Sebanyak 495 Hektar Sawah di Banyumas Terancam Puso
Oleh
Megandika Wicaksono
·3 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS – Sebanyak 495 hektar sawah di Banyumas, Jawa Tengah terancam puso akibat kekeringan. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Banyumas mengupayakan pembuatan sumur pantek.
“Sawah yang terancam puso ada 495 hektar di wilayah Kecamatan Sumpiuh. Sedang diupayakan pembuatan sumur pantek. Rencananya akan ada sekitar 20 titik,” kata Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Kabupaten Banyumas Widarso, Selasa (28/8/2018) di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah.
Dari pantauan Kompas di sekitar Kecamatan Sumpiuh dan Tambak, sebagian sawah telah menguning dan sedang dipanen oleh petani, tetapi sebagian lainnya masih berusia 30 hari sampai 70 hari. Kondisi sawah itu masih hijau dan kini terancam puso. Tanah di sekitar tanaman padi yang masih hijau itu kering kerontang, pecah-pecah. Sungai dan saluran irigasi pun kering. “Dua hari ini ada bantuan sumur pantek, tapi sudah sangat terlambat. Tanaman sudah kekeringan dan pasti gagal panen,” tutur Rojikin (48) petani di Grumbul Karet, Desa Sumpiuh.
Sumur pantek adalah sumur seperti sumur bor, tetapi dibuat secara manual sehingga kedalaman hanya berkisar 5-16 meter. Bereda dengan sumur bor yang kedalamannya bisa mencapai ratusan meter.
Rojikin memiliki 200 ubin sawah atau sekitar 2.800 meter persegi sawah dengan tanaman padi berusia 70 hari. Namun karena tidak ada air, tanamannya pun kering dan bulirnya tidak sempurna terisi beras. “Mau buat sumur pantek sendiri tapi tidak ada dana. Satu sumur sedalam 12 meter biayanya sampai Rp 600.000,” tuturnya.
“Mau buat sumur pantek sendiri tapi tidak ada dana. Satu sumur sedalam 12 meter biayanya sampai Rp 600.000,” tuturnya.
Oleh karena itu, Rojikin membiarkan sawahnya dan bersiap menanggung kerugian. Setidaknya, Rojikin sudah mengeluarkan dana hingga Rp 5 juta untuk pembelian bibit, pupuk, dan biaya pengolahan sawah.
Hal serupa dialami Sunaryo (54) petani di Desa Selandaka, Sumpiuh. Sunaryo juga memiliki sawah seluas 200 ubin dan usia tanamnya sudah mencapai 70 hari. Untuk menyelamatkan tanamannya, Sunaryo harus mengeluarkan uang sewa pompa air dengan biaya Rp 25.000 per jam. “Pernah saya siram pakai pompa air sejak sore sampai subuh,”tutur Sunaryo.
Kekeringan juga memaksa petani untuk menjual tanah di sawahnya sebagai material penimbun tanah pekarangan. Gino (48) salah satu tukang angkut tanah menyampaikan, sejak dua hari terakhir dia sudah mengangkut tanah dari luas sawah 200 ubin di Desa Plangkapan, Kecamatan Tambak. “Harga tanah per mobil atau sekitar 2 meter persegi Rp 40.000. Biasanya warga membeli tanah ini untuk menimbun pekarangan agar tidak kebanjiran di waktu hujan,” tutur Gino.
Sementara itu, petani di Desa Pasinggangan, Kecamatan Banyumas memanfaatkan air dari jaringan air tanah dangkal berupa sumur pompa bertenaga listrik dari panel surya untuk mengairi sawahnya. “Dulu sebelum ada sumur ini, di musim kemarau paling hanya bisa tanam palawija seperti kedelai dan kacang hijau. Tapi sekarang air mencukupi untuk menanam padi,” kata Amin (58) petani setempat.
Madwirya (70) Ketua Kelompok Tani Sri Handayani yang mendapat bantuan sumur bor bertenaga matahari dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Banyumas itu menyampaikan, total sawah yang perlu diairi ada sekitar 128 hektar. Dengan adanya sumur bor tersebut, baru ada 3 hektar yang kebagian air. “Idealnya ada 3 titik sumur bor yang dibangun untuk mengairi semua sawah di sini,” tuturnya.