JAKARTA, KOMPAS — Dukungan terhadap DH (23), pekerja perusahaan media yang mengalami pelecehan seksual, terus bermunculan. Salah satunya dari Muthi Kautsar, rekannya sendiri yang melihat peristiwa itu pekan lalu. Muthi merasa peristiwa itu sungguh melecehkan kehormatan temannya yang siang itu berjalan dengannya.
”Kami jalan di sebelah kanan. Tidak jauh dari Bentara Budaya (yang bersebelahan dengan Menara Kompas), ada motor yang berjalan pelan di depan kami. Ketika kami menepi, pengendara motor melakukan kejahatannya kepada D,” kata Muthi.
Setelah kejadian, Muthi berteriak dan berusaha melihat nomor polisi motor pelaku. Namun, pelat nomor di belakang motor pengemudi yang berhelm hitam itu tidak ada. Pelaku dengan cepat membawa motor melaju ke Jalan Tentara Pelajar.
Menurut keterangan Muthi, situasi saat kejadian ramai dengan aktivitas orang, termasuk petugas satpam yang berjaga di sekitar lokasi. Satpam bahkan cukup tanggap dengan kepanikan Muthi yang berteriak, tetapi tidak ada yang melihat jelas tindakan pelaku kepada korban.
”Rasanya terkejut, sedih, marah. Saya pikir daerah sekitar kantor saya ini aman. Kalau kejadian ini terulang lagi, saya harus lari dan kejar pelakunya,” ujarnya.
Psikolog klinis forensik Kasandra Putranto berpendapat, kejadian seperti itu jelas akan menimbulkan trauma bagi korban ataupun saksi yang melihat. Sayangnya, kasus pelecehan seksual yang terungkap oleh publik lebih sedikit dibandingkan yang terjadi di lapangan.
”Kasus ini bisa berulang jika kejadian pelecehan seksual tidak bisa dilaporkan atau tidak mendapatkan respons yang memuaskan dari masyarakat atau penegak hukum,” kata Kasandra saat dihubungi, Minggu (26/8/2018).
Kasus peremasan payudara, kata Kasandra, adalah salah satu pelecehan seksual yang sulit dibuktikan, terutama karena pelaku dengan mudah melarikan diri. Akibatnya, sikap tidak percaya bisa terjadi, baik dengan meragukan pernyataan maupun menyalahkan korban atas peristiwa yang terjadi.
”Ketika penegakan hukum lemah, banyak pelaku pelecehan seksual yang bisa melenggang bebas karena korban tidak dapat membuktikan kejahatan yang dialami,” ujar Kasandra. Untuk itu, pelaku pelecehan seksual harus mendapat tindakan hukum.
Sebagai upaya penanggulangan tindak kejahatan tersebut, Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Metro Jakarta Selatan Ajun Komisaris Nunuk Suparmi menyarankan agar korban datang ke polisi. Hal ini agar polisi mendapatkan informasi yang jelas dan dapat menundaklanjuti tindakan tersebut.
”Korban bisa datang untuk melaporkan atau berkonsultasi ke polisi terdekat dengan lokasi kejadian,” katanya.
Sasar korban lemah
Kasandra menjelaskan, orang yang dipersepsikan lemah dan tidak berdaya kerap menjadi korban. Ini terjadi karena pelaku kekerasan pelecehan seksual pada dasarnya memiliki profil psikologis yang khas.
”Umumnya mereka memiliki persepsi tentang kekuasaan atau kekuatan yang lebih tinggi daripada orang lain sehingga mereka merasa layak untuk melakukan pelecehan seksual,” ungkapnya.
Secara umum, pelaku dikatakan memiliki karakteristik dorongan seksual yang tinggi, tetapi tidak diiringi dengan kemampuan pengendalian impuls. Pelaku biasanya juga minim pemahaman nilai etika moral serta penghargaan atau penghormatan terhadap korban.
”Lemahnya kapasitas pengambilan keputusan membuat mereka tidak mampu mengendalikan dorongan. Ini ditandai dengan kelemahan sistem limbik di bagian tengah otak dan kelemahan bagian prefrontal korteks di bagian depan otak. Kondisi ini membuat orang bisa melakukan suatu tindakan tanpa memperhitungkan akibatnya,” ujarnya. (ERIKA KURNIA)