua sistem pembayaran air pipa, yaitu sistem tarif air (water tariff) dan imbalan (water charge).
Tarif adalah biaya yang dibayarkan pelanggan untuk air yang dikonsumsinya, sedangkan imbalan adalah biaya yang harus dibayarkan PAM Jaya untuk air yang dialirkan ke warga.
Tarif yang dibayarkan pelanggan air pipa di Jakarta bervariasi, mulai dari Rp 1.392,24 per meter kubik untuk kelompok sosial, Rp 4.486,07 per meter kubik untuk kelompok rumah tangga golongan 1, hingga tertinggi Rp 14.401,45 per meter kubik untuk pelabuhan.
Sementara, PAM Jaya harus membayar setiap meter kubik air yang dialirkan ke pelanggan dengan biaya hampir Rp 8.000 per meter kubik. Semakin banyak pelanggan yang membayar di bawah harga ini, atau kelompok warga tak mampu, semakin berat beban keuangan PAM Jaya. Sebaliknya, semakin banyak pelanggan dari kelompok rumah tangga 4 yang membayar Rp 9.498,07 per meter kubik akan semakin menguntungkan.
Dengan prinsip bisnis, pelayanan yang menguntungkan yang diutamakan. Ini terlihat dari persentase pelanggan air pipa DKI Jakarta sekarang. Volume air yang dijual ke rumah tangga kelompok 1 cuma 6,6 persen, sementara pelanggan terbanyak adalah kelompok niaga yang dikenai tarif Rp 11.319,53 per meter kubik sebanyak 34,5 persen.
Nila mengatakan, memutus skema swastanisasi diharapkan memperluas layanan air bersih secara universal, yang artinya tak memandang kaya atau miskin, semua mempunyai potensi sama terlayani akses air bersih perpipaan.
”Peningkatan akses layanan air perpipaan juga bisa meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat karena tingginya tingkat pencemaran air tanah Jakarta. Jadi, anggaran untuk kesehatan bisa dikurangi,” katanya.
Terkait air tanah
Perluasan akses air bersih perpipaan ini menyasar masalah besar Jakarta, yaitu mencegah penurunan air tanah lebih parah. Nila mengatakan, akses air perpipaan yang masih terbatas ini merupakan salah satu penyebab utama masih tingginya penggunaan air tanah di Jakarta.
Perluasan cakupan layanan pipa air tanah penting karena saat warga mau berpindah dari air tanah ke air bersih pipa, pemerintah perlu memastikan akses pipa tersedia. ”Tujuan akhirnya, semua pengguna air tanah berpindah ke pipa,” kata Bambang yang menyatakan siap menjalankan tugas barunya secara profesional terlepas dari latar belakangnya di Aetra itu.
Publik pun menanti hasil perombakan ini.