JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah memutuskan untuk mulai menggelontorkan cadangan beras karena harga beras medium di tingkat konsumen dinilai cenderung naik. Namun, keputusan tersebut dikhawatirkan menekan harga di tingkat petani. Apalagi kini sebagian petani belum selesai panen.
Langkah intervensi pasar beras diputuskan dalam rapat koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian di Jakarta, Senin (27/8/2018). Hadir dalam rapat itu antara lain Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Direktur Pengadaan Perum Bulog Bachtiar, dan Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi.
Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, harga rata-rata beras medium saat ini berkisar Rp 11.650-11.800 per kilogram (kg). "Kami melihat harga beras di beberapa daerah bergerak naik," kata Darmin.
Menurut Enggartiasto, intervensi tersebut bertujuan menjaga inflasi di angka 3,5 persen. Penggelontoran beras oleh Bulog akan dihentikan jika harganya sudah mencapai harga eceran tertinggi (HET) beras medium yang ditetapkan sebesar Rp 9.450 di Pulau Jawa.
Stok beras pemerintah dinilai cukup. Menurut Bachtiar, total pengadaan sejauh ini mencapai 2,47 juta ton, sebanyak 1 juta ton hasil impor dan 1,4 juta ton dari produksi dalam negeri.
Akan tetapi, kalangan petani khawatir keputusan itu menekan harga. Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia, Guntur Subagja berharap pemerintah selektif memilih daerah sasaran, yakni bukan di daerah yang surplus beras.
Kekeringan
Kemarau dan kekeringan yang melanda sejumlah sentra padi dinilai turut mendongkrak harga beras belakangan ini. Di Magelang dan Temanggung, Jawa Tengah, misalnya, pasokan gabah ke penggilingan berkurang karena sebagian areal padi ditanami komoditas lain yang dinilai lebih tahan. Di Ngimbrang, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung, misalnya, harga gabah kering panen (GKP) naik dari Rp 4.800 per kg jadi Rp 5.100 per kg dua pekan terakhir.
Kekeringan juga mengancam sejumlah daerah sentra yang kini belum panen. Di Sulawesi Selatan, misalnya, beberapa wilayah rawan kekeringan, antara lain Jeneponto, Bantaeng, sebagian Bone, dan Takalar.
Di Jawa Tengah, area kekeringan meluas, antara lain karena target pembangunan 1.000 embung meleset. Kini sekitar 1,7 juta warga di 1.163 desa terancam krisis air bersih. Menurut Kepala Bidang Irigasi Air Baku Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air,dan Penataan Ruang Jawa Tengah, Ketut Arsa Indra Watara, bukan karena anggaran, pembangunan embung terkendala oleh ketersediaan lahan.
Sementara pemerintah Jawa Barat menetapkan siaga darurat kekeringan selama Agustus hingga Oktober 2018 karena lebih kurang 1,1 juta warga terdampak kekeringan. Kekeringan ini terjadi karena daerah aliran sungai rusak. (JUD/WHO/REN/ODY/ EGI/RTG)