Asas Pragmatisme Hubungan Turki-Rusia di Tengah Krisis Ankara-Washington
Oleh
KRIS RAZIANTO MADA
·3 menit baca
ANKARA, SENIN -- Hubungan Turki dan Rusia terus berkembang. Sebaliknya hubungan Turki dengan Amerika Serikat, yang puluhan tahun menjadi sekutunya, terus memburuk.
Sener Akturk, pengajar Ilmu Hubungan Internasional Koc University di Istanbul, Turki, mengatakan, Turki menilai AS lebih mengancam dibanding Rusia. Sebab, sejumlah masalah krisis berkembang di antara Turki dengan AS.
Ia menyebut langkah Turki membeli sistem pertahanan udara S-400 dari Rusia adalah hal yang masuk akal. Hal itu tak lepas dari sikap sekutu Turki di Barat yang kerap menunda kesepakatan jual beli senjata dengan Turki gara-gara persoalan hak asasi manusia (HAM) dan sengketa politik.
Transaksi pembelian S-400 ke Rusia itu menjadi salah satu penyebab ketegangan Turki-AS. Transaksi tersebut dinilai akan membawa masalah pada sistem persenjataan di antara negara-negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Masalah lain adalah penolakan AS untuk mengekstradisi Fethullah Gulen, ulama Turki yang tinggal di AS. Kelompok Gulen dituding terlibat kudeta gagal pada 2016. Gulen berulang kali menepis tuduhan tersebut.
Turki menilai AS lebih mengancam dibanding Rusia.
Kerumitan bertambah dengan keputusan Turki menahan pendeta asal AS yang puluhan tahun bermukim di Turki, Andrew Brunson. Selama 21 bulan terakhir, Brunson ditahan Turki dengan tuduhan terlibat terorisme.
AS membalas Turki dengan menjatuhkan serangkaian sanksi. Selain itu, Presiden AS Donald Trump berulang kali juga mengkritik Turki.
Masalah lain adalah dukungan AS pada kelompok Kurdi. AS mempersenjatai Kurdi dalam perang melawan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) dan kelompok-kelompok teror lainnya di Suriah dan Irak.
Kepentingan di Suriah
Turki keberatan dengan langkah itu. Sebab, Turki memandang sebagian komunitas Kurdi sebagai kelompok bersenjata dan mengganggu kedaulatan serta keamanan Turki. Karena itu, selepas perang melawan NIIS berakhir, Turki menyerbu daerah Suriah yang berpenduduk mayoritas Kurdi.
Dalam invasi itu, Turki bekerja sama dengan Rusia yang menjadi sekutu Suriah dalam perang melawan NIIS. Kenyataan bahwa Rusia juga membantu Suriah menghadapi kelompok oposisi yang disokong banyak negara, termasuk Turki, tidak mengganggu kerja sama poros Ankara-Moskwa.
Belakangan, Turki dan Rusia saling membantu dalam konteks Suriah. Turki mengurangi dukungan kepada kelompok yang menuntut pengunduran diri Presiden Suriah Bashar al-Assad. Sementara Rusia mengizinkan Turki menggelar operasi militer di perbatasan Suriah-Turki.
"Rusia dan Turki dalam konteks Suriah saling membutuhkan, dan hubungan mereka terus berkembang,” kata Aaron Stein, peneliti Atlantic Council, lembaga kajian di AS.
Hubungan Turki dan Rusia sempat memburuk kala jet tempur Rusia ditembak Turki di perbatasan Suriah-Turki pada tahun 2015. Akan tetapi, setelah itu hubungan kedua negara terus membaik.
11 pertemuan Erdogan-Putin
Sejak Agustus 2016, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan sudah 11 kali bertemu. Turki dan Rusia sepakat untuk menghidupkan lagi penjualan gas alam di antara kedua negara. dan Rusia berencana membangun reaktor nuklir di Turki.
Peneliti asal Moskwa, Anna Aruntunyan, mengatakan pendekatan itu menunjukkan pragmatisme dalam hubungan kedua negara. Prospek hubungan baik dengan anggota NATO amat penting bagi Moskwa, pada saat bersamaan Rusia mencoba menguatkan pengaruhnya di Timur Tengah.
"Turki merupakan jalan yang baik untuk mencapai itu. Suriah juga sudah menjadi jalan yang baik,” ujar Aruntunyan. (AP)