GENEVA, SENIN Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan, militer Myanmar telah melakukan genosida terhadap etnis minoritas Rohingya. Oleh karena itu, sejumlah pemimpin militer Myanmar harus diajukan kepada Pengadilan Kriminal Internasional.
”Para pemimpin militer tertinggi Myanmar, termasuk Panglima Militer Jenderal Senior Min Aung Hlaing, harus diperiksa dan didakwa atas genosida di Negara Bagian Rakhine atas kejahatan terhadap kemanusiaan serta kejahatan perang di Negara Bagian Rakhine, Kachin, dan Shan,” demikian isi laporan tim pencari fakta PBB.
Sebanyak 700.000 warga Rohingya lari dari Negara Bagian Rakhine ke wilayah perbatasan Bangladesh setelah militer Myanmar melakukan pembasmian, Agustus tahun lalu. Myanmar menolak keras tuduhan ”pembersihan etnis” dan berkeras bahwa apa yang dilakukan militer merupakan respons terhadap serangan gerilyawan Rohingya.
Namun, menurut laporan PBB, taktik yang dilakukan militer Myanmar konsisten dan sangat tidak proporsional untuk ancaman keamanan yang nyata.
Tiga anggota tim pencari fakta PBB bekerja atas mandat Dewan HAM PBB yang mengumpulkan asesmen dari para ahli Rohingya, rekaman satelit, dan berbagai informasi yang disatukan dalam bentuk laporan. Tim pencari fakta ini dibentuk enam bulan sebelum gerilyawan menyerang pos pengamanan tentara Myanmar dan memicu pembasmian yang menyebabkan ratusan ribu warga Rohingya melarikan diri.
Melalui ratusan wawancara dan penggunaan satelit, tim ini mengumpulkan bukti kekejaman, termasuk pemerkosaan massal, pembakaran ratusan desa, perbudakan, dan pembunuhan anak-anak. Bahkan, sejumlah kasus pembunuhan anak dilakukan di hadapan orangtua mereka.
Namun, selama pengumpulan fakta, tim ini tidak diperbolehkan masuk ke Myanmar. Pemerintah Myanmar juga tidak bersedia bekerja sama. Pekan lalu, Myanmar menolak bekerja sama dengan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). China, yang selama ini mendukung Myanmar dan merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang memiliki hak veto, juga ”segan” mengecam tindakan Myanmar.
Pembersihan etnis
Menurut para penyelidik, situasi yang terjadi di Myanmar harus diajukan kepada ICC atau pengadilan khusus. Para pejabat PBB dan pemerhati HAM selama berbulan-bulan menunjukkan bukti-bukti terjadinya genosida di Myanmar dan tahun lalu Amerika Serikat menegaskan bahwa pembersihan etnis telah terjadi di Myanmar. Namun, hanya sedikit pihak yang bekerja sedalam dan seresmi seperti yang dilakukan tim pencari fakta.
PBB tidak gampang menyebutkan sebuah negara telah melakukan genosida. Asesmen terhadap bukti-bukti yang dikumpulkan tim pencari fakta menunjukkan bahwa kejahatan terhadap etnis Rohingya telah memenuhi definisi hukum yang ketat, yang juga diterapkan terhadap kejahatan yang terjadi di Bosnia dan Rwanda sekitar 25 tahun lalu.
Para pemerhati HAM mengatakan, bagaimana menentukan intensi melakukan genosida adalah hal yang paling sulit dilakukan karena perlu pembuktian bahwa etnisitas, ras, ataupun agama memotivasi pelaku untuk melakukan kekejaman.
Tambahan bagi asesmen tim pencari fakta adalah brutalnya kekejaman yang dilakukan, ujaran kebencian, pidato-pidato spesifik oleh para pelaku ataupun komandan militer, kebijakan eksklusi bagi warga Rohingya, konteks opresif, dan indikasi rencana penghancuran.
Kritik bagi Suu Kyi
Kritik juga diarahkan kepada pemimpin sipil Myanmar, Aung San Suu Kyi. Peraih Nobel Perdamaian itu dinilai gagal membela warga minoritas yang tak memiliki kewarganegaraan.
Menurut laporan PBB, Suu Kyi tidak memanfaatkan posisi yang dimilikinya sebagai salah satu pejabat pemerintah, juga tidak menggunakan otoritas moralnya untuk mencegah atau menghentikan peristiwa kekejaman.
Meskipun diakui bahwa pengaruh Suu Kyi dan sejumlah otoritas sipil sangat kecil terhadap militer, sikap mereka ikut berkontribusi terhadap kekejaman yang terjadi.