LOMBOK UTARA, KOMPAS Masa tanggap darurat gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat, berakhir hari Sabtu (25/8/2018). Saat ini beralih menjadi fase transisi darurat ke pemulihan. Namun, persoalan sanitasi di sejumlah posko pengungsian belum tertangani, terutama di dusun yang tidak terletak di tepi jalan raya. Pengungsi yang terjangkit diare dan infeksi saluran pernapasan akut terus bertambah.
Pantauan di sejumlah posko pengungsian di Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Utara, Minggu (26/8), memperlihatkan kondisi sanitasi masih buruk. Minimnya ketersediaan air bersih, fasilitas mandi cuci kakus (MCK) yang belum memadai, serta tenda yang tak layak membuat warga rentan terkena penyakit.
Di Kecamatan Gangga, Lombok Utara, misalnya, banyak warga di pengungsian terpapar debu karena tidur beratap tenda terpal yang bagian sampingnya terbuka. Mereka terpaksa memanfaatkan saluran irigasi untuk keperluan MCK. Hal itu terjadi pada warga di pengungsian Dusun Karang Bedil, Desa Gondang.
Saharti (50), warga Dusun Karang Bedil, baru mengantar istrinya berobat ke Puskesmas Gangga akibat diare. ”Pasokan air hanya cukup untuk wudu dan memasak. Untuk keperluan lain, seperti mandi dan buang air, kami lakukan di saluran irigasi,” kata Saharti.
Cici Susantri (31), warga lain, menuturkan, anaknya, Anindya (2), terus buang air dan muntah. Ia sudah empat kali berobat ke Puskesmas Gangga dan didiagnosis menderita diare. ”Sudah dua hari tidak mau makan, tetapi masih mau minum susu,” kata Cici didampingi suaminya, M Anhar (33), di Puskesmas Gangga.
Menurut Baiq Willia, dokter di Puskesmas Gangga, warga yang berobat ke puskesmas umumnya menderita diare dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). ISPA ditandai dengan batuk dan pilek. ”Setiap hari kami melayani 80-100 warga yang berobat. Mayoritas terkena diare dan ISPA, terutama anak-anak,” katanya.
Toilet kotor
Di posko pengungsian Desa Menggala, Kecamatan Pemenang, warga tidak lagi menggunakan fasilitas MCK portabel karena bak penampung kotoran penuh dan meluap. Kondisi toilet rusak dan kotor. ”Kami buang air ke sungai. Begitu juga untuk mandi. Di sini sering tidak kebagian air. Mungkin banyak tempat pengungsian butuh air,” kata Rianto (38), seorang warga.
Di pengungsian yang dihuni sekitar 500 orang, hampir semua penghuni terserang penyakit, terutama anak-anak. Menurut Marlia (32), warga Desa Manggala, penyakit yang paling banyak diderita adalah diare. ”Kami sekeluarga sudah terkena. Sekarang tinggal anak saya yang terkecil yang masih sakit. Kami baru saja membawa ke Puskesmas Pemenang,” kata Marlia.
Sepekan terakhir, ada 706 pasien berobat ke Puskesmas Pemenang. Sebagian besar terserang diare, gatal-gatal, dan ISPA. ”Lingkungan yang kotor dan sanitasi buruk jadi persoalan,” kata Nurul Fatmi, perawat di Puskesmas Pemenang.
Di pengungsian yang ditempati sekitar 1.400 orang di Desa Kekait, Gunung Sari, warga mengeluhkan toilet dan air bersih yang terbatas. ”Tiga toilet untuk laki-laki dan tiga toilet untuk perempuan. Dengan pengungsi sebanyak ini, kadang toilet penuh sehingga terpaksa buang air di sungai. Begitu juga untuk mandi,” kata Raudatul Hasanah (34).
Kepala Puskesmas Gunung Sari Akmal Rosamali mengatakan, setiap hari ada 150-200 warga berobat ke pelayanan 24 jam yang dilakukan secara darurat di halaman puskesmas. Sebagian besar warga menderita ISPA, gangguan pencernaan, gatal-gatal, iritasi mata, hipertensi, demam, dan diare.
Data RSUD Lombok Utara di Tanjung, jumlah pasien hingga Rabu (22/8) ada 4.392 orang. Sebagian besar terjangkit diare, ISPA, penyakit kulit, dan patah tulang. ”Minggu pertama banyak pasien patah tulang dan luka. Minggu kedua, banyak yang diare dan ISPA,” kata Pipit Lestari dari Humas RSUD Lombok Utara.
Di tengah banyaknya pengungsi sakit, persediaan obat dan alat kesehatan sejumlah puskesmas menipis. Muji Kurniawan, perawat di Puskesmas Pemenang, menuturkan, stok obat diare, gatal dan ISPA mulai menipis. Diperkirakan hanya cukup untuk tiga hari ke depan. Di Puskesmas Gunung Sari dan Puskesmas Gangga, obat diare dan ISPA cukup, tetapi mereka kekurangan alat kesehatan. (ILO/ZAK/JUM)