Aplikasi Daring Tingkatkan Minat Masyarakat Berinvestasi
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Teknologi daring menjadi solusi bagi sejumlah pelaku di bidang investasi untuk meningkatkan tingkat literasi keuangan di Indonesia yang masih dinilai rendah. Melalui aplikasi gawai pintar yang didukung dengan teknologi kecerdasan buatan, misalnya, masyarakat dapat mendapatkan rekomendasi mengenai jenis investasi mana yang paling sesuai dengan kebutuhan atau target masa depan mereka.
Eko P Pratomo, Co-Founder Halofina, menjelaskan, rendahnya tingkat literasi keuangan di Indonesia berkaitan dengan rendahnya rasio menabung, investasi, pengguna kartu kredit, pengguna asuransi, serta maraknya investasi bodong. Budaya konsumerisme juga dibayangi dengan sejumlah besar masyarakat yang mengalami defisit kas keuangan.
Mengacu pada data yang dipaparkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2016, tingkat literasi keuangan di Indonesia hanya 29,66 persen. Itu lebih rendah dibandingkan negara ASEAN lain, seperti Singapura (96 persen), Malaysia (81 persen), dan Thailand (78 persen).
Adjie Wicaksana, Chief Executive Officer Halofina, menambahkan, rendahnya literasi keuangan di Indonesia menunjukkan rendahnya pemahaman masyarakat mengenai produk keuangan dan bagaimana menggunakannya.
”Karena itu, tingkat inklusi keuangan juga rendah (atau 67,82 persen berdasarkan paparan OJK pada 2016). Masyarakat kurang paham sehingga tidak merasa comfortable menggunakan produk keuangan itu,” ucapnya, Selasa (28/8/2018) di Jakarta.
Walaupun demikian, menurut Alvin Pattisahusiwa, Direktur Utama PT Mandiri Manajemen Investasi, jumlah investor reksa dana meningkat secara perlahan dari tahun ke tahun. ”Dua hingga tiga tahun lalu, jumlah investor reksa dana sekitar 500.000 hingga 600.000 orang. Sekarang ada 700.000 hingga 800.000 orang,” ucapnya.
Ia menambahkan, peningkatan paling pesat terjadi ketika agen penjual reksa dana berbasis daring mulai muncul. Pada 2017, misalnya, dari jumlah penambahan investor reksa dana sekitar 100.000 orang, 90.000 orang di antaranya disumbangkan agen-agen berbasis daring. Artinya, teknologi daring berpotensi besar meningkatkan minat masyarakat untuk mulai berinvestasi.
Selain akses produk keuangan yang mudah, edukasi tetap diperlukan untuk membantu investor baru memahami serta menetapkan kebutuhan masa depan yang perlu dipersiapkan, seperti biaya pendidikan, pernikahan, pensiun, ataupun pembelian rumah dan mobil. Berdasarkan kebutuhan itu, ada berbagai jenis investasi yang bisa dipilih, seperti saham, emas, deposito, atau peer-to-peer (P2P) lending.
”Aplikasi gawai pintar, seperti Halofina, membantu investor baru merencanakan keuangannya dan melakukan investasi. Kita hubungkan mereka dengan penyedia layanan investasi. Dengan teknologi kecerdasan buatan, aplikasi itu memberikan rekomendasi mengenai jenis investasi yang mana yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka. Halofina juga menyediakan semacam dashboard, di mana pengguna dapat melacak performa investasinya,” kata Adjie.
Halofina menargetkan pengguna milenial, berusia antara 25 tahun dan 35 tahun, yang masuk dalam demografi kelas menengah ke atas dan yang berada di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan. Hingga sekarang, Halofina telah menjalin kerja sama dengan sejumlah perusahaan teknologi finansial atau fintech, seperti Tamasia, Gadjian, dan Amartha.
Adjie mengatakan, pihaknya juga berencana menjalin kerja sama dengan semua perusahaan fintech yang terdaftar dalam OJK. Halofina kini dalam tahap soft-launching dan akan diluncurkan secara penuh pada akhir 2018.
Mengenai investasi mata uang kripto, Adjie menjelaskan, karena jenis investasi itu belum diregulasi di Indonesia, pihaknya belum rencana memasukkannya ke dalam Halofina. Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengungkapkan, dalam 10 tahun, jumlah total kerugian masyarakat akibat invetasi bodong melebihi Rp 100 triliun.